
TIMESINDONESIA, TANGERANG – Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan oleh para pemikir terbaik bangsa. Seperti, seorang ilmuwan memiliki formula untuk mengatasi krisis energi, seorang ekonom merancang cetak biru untuk mengentaskan kemiskinan, dan seorang ahli tata kota dengan solusi jitu untuk masalah transportasi yang kronis.
Maka, para pemikir tersebut akan selalu memiliki gagasan yang brilian sehingga dapat mengubah nasib jutaan orang. Namun, banyangan tersebut tentu sulit diwujudkan karena suara mereka yang terlalu lemah, serta argumennya tersendat oleh para politisi yang mahir dalam beretorika. Sehingga, keheningan membungkam potensi besar yang para pemikir tersebut miliki.
Advertisement
Kini, panggung politik banyak dikuasai oleh individu-individu yang lantang menyuarakan janji-janji manis. Kata-kata mereka mengalir deras seperti air, membangkitkan emosi, menyentuh sanubari, dan melukiskan visi masa depan yang indah. Mereka menguasai panggung, memanipulasi narasi, dan memenangkan hati publik dengan mudah.
Namun, jika kita mengupas lapisan retorika tersebut, sering kali kita hanya menemukan kekosongan seperti, minim kompetensi, tanpa gagasan substantif, dan nihil kapabilitas untuk mengeksekusi janji yang terucap.
Hal ini, merupakan sebuah kenyataan yang menyedihkan dan semakin nyata dalam demokrasi kita. Sebuah realitas bahwa para pakar, ahli, dan teknokrat yang sesungguhnya memegang kunci solusi, justru tersingkir dari gelanggang pertarungan ide.
Seringkali, mereka kalah karena terhambat oleh satu keahlian purba yang di era modern ini menjadi semakin krusial yaitu public speaking atau seni berbicara di depan umum. Akibatnya, ruang publik dan panggung kekuasaan kini semakin sering didominasi oleh para demagog atau mereka yang mahir membuai dengan kata-kata, dan para populis yang mengandalkan ketenaran semata, namun miskin kompetensi.
Oleh karena itu, kita harus berhenti memandang public speaking sebagai sekadar kemampuan teknis untuk berbicara di depan mikrofon tanpa gugup. Tapi, dalam konteks politik, bisnis, dan sosial modern, public speaking adalah sebuah medan perang persepsi. Bukan lagi tentang siapa yang paling benar, tetapi sering kali tentang siapa yang paling meyakinkan.
Para demagog memahami ini dengan sangat baik. Mereka tidak menjual data mentah atau analisis kebijakan yang rumit. Mereka menjual harapan, ketakutan, dan identitas. Mereka mengemas isu-isu kompleks menjadi slogan-slogan sederhana yang mudah dicerna dan disebarluaskan.
Hal tersebut, menjadi titik kelemahan fatal bagi kaum intelektual dan para pakar terutama dalam panggung politik. Karena, mereka terbiasa berkutat di dunia akademik yang menghargai data objektif dan logika yang runut, sehingga mereka gagal memahami bahwa publik tidak beroperasi layaknya sebuah jurnal ilmiah.
Masyarakat umum tidak memiliki waktu atau energi untuk membedah laporan setebal ratusan halaman. Mereka merespons cerita, tergerak oleh emosi, dan percaya pada individu yang mampu membangun koneksi personal.
Oleh karena itu, ketika seorang pakar maju ke panggung debat dengan tumpukan data dan grafik yang akurat, sementara lawannya maju dengan sebuah cerita personal yang menyentuh tentang perjuangan seorang petani kecil. Maka, lawannya yang menjual cerita akan jauh lebih diingat oleh publik daripada pakar tersebut.
Gagasan yang paling logis sekalipun akan menjadi tak berarti jika ia disampaikan dengan cara yang kering, kaku, dan tidak terhubung dengan denyut nadi kehidupan publik. Hal ini, menjadi sebuah pertarungan kompetensi melawan karisma, substansi melawan popularitas.
Dalam hal tersebut. Maka, public speaking adalah senjatanya dan storytelling (seni bercerita) adalah amunisi paling kuat di dalamnya. Kekuatan bercerita bukanlah isapan jempol semata. Secara neurologis, otak manusia dirancang untuk merespons narasi.
Ketika kita mendengar data atau fakta, hanya bagian otak yang memproses bahasa yang aktif. Namun, ketika kita mendengar sebuah cerita, seluruh bagian otak kita ikut menyala seperti area motorik, sensorik, dan emosional.
Hal ini, menjadi kekuatan yang sering dimanfaatkan oleh para politisi ulung dan para pemimpin bisnis visioner. Mereka tidak sekadar berkata, "Program kami akan meningkatkan PDB sebesar 2%."
Sebaliknya, mereka akan melukiskan sebuah cerita: "Bayangkan Ibu Siti, seorang penjual gorengan di pinggir jalan. Selama ini, ia kesulitan menyekolahkan anaknya. Dengan program bantuan modal usaha dari kita, Ibu Siti kini bisa membuka warung kecil, penghasilannya meningkat tiga kali lipat, dan bulan depan, anaknya akan wisuda sebagai sarjana pertama di keluarganya. Inilah perubahan nyata yang kita perjuangkan."
Cerita tersebut secara instan mengubah angka "2% PDB" yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret, emosional, dan mudah diingat. Seperti, memberikan wajah pada kebijakan, memberikan nyawa pada statistik.
Argumentasi yang dibungkus dalam sebuah cerita yang relevan dan menggugah akan seribu kali lebih kuat daripada argumentasi logis yang disampaikan secara datar. Kemampuan inilah yang harus dipelajari dan dikuasai oleh para akademisi dan teknokrat.
Mereka harus belajar menerjemahkan data kompleks mereka menjadi narasi manusiawi yang bisa dipahami dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Mereka harus mampu menunjukkan dampak nyata dari gagasan mereka melalui kisah-kisah yang membumi.
Maka dari itu, menjadi sebuah keharusan mutlak bagi siapa pun yang memiliki gagasan untuk bangsa ini, baik itu seorang akademisi, profesional, aktivis, atau birokrat untuk secara serius mempelajari dan melatih kemampuan public speaking.
Ide sebagus apa pun, jika hanya tersimpan di dalam jurnal ilmiah, presentasi PowerPoint yang membosankan, atau diskusi terbatas di ruang seminar ber-AC, tidak akan pernah membawa perubahan riil.
Hal ini, untuk memastikan bahwa kebenaran dan kompetensi dapat menjadi daya saing yang setara dengan popularitas dan retorika kosong di panggung publik. Ketika para ahli mampu berbicara sejelas dan sekuat para demagog, maka publik akan memiliki pilihan yang lebih berimbang. Diskursus publik akan menjadi lebih sehat, di mana adu gagasan yang substantif dapat terjadi secara terbuka, bukan hanya adu slogan.
Masa depan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh kualitas gagasan yang dimiliki oleh putra-putri terbaiknya, tetapi juga oleh kemampuan mereka untuk mengomunikasikan gagasan tersebut kepada khalayak luas.
Jika kita membiarkan para pemikir terbaik diam dan gagap di hadapan publik, sementara panggung diisi oleh mereka yang hanya pandai bersilat lidah, maka kita secara kolektif sedang merelakan masa depan kita dibentuk oleh kebisingan, bukan oleh kearifan.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk realitas. Dan adalah tugas kita bersama untuk memastikan kekuatan itu berada di tangan orang-orang yang benar-benar memiliki kapabilitas untuk membangun, bukan hanya janji untuk membuai. (*)
***
*) Oleh : Muhamad Razbi Cipta Ilahi, Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |