
TIMESINDONESIA, RIAU – Pancasila adalah fondasi ideologi bangsa yang merekatkan persatuan Indonesia. Lima sila di dalamnya tidak hanya menjadi hafalan, tetapi juga pedoman hidup yang diwariskan oleh para pendiri bangsa. Nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah cermin kebersamaan yang lahir dari perdebatan panjang, musyawarah mendalam, serta komitmen luhur untuk menjaga keutuhan bangsa yang beragam.
Jika menelusuri kronologi lahirnya Pancasila, kita akan menemukan semangat kebersamaan dan persatuan yang tak tergoyahkan. Para pendiri bangsa dengan setia mengikatkan diri pada satu tekad: Indonesia merdeka yang bersatu. Seperti bait patriotik Gombloh, “Merah darahku, putih tulangku,” persatuan menjadi denyut nadi yang menggerakkan kebangsaan.
Advertisement
Susunan sila dalam Pancasila tidaklah lahir secara kebetulan. Ia adalah hasil dari perenungan, diskusi, bahkan perdebatan panjang yang akhirnya melahirkan konsensus luhur. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa bangsa ini dibangun atas dasar pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dengan berbagai sebutan sesuai agama dan keyakinan.
Umat Islam menyebut Allah, umat Hindu menyebut Sang Hyang Widhi, umat Kristen menyebut Tuhan, dan seterusnya. Perbedaan keyakinan itu justru diletakkan di atas satu kesadaran bersama: bangsa Indonesia percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsekuensi logis dari sila pertama adalah setiap warga negara wajib memiliki agama atau keyakinan. Hal ini tercermin dalam identitas resmi seperti KTP, berbeda dengan beberapa negara lain yang tidak mencantumkan agama.
Bagi bangsa Indonesia, keyakinan kepada Tuhan diyakini akan melahirkan manusia beretika, yang selanjutnya termanifestasi dalam sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nilai adab, sopan santun, serta penghargaan pada sesama diturunkan dari keimanan kepada Tuhan.
Sila kedua ini mengajarkan bahwa adab dan etika menempati posisi mulia, bahkan lebih tinggi dari sekadar pengetahuan. Namun, realitas hari ini menunjukkan tantangan. Nilai etika, moral, dan akhlak sering terkikis oleh materialisme, hasrat duniawi, dan kepentingan sesaat. Padahal, tanpa etika dan adab, bangsa ini akan kehilangan ruh persatuan.
Dari dasar inilah lahir sila ketiga: Persatuan Indonesia. Semboyan klasik, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” menemukan relevansinya. Indonesia adalah rumah besar bagi 656 suku bangsa, lebih dari 300 bahasa daerah, dan ratusan tradisi lokal. Di Papua saja, terdapat sekitar 200 bahasa suku. Keragaman ini bukan penghalang, melainkan kekayaan yang harus dijahit dengan benang persatuan.
Clifford Geertz (1967) mencatat, meski Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis, hal itu tidak melemahkan semangat untuk hidup sebagai satu bangsa. Sejarah membuktikan melalui Sumpah Pemuda 1928: berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Bahkan ketika kemerdekaan diproklamasikan, para pendiri bangsa sepakat menjadikan bentuk negara kesatuan sebagai ikatan kokoh untuk menjaga kebhinekaan.
Persatuan itu tidak akan kokoh tanpa sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Musyawarah dan mufakat adalah jati diri bangsa. Ia menuntut akal sehat, itikad baik, kejujuran, dan tanggung jawab dalam mengambil keputusan.
Sayangnya, nilai luhur ini kian tergerus. Demokrasi prosedural hari ini lebih sering diwarnai oleh suara terbanyak dan voting instan, dari pemilihan presiden, kepala daerah, hingga pemilihan kepala desa. Musyawarah yang seharusnya menjadi jiwa bangsa, kini banyak tersisih oleh kalkulasi politik pragmatis.
Seluruh sila berpuncak pada tujuan besar: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah cita-cita kolektif: masyarakat adil dan makmur yang merata dari Sabang sampai Merauke. Namun, keadilan sosial mustahil terwujud tanpa penghayatan pada empat sila sebelumnya. Ia hanya bisa dicapai jika bangsa ini berlandaskan iman, menjunjung adab, menjaga persatuan, dan melaksanakan musyawarah yang bijak.
Pancasila adalah warisan yang hidup, bukan sekadar teks di dinding kantor atau sekolah. Ia adalah panduan praksis untuk merajut kebhinekaan Indonesia menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045. Momentum Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025, hendaknya menjadi pengingat bahwa persatuan, keadilan, dan kebersamaan adalah kekuatan utama bangsa. Dengan Pancasila, Indonesia akan tetap tegak berdiri di tengah arus zaman. (*)
***
*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |