Kopi TIMES

Toksikasi Massal dalam Program Makan Bergizi Gratis

Selasa, 30 September 2025 - 18:36 | 4.94k
Muhammad Shidqil Muqoffa, Wasekum Bidang Kajian Politik, Demokrasi dan Kebijakan Politik PP IPNU.
Muhammad Shidqil Muqoffa, Wasekum Bidang Kajian Politik, Demokrasi dan Kebijakan Politik PP IPNU.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diinisiasi sebagai intervensi monumental untuk optimasi sumber daya manusia, kini menghadapi realitas yang merusak. Bahkan dapat disebut sebagai krisis keamanan pangan berskala massal. Ribuan peserta didik, alih-alih memperoleh nutrisi, justru memerlukan intervensi medis darurat akibat toksikasi. 

Fenomena ini melampaui defisiensi implementatif biasa, mengindikasikan kegagalan sistemik yang dipicu oleh ambisi kebijakan yang mendahului kesiapan infrastruktur dan akuntabilitas manajerial, mempertaruhkan kesehatan populasi rentan.

Advertisement

Data dari entitas pemantau, termasuk Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan CISDI, menegaskan eskalasi kasus toksikasi yang tajam, mencapai hampir 8.000 siswa di 18 provinsi. Kejadian ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai insiden sporadis, melainkan merupakan epidemik yang diinduksi oleh program intervensi negara. 

Pola rekurensi insiden toksikasi berulang pada institusi pendidikan dan unit penyedia layanan yang sama menunjukkan defisit substansial dalam mekanisme koreksi. Keengganan untuk merespons peringatan awal mencerminkan impunitas sistemik, di mana keselamatan penerima manfaat dinilai sebagai variabel yang dapat dikorbankan demi kesinambungan citra program.

Defisiensi Higiene dan Regulasi Teknis

Etiologi (penyebab) utama krisis toksikasi ini teridentifikasi secara eksplisit. Analisis laboratorium mengkonfirmasi kontaminasi oleh bakteri patogen seperti E. coli, Salmonella, dan Basilus Cereus, yang merupakan indikator tegas standar sanitasi yang suboptimal pada fasilitas produksi. Hal ini dilaporkan oleh CNBC pada tahun 2025. Ironi struktural terletak pada logistik Sentra Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 

Data internal mengungkapkan bahwa dari ribuan unit SPPG yang beroperasi, hanya segelintir sekitar 34 unit yang memiliki Sertifikat Laik Higiene. Konsekuensinya, mayoritas makanan yang disalurkan kepada peserta didik diproduksi dalam kondisi yang secara higienis ilegal dan berisiko tinggi.

Ketidakmampuan menjaga keamanan pangan diperburuk oleh rancangan program yang dipercepat. Pedoman teknis (Juknis) MBG dinilai tidak memadai, terutama dalam standardisasi parameter kritis seperti kendali suhu dan waktu tunggu. 

Makanan yang dimasak dalam volume besar kemudian dikemas dalam kondisi panas dan didistribusikan dalam waktu lama, menciptakan inkubator ideal bagi pertumbuhan koloni bakteri. 

Pelanggaran teknis ini, yang merupakan deviasi dari standar HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points), adalah kelalaian fatal dalam konteks program vital.

Kompromi Nutrisi dan Konflik Kepentingan Finansial

Isu keamanan pangan terintegrasi dengan isu integritas fiskal. Anggaran program yang mencapai triliunan rupiah menjadikannya target yang rentan terhadap kepentingan di luar tujuan nutrisi. 

Patut dipertanyakan, bagaimana alokasi Rp15.000 per porsi dapat menghasilkan nilai bahan baku riil di lapangan hanya setara Rp8.000 hingga Rp10.000? 

Disparitas substansial ini, yang menjadi sorotan Tempo pada tahun 2025, mengindikasikan praktik mark up atau inefisiensi anggaran yang mereduksi kualitas nutrisi.

Situasi ini diperparah oleh laporan mengenai afiliasi manajerial SPPG dengan entitas politik atau tim sukses tertentu, sebagaimana diindikasikan oleh Transparency International Indonesia pada tahun 2025. 

Ketika manajemen program dialihkan dari profesional gizi ke pihak yang berorientasi laba, prioritas beralih kepada akumulasi keuntungan (cuan), menjadikan kualitas nutrisi dan keselamatan subjek sebagai variabel yang dapat dikorbankan. Ini merupakan penyimpangan fundamental dari mandat etis program.

Menyelamatkan Populasi dan Mereformasi Sistem

Pemerintah wajib menghentikan praktik pemakluman. Untuk mengeliminasi krisis dan merehabilitasi kepercayaan publik, tuntutan berikut harus diposisikan sebagai imperatif reformasi: 

Pertama, harus dilaksanakan Moratorium Total dan Audit Forensik Komprehensif. Secara epidemiologis, melanjutkan operasional unit SPPG yang terbukti menjadi sumber toksikasi tanpa audit adalah praktik berisiko tinggi yang mengancam kerugian permanen. 

Penghentian sementara diperlukan agar tim ahli independen dapat melaksanakan audit forensik ganda meliputi audit sanitasi maupun keuangan tanpa potensi intervensi. 

Audit ini juga fundamental untuk menindaklanjuti temuan mark up dan menegakkan akuntabilitas pidana bagi pihak yang lalai sesuai Undang Undang Pangan, mengingat keselamatan peserta didik terus terancam dan bukti hukum dapat dimusnahkan.

Kedua, diperlukan Reformasi Model Distribusi Berbasis Kompetensi. Model dapur sentral yang masif terbukti tidak adaptif dan rentan. Landasan keberlanjutan program menuntut transisi ke sistem desentralistik, mengoptimalkan kantin sekolah atau penyedia katering lokal berskala kecil yang terverifikasi. 

Model ini meminimalisir holding time makanan matang, faktor kritis dalam proliferasi bakteri. Selain itu, pemberdayaan unit lokal secara simultan mendukung resiliensi ekonomi komunitas dan memenuhi prinsip food security berbasis akar rumput.

Ketiga, harus diterapkan Penegakan Standar Mutu dan Sanksi Disinsentif tanpa toleransi. Kelonggaran standar harus dieliminasi. Secara keilmuan, kewajiban sertifikasi HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) adalah standar minimum global yang harus diinstitusionalisasi. Dapur yang beroperasi tanpa Sertifikat Laik Higiene harus ditutup, dan pejabat yang mengizinkannya harus dievaluasi. 

Sanksi disinsentif berat, termasuk pembatalan kontrak dan tuntutan pidana, wajib diberlakukan terhadap kontraktor yang menyimpang dari spesifikasi nutrisi dan mengancam kesehatan publik. Ini adalah mekanisme fundamental untuk menciptakan efek jera dan merekonstruksi kepercayaan publik.

Ambiguitas kebijakan dan ambisi yang tidak diimbangi oleh persiapan teknis telah menempatkan masa depan generasi di titik kritis. Keselamatan dan nutrisi anak adalah sine qua non. 

Kelanjutan program harus didasarkan pada rekonstruksi total sistem, dengan akuntabilitas berbasis bukti sebagai pilar utama, bukan sebagai pelengkap. Waktu untuk evaluasi superfisial telah berakhir, dan kini dibutuhkan reformasi demi melindungi populasi dari kerentanan pangan. (*)

***

*) Oleh: Muhammad Shidqil Muqoffa, Wasekum Bidang Kajian Politik, Demokrasi dan Kebijakan Politik PP IPNU.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES