Kopi TIMES

Pengibaran Bendera Setengah Tiang Dualitas Kesaktian Pancasila dan Tiga Tahun Luka Tragedi Kanjuruhan

Selasa, 30 September 2025 - 19:35 | 5.94k
Bachtiar Djanan M, periset sosial budaya yang berasal dari kota Malang
Bachtiar Djanan M, periset sosial budaya yang berasal dari kota Malang

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tanggal 1 Oktober menghadirkan paradoks emosional dan historis bagi bangsa Indonesia. Secara resmi, hari ini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, momentum yang lahir di tengah pergolakan politik pasca-1965.

Peringatan tersebut dimaksudkan untuk meneguhkan keyakinan bahwa Pancasila adalah ideologi yang “sakti,” karena berhasil bertahan dari ancaman Gerakan 30 September (G30S/PKI).

Advertisement

Melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat 17 September 1966 yang kemudian diperkuat dengan Keppres No. 153 Tahun 1967, Orde Baru membakukan ritual kenegaraan ini. Pada 30 September bendera dikibarkan setengah tiang untuk mengenang para jenderal yang gugur, lalu dinaikkan penuh pada 1 Oktober sebagai simbol kemenangan ideologis.

Namun, di balik formalitas dan simbolisme itu, tanggal 1 Oktober tidak pernah steril dari perdebatan. Di satu sisi, ia dianggap momen sakral untuk memperkokoh persatuan bangsa. Di sisi lain, ia dipandang sebagai warisan politik Orde Baru yang sarat manipulasi sejarah, digunakan untuk mengokohkan legitimasi kekuasaan.

Kini, di era demokrasi, kita dihadapkan pada tantangan yang lebih besar: bagaimana merekonstruksi makna 1 Oktober agar tetap relevan dengan kebutuhan moral dan sosial masyarakat masa kini.

Kritik Reformasi Narasi Kesaktian
Sejak Reformasi bergulir, kritik terhadap Hari Kesaktian Pancasila semakin menguat. Banyak akademisi dan aktivis menilai bahwa peringatan 1 Oktober ini terlalu militeristik dan dogmatis.

Alih-alih menjadi ruang refleksi atas nilai-nilai filosofis Pancasila, 1 Oktober justru direduksi menjadi seremoni kaku yang mengulang narasi tunggal Orde Baru: ancaman komunisme dan kemenangan ideologi negara.

Problemnya, narasi itu lebih menekankan “kesaktian” dalam arti pertahanan politik, bukan “kesaktian” sebagai nilai hidup.
Pancasila tidak lagi ditempatkan sebagai falsafah terbuka yang membimbing praktik kebangsaan, melainkan dogma yang tak boleh disentuh kritik.

Kritik-kritik inilah yang menuntut agar peringatan 1 Oktober diubah menjadi momentum penghayatan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi—nilai yang lebih relevan dengan tantangan bangsa saat ini.

Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober
Ironi itu mencapai puncaknya pada 1 Oktober 2022 malam, ketika Stadion Kanjuruhan di Malang berubah menjadi lautan tragedi.

Di tengah euforia sepak bola, gas air mata ditembakkan ke arah tribun penonton.

Dalam hitungan menit, suasana berubah menjadi kepanikan massal. Ratusan orang berdesakan di pintu keluar yang sempit, kehabisan oksigen, terinjak-injak, dan akhirnya meregang nyawa.135 jiwa melayang malam itu.

Di antaranya seorang balita berusia 3 tahun, 71 remaja belasan tahun, 50 pemuda berusia 20-an, 9 orang berusia 30-an, dan 4 orang berusia 40-an. Tercatat 93 korban laki-laki dan 42 korban perempuan meninggal dunia, sementara ratusan lainnya mengalami luka fisik maupun trauma psikis.

Tragedi ini melahirkan kisah kehilangan yang memilukan. Ada orang tua yang kehilangan anaknya, ada anak yang kehilangan ibunya, ada anak yang kehilangan bapaknya, ada anak yang kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.

Ada seorang istri yang kehilangan suami dan anaknya dalam satu malam, ada seorang suami yang kehilangan istri serta dua anaknya sekaligus. Tak terhitung pula mereka yang kehilangan teman, sahabat, kerabat, dan tetangga.

Luka itu menembus batas dinding stadion, menjalar ke seluruh negeri. Tragedi Kanjuruhan adalah cermin buram dari kegagalan Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kesaktian Pancasila diuji bukan lagi dalam pertempuran ideologi, melainkan dalam kemampuan negara melindungi nyawa warganya. Dan di ujian itu, negara gagal.

Ketidakadilan yang Membekas
Tiga tahun berlalu, keluarga korban terus merasakan pahitnya ketidakadilan. Vonis ringan dijatuhkan kepada segelintir aparat, sementara pejabat yang seharusnya bertanggung jawab justru lolos dari jerat hukum.

Tanggung jawab struktural seakan larut dalam kabut birokrasi. Janji-janji penuntasan kasus sempat terucap, bahkan dari mulut Presiden RI sendiri. Namun realitanya, janji-janji itu jauh dari terwujud.
Tidak ada reformasi mendasar dalam tata kelola keamanan stadion. Tidak ada akuntabilitas penuh yang menegakkan prinsip keadilan.

Bagi keluarga korban, luka itu tak hanya kehilangan orang tercinta, tetapi juga dikhianati oleh negara yang seharusnya melindungi mereka. Inilah ironi terbesar: di hari yang dirayakan sebagai simbol kesaktian ideologi, rakyat justru merasakan rapuhnya perlindungan hukum.

Perdebatan Simbol Bendera 
Dilema paling nyata muncul dalam simbol pengibaran bendera pada 1 Oktober. Di tingkat negara, bendera dikibarkan satu tiang penuh sebagai tanda kemenangan ideologi. Namun, bagi keluarga korban dan mereka yang berduka, bendera setengah tiang justru lebih jujur.
Bendera setengah tiang bukan penolakan terhadap Pancasila, melainkan protes moral: bagaimana mungkin kita merayakan kesaktian, sementara keadilan masih gagal ditegakkan?
Kesaktian tanpa keberanian menuntaskan luka rakyat hanya akan menghasilkan “kemenangan yang jauh dari sempurna.”


Merevisi Makna 1 Oktober
Pertanyaannya kini sederhana tapi fundamental: apakah kita masih akan terus mempertahankan 1 Oktober hanya sebagai ritual formal, atau berani merevisinya menjadi hari refleksi kebangsaan yang lebih relevan?

Kesaktian Pancasila seharusnya tidak diukur dari kemampuan negara mempertahankan diri dari ideologi lain. Ia harus diukur dari sejauh mana Pancasila mampu hidup dalam tindakan sehari-hari penyelenggara negara dan masyarakat.

Jika Pancasila benar-benar sakti, ia harus membuktikan diri dengan mengalahkan impunitas, menegakkan akuntabilitas, dan memastikan setiap warga negara memperoleh perlindungan yang adil.

Kasus Kanjuruhan seharusnya menjadi momentum untuk membuktikan bahwa Pancasila bukan sekadar slogan. Dengan menjadikan tuntutan keadilan bagi korban sebagai agenda nasional, negara menunjukkan bahwa Pancasila memang ideologi hidup, bukan sekadar dogma masa lalu.

Dari Ritual ke Penegasan Nilai
Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang 1 Oktober sebagai momentum penegasan nilai kemanusiaan dan keadilan Pancasila. Sebuah hari di mana negara tidak hanya mengenang ancaman ideologi masa lalu, tetapi juga mengafirmasi komitmen pada perlindungan hak asasi manusia di masa kini.

Bayangkan jika setiap peringatan 1 Oktober diwarnai bukan hanya dengan upacara di Monumen Pancasila Sakti, tetapi juga dengan refleksi nasional tentang penegakan hukum, keadilan sosial, dan perlindungan rakyat.

Bayangkan jika keluarga korban Kanjuruhan, korban pelanggaran HAM masa lalu, hingga korban ketidakadilan struktural lainnya, dilibatkan dalam ruang-ruang peringatan itu. Maka, kesaktian Pancasila tidak lagi terasa abstrak, tetapi nyata.

Pancasila di Hati Nurani Rakyat
Dualitas 1 Oktober tidak bisa lagi diabaikan. Di satu sisi, ia adalah warisan sejarah yang tak bisa diputus dari perjalanan bangsa.

Di sisi lain, ia menuntut redefinisi agar selaras dengan cita-cita keadilan yang terus hidup.

Tragedi Kanjuruhan adalah bukti paling jelas bahwa kesaktian ideologi tidak bisa hanya diukur dari simbol dan ritual. Ia harus dibuktikan dalam keberanian negara menghadirkan keadilan.

Jika kita benar-benar ingin merayakan Kesaktian Pancasila, maka hari itu harus menjadi momen di mana negara mengakui luka rakyatnya. Hari di mana negara memperjuangkan hak-hak mereka, dan memastikan tragedi serupa tidak terulang.
Barulah setelah itu, peringatan 1 Oktober akan bergema bukan hanya di ruang upacara, melainkan juga di hati nurani rakyat. Pancasila akan benar-benar terasa sakti—karena ia hidup, adil, dan berpihak pada kemanusiaan.

Apa Kabar Tragedi Kanjuruhan?

Apa kabar Tragedi Kanjuruhan?
Teriak pilu salam satu jiwa
dari mereka, orang-orang yang cinta
yang berkorban dengan darah dan air mata

Di gerbangmu berakhir hidup mereka
Satu tiga lima itu bukan angka
Seratus tiga puluh lima adalah nyawa
Dari mereka yang membela dengan cinta

Apa kabar Tragedi Kanjuruhan?
Di gerbangmu mereka terhenti nafasnya
Warna biru beralih hitam duka
Singo edan kini mengaum terluka

Saudaraku tergeletak tak bernyawa
Asap gas air mata mencekik nafasnya
Badan terinjak lemas tak berdaya
Gerbangmu terkunci tak dibuka

Apa kabar Tragedi Kanjuruhan?
Sorak sorai berganti jerit ratap duka
Sahabat dan saudaraku pergi selamanya
Sementara keadilan entah ada di mana

Tak ada sepakbola seharga nyawa
Tinta darah menorehkan cerita luka
Nyawa tak terganti ucapan bela sungkawa
Sementara keadilan pergi entah ke mana

Ada pihak yang lari dari tanggungjawabnya
Ada pula yang mencari panggung di atas luka
Ada yang tega memakan dana donasi duka cita
Biarlah nanti karma yang akan berbicara

Ada anak kehilangan orang tuanya
Ada ayah ibu ditinggal mati anaknya
Dengarkan hati nurani bicara
Merawat ingatan dan menolak lupa

Jangan bersembunyi dan salahkan takdir
Tanggung jawab jangan hanya manis di bibir
Kanjuruhan sampai hari ini belum berakhir
Teruslah bergerak walau kita hanya segelintir

Sahabat sejati bergerak dari hati nurani
Dengan untaian doa melepas saudaranya pergi 
Segenap jiwa dan ketulusan para pembakti 
Teruslah bergelora walaupun di jalan sunyi

Apa kabar Tragedi Kanjuruhan? (*)

 

Oleh: Bachtiar Djanan M
(*) Penulis adalah periset sosial budaya yang berasal dari kota Malang, dulu pernah aktif sebagai suporter Arema, kini tinggal di Depok.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES