Kopi TIMES

G30S PKI dan Masyarakat Sipil Menjaga Bangsa

Selasa, 30 September 2025 - 21:32 | 4.97k
Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap akhir September, bangsa Indonesia selalu diingatkan pada peristiwa kelam sejarah, yakni Gerakan 30 September 1965 yang lebih dikenal sebagai G30S/PKI. Peristiwa ini bukan hanya soal pergolakan politik dan perebutan kekuasaan, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang menorehkan luka mendalam di tubuh bangsa. 

Ribuan nyawa melayang, konflik horizontal mengoyak kehidupan masyarakat, dan trauma ideologis diwariskan lintas generasi. Namun yang lebih penting hari ini adalah bagaimana peristiwa itu kita maknai secara kritis, agar menjadi refleksi bersama dalam menjaga bangsa dari pihak-pihak yang berusaha merongrong kedaulatan negara.

Advertisement

Sejarah memang selalu menyisakan ruang tafsir. Dalam kasus G30S/PKI, tafsir itu seringkali dibalut kepentingan politik. Ada yang menekankan aspek pengkhianatan ideologi, ada pula yang melihatnya sebagai konflik elite militer dan politik. 

Tetapi apapun perspektif yang digunakan, satu hal yang tidak bisa dibantah: peristiwa ini menunjukkan rapuhnya fondasi persatuan bangsa ketika ideologi dijadikan alat perebutan kekuasaan. Pelajaran inilah yang seharusnya kita tarik ke masa kini.

Kritis terhadap G30S/PKI berarti tidak hanya berhenti pada ritual mengenang, menonton film, atau memperdebatkan siapa dalang sesungguhnya. Lebih dari itu, kita perlu menempatkan peristiwa ini sebagai cermin bahwa ancaman terhadap persatuan nasional bisa datang kapan saja, baik dari luar maupun dari dalam. 

Jika pada 1965 bangsa ini diguncang oleh pertarungan ideologi komunisme, hari ini ancaman itu bisa berupa radikalisme, politik identitas, disinformasi digital, hingga praktik oligarki yang merampas ruang demokrasi. Semuanya berpotensi menggerus sendi kebangsaan kita.

Masyarakat sipil memegang peran penting dalam menjaga agar tragedi serupa tidak terulang. Di era digital, informasi berseliweran begitu cepat, seringkali tanpa saringan. Narasi kebencian, hoaks, hingga propaganda yang memecah belah kerap dibungkus dengan sentimen ideologis dan agama. 

Situasi ini mirip dengan pra-1965, ketika isu ideologi dipelintir menjadi alat mobilisasi massa. Bedanya, kini media sosial menjadi senjata baru. Di sinilah kesadaran kritis masyarakat diuji: apakah kita akan terjebak dalam polarisasi, atau belajar dari sejarah untuk memperkuat imunitas kebangsaan?

Refleksi atas G30S/PKI juga mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh hanya dimaknai sebatas prosedur pemilu. Demokrasi harus dijalankan dengan prinsip keadilan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemerataan kesejahteraan. Kegagalan negara menghadirkan keadilan sering kali menjadi pintu masuk bagi ideologi ekstrem untuk berkembang. 

Jika rakyat merasa terpinggirkan, mereka akan mudah dipengaruhi narasi radikal yang menjanjikan perubahan instan. Karena itu, menjaga bangsa dari rongrongan pihak-pihak tertentu bukan hanya tugas aparat keamanan, melainkan juga kewajiban negara untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

Generasi muda, yang lahir jauh setelah 1965, juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga bangsa. Mereka tidak mengalami langsung pahit getirnya konflik ideologi, tetapi mereka mewarisi konsekuensi sejarah itu. Oleh karena itu, pendidikan sejarah harus diarahkan bukan sekadar hafalan peristiwa, melainkan sebagai pembelajaran kritis. 

Anak muda perlu memahami bahwa G30S/PKI bukan sekadar tragedi masa lalu, melainkan peringatan abadi bahwa bangsa ini pernah hampir terpecah belah oleh ideologi yang mengingkari Pancasila. Dengan kesadaran ini, generasi muda diharapkan menjadi benteng terdepan melawan infiltrasi ideologi dan kepentingan asing.

Sikap kritis terhadap G30S/PKI juga berarti berani mengakui luka sejarah yang ditimbulkannya. Ada banyak korban yang selama ini tidak mendapat ruang bicara, baik dari pihak yang dituduh sebagai simpatisan maupun dari masyarakat yang terdampak konflik. 

Pengakuan terhadap luka kolektif ini penting, agar sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang. Rekonsiliasi yang sehat memerlukan keberanian untuk membuka ruang dialog, tanpa harus mengorbankan kebenaran tentang bahaya laten ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Yang juga perlu diwaspadai adalah manipulasi sejarah untuk kepentingan politik sesaat. Peristiwa G30S/PKI kerap digunakan sebagai alat propaganda, terutama menjelang momentum politik tertentu. Stigma "komunis" mudah dilemparkan kepada lawan politik untuk mendeligitimasi mereka, meski tanpa dasar yang kuat. 

Praktik seperti ini justru merendahkan makna sejarah dan menjadikannya sekadar alat retorika. Padahal, tujuan utama mengingat G30S/PKI adalah membangun kesadaran kebangsaan, bukan memperuncing perpecahan.

Ke depan, bangsa ini harus lebih matang dalam menyikapi warisan sejarah. Kita tidak boleh fobia pada kata "komunis" hingga menutup ruang berpikir kritis, tetapi juga tidak boleh permisif terhadap ideologi yang jelas-jelas menentang Pancasila. 

Keseimbangan ini hanya bisa dicapai dengan membangun masyarakat yang melek sejarah, cerdas secara politik, dan berani bersuara terhadap praktik-praktik yang merongrong bangsa. Sebab, pengkhianatan terhadap negara tidak selalu berbaju ideologi kiri; ia bisa datang dalam bentuk korupsi, perampokan sumber daya alam, atau kolusi antara elit politik dan ekonomi.

G30S/PKI harus kita maknai sebagai alarm sejarah. Alarm bahwa persatuan bangsa ini rapuh bila dibiarkan retak oleh kepentingan sempit. Alarm bahwa ideologi yang bertentangan dengan Pancasila hanya akan membawa bangsa pada jurang perpecahan. Alarm bahwa menjaga Indonesia adalah tanggung jawab kolektif seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit. 

Maka, semangat kritis yang harus kita rawat adalah bagaimana membangun imunitas bangsa dari segala bentuk rongrongan, dengan cara memperkuat nilai Pancasila, memperdalam demokrasi, dan menghadirkan keadilan sosial. Inilah makna sejati dari mengenang G30S/PKI: bukan untuk terus menerus menyalahkan, melainkan untuk belajar menjaga rumah besar yang bernama Indonesia.

***

*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES