Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Waris Digital dan Krisis Kepastian Hukum di Indonesia

Rabu, 01 Oktober 2025 - 23:48 | 7.05k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di era digital saat ini, hampir semua aspek kehidupan manusia terhubung dengan dunia maya. Mulai dari akun media sosial, dompet elektronik, hingga aset kripto, semuanya memiliki nilai dan keberadaan yang nyata. Namun, ketika pemilik aset digital meninggal dunia, pertanyaan krusial muncul: siapa yang berhak atas aset-aset tersebut? Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah waris digital, sebuah konsep yang semakin relevan, tetapi hingga kini menghadapi krisis kepastian hukum di Indonesia.

Secara teoritis, waris digital tidak berbeda jauh dari konsep warisan konvensional: hak seseorang atas harta yang ditinggalkan dapat dialihkan kepada ahli waris. Bedanya, aset digital bersifat tidak fisik, dikelola secara elektronik, dan seringkali terikat dengan sistem keamanan yang kompleks. Misalnya, akun media sosial dengan jumlah pengikut jutaan dapat memiliki nilai ekonomi signifikan, begitu pula cryptocurrency dan saldo e-wallet. Tanpa regulasi yang jelas, aset-aset ini sulit dialihkan, dan hak ahli waris bisa terhambat atau bahkan hilang.

Advertisement

Beberapa praktisi hukum dan akademisi menekankan bahwa Indonesia membutuhkan regulasi khusus terkait waris digital. Mereka menyoroti bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun KUHPerdata saat ini tidak mengatur secara spesifik tentang pewarisan aset digital. Ketidakjelasan ini menimbulkan keraguan dalam proses pengelolaan, pembagian, hingga akses atas akun digital. Dalam beberapa kasus yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, pemohon meminta agar aturan jelas ditegakkan sehingga ahli waris memiliki dasar hukum yang sah untuk mengelola atau mengklaim aset digital. Tanpa pengakuan hukum, waris digital hanya menjadi teori tanpa praktik yang dapat dijalankan secara efektif.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di sisi lain, muncul sejumlah argumen yang menyoroti tantangan implementasi regulasi waris digital. Pertama, dari sisi teknis, akses ke aset digital sering memerlukan kata sandi atau kunci privat yang hanya diketahui oleh pemiliknya. Jika ahli waris tidak memiliki akses ini, maka proses pewarisan menjadi mustahil, meski secara hukum mereka berhak. Kedua, sifat aset digital yang sangat dinamis membuat regulasi yang ada rentan cepat usang; teknologi berkembang lebih cepat dibandingkan peraturan yang dibuat pemerintah. Hal ini membuat hukum tertulis kadang tidak lagi relevan dengan kondisi nyata di lapangan.

Selain itu, aspek etis dan keberagaman pandangan hukum juga menambah kompleksitas. Misalnya, sebagian ulama berpendapat bahwa cryptocurrency sebagai salah satu bentuk aset digital tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan karenanya tidak dapat diwariskan. Hal ini menunjukkan bahwa waris digital bukan sekadar persoalan hukum perdata atau teknologi, tetapi juga terkait dengan norma sosial, moral, dan agama yang beragam di Indonesia. Ketiadaan pedoman yang mengakomodasi berbagai perspektif ini memunculkan krisis kepastian hukum yang nyata.

Meski tantangan sangat banyak, argumen pro tetap menekankan bahwa aset digital memiliki nilai ekonomi dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Tanpa regulasi yang jelas, harta digital bisa hilang atau disalahgunakan, sementara ahli waris sah dirugikan. Di sinilah urgensi hadirnya kebijakan hukum yang spesifik: untuk memastikan aset digital bisa diwariskan dengan cara yang sah, transparan, dan adil. Perlu ada mekanisme yang mengatur akses, verifikasi, serta pengelolaan aset digital pasca-meninggalnya pemilik. Dengan pendekatan yang tepat, waris digital bisa menjadi instrumen hukum yang menjaga hak semua pihak.

Namun, kenyataan di Indonesia masih jauh dari ideal. Saat ini, banyak ahli waris hanya mengandalkan negosiasi dengan pihak penyedia layanan digital atau menggunakan surat kuasa khusus yang sifatnya terbatas. Regulasi formal yang tegas tentang waris digital masih menunggu keputusan politik dan pembahasan legislatif yang matang. Sementara itu, risiko kehilangan hak atas aset digital tetap tinggi, menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat yang semakin mengandalkan dunia digital.

Dari perspektif argumentatif, jelas bahwa waris digital bukan sekadar isu teknis atau formalitas hukum. Ia adalah kebutuhan mendesak di tengah perkembangan teknologi yang cepat, namun di satu sisi juga menuntut pertimbangan etis, agama, dan sosial. Regulasi yang dihasilkan harus mampu menjembatani semua kepentingan tanpa menimbulkan konflik baru, sekaligus memberi kepastian hukum bagi masyarakat.

Meski urgensi waris digital sudah diakui, kondisi saat ini masih meninggalkan banyak tanda tanya. Publik dan ahli waris menunggu kepastian hukum yang jelas, sementara pemerintah dan pembuat regulasi tampak lamban menghadirkan aturan yang menyeluruh. Hal ini menjadi dilema nyata: di tengah nilai ekonomi dan sosial aset digital yang terus meningkat, kepastian hukum untuk pewarisannya masih tergantung pada mekanisme informal dan interpretasi subjektif. Sebuah krisis yang menuntut perhatian serius bagi semua pihak. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES