Kopi TIMES

Membaca Era Artificial Intelligence

Kamis, 02 Oktober 2025 - 11:33 | 3.99k
Hanifah Inayah, Alumni (Cumlaude) Statistika Bisnis ITS dan Generative AI Developer.
Hanifah Inayah, Alumni (Cumlaude) Statistika Bisnis ITS dan Generative AI Developer.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setiap kemunculan teknologi besar selalu menimbulkan dua sisi, harapan dan ketakutan. Begitu pula dengan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Di satu sisi, AI dipandang sebagai terobosan yang mampu mempercepat pekerjaan, mengefisienkan biaya, dan membuka peluang baru (hype) di berbagai bidang. 

Namun di sisi lain, kekhawatiran muncul bahwa AI akan menggeser peran manusia, menciptakan pengangguran, bahkan menimbulkan risiko etis (ethics) yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Advertisement

Kekhawatiran itu tampak nyata dalam beberapa isu yang kini marak diperbincangkan. Dunia seni, misalnya, menghadapi kontroversi AI art: karya visual yang dihasilkan mesin sering dituding mencuri gaya seniman tanpa izin, memunculkan perdebatan soal orisinalitas dan hak cipta. 

Di ranah keamanan, AI juga menyimpan sisi gelap. Kasus deepfake (video atau foto manipulatif yang terlihat nyata) menjadi ancaman serius karena bisa digunakan untuk menyebar hoaks, merusak reputasi, bahkan mengganggu stabilitas politik. 

Belum lagi isu keamanan data dan potensi penyalahgunaan AI untuk kejahatan siber. Semua ini menunjukkan bahwa AI bukan hanya alat yang netral, melainkan teknologi yang perlu diawasi ketat agar tidak melahirkan kerusakan sosial.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa setiap teknologi besar dalam sejarah selalu datang dengan kontroversi serupa. Mesin cetak pernah dituduh berpotensi merusak tatanan sosial karena menyebarkan informasi tanpa kontrol.

Internet dituding membanjiri manusia dengan distraksi dan konten palsu. Tetapi justru dari kekhawatiran itu lahir regulasi, etika, dan literasi baru yang membuat teknologi bisa dijinakkan dan dimanfaatkan untuk kebaikan.

AI pun menempuh jalur yang sama. Ia memang mengambil alih pekerjaan rutin, tetapi pada saat yang sama membuka ruang bagi lahirnya profesi baru: prompt engineer, data ethicist, AI trainer, hingga seniman yang memadukan imajinasi dengan algoritma. 

Tantangannya bukan sekadar “apakah AI akan menggantikan manusia,” melainkan “siapa yang mampu lebih dulu menguasai AI dan menggunakannya dengan bertanggung jawab.” Mereka yang takut dan menolak akan tertinggal, sementara yang kritis sekaligus kreatif akan memimpin arah perubahan.

Karena itu, sikap kita seharusnya bukan paranoia, melainkan kesiapan. Kesiapan membangun regulasi yang tegas, kesiapan membekali masyarakat dengan literasi digital, dan kesiapan menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan penguasa. 

Teknologi ini tidak akan berhenti berkembang. Pertanyaannya sederhana: apakah kita memilih menjadi penonton yang pasif, atau aktor yang berani memimpin perubahan?

 

***

*) Oleh : Hanifah Inayah, Alumni (Cumlaude) Statistika Bisnis ITS dan Generative AI Developer.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES