Kopi TIMES

Dedikasi Guru dan Disparitas Insentif MBG

Jumat, 03 Oktober 2025 - 12:47 | 5.19k
Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.
Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin terwujud tanpa peran guru yang berdedikasi dan kompeten. Namun, di balik pengabdian mereka, banyak guru di Indonesia, khususnya guru honorer, masih harus menghadapi kenyataan pahit: penghasilan yang sangat rendah dan ketidakpastian status kerja. 

Mereka menjadi tulang punggung pendidikan, tetapi belum memperoleh penghargaan yang sepadan. Pada saat yang sama, program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah melibatkan guru sebagai penanggung jawab lapangan atau PIC dengan janji insentif tertentu. 

Advertisement

Di sinilah muncul paradoks: guru yang sudah terhimpit oleh gaji minim justru dibebani tanggung jawab tambahan yang belum tentu diimbangi dengan kompensasi yang layak.

Data IDEAS dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024 menunjukkan bahwa dari 403 guru honorer di 25 provinsi, sebanyak 74 persen menerima gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen di antaranya digaji kurang dari Rp 500 ribu. Angka ini jauh dari standar hidup layak, apalagi bila dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota terendah sekalipun, misalnya UMK Banjarnegara 2024 sebesar Rp 2.038.005. 

Meskipun kondisi ini mengiris logika keadilan, banyak guru tetap bertahan karena keterbatasan pilihan pekerjaan. Ironi semakin nyata ketika data Republika mencatat rata-rata gaji guru honorer hanya Rp 1,2 juta untuk SD, Rp 1,9 juta untuk SMP, Rp 2,7 juta untuk SMA, dan Rp 3,3 juta untuk SMK. 

Sementara guru madrasah jauh lebih rendah: MI sekitar Rp 780 ribu, MTs Rp 785 ribu, dan MA Rp 984 ribu. Fakta ini diperkuat GoodStats yang menyebut 26,4 persen guru honorer memperoleh gaji antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, dan hanya 0,8 persen yang bisa menikmati gaji di atas Rp 5 juta.

Dari sisi jumlah, persoalan guru honorer bukanlah masalah kecil. Kemendikbud pada 2022 mencatat ada 704.503 guru honorer di sekolah negeri, sementara PGRI menyebut angka 484.483 orang atau 14,19 persen dari total guru negeri. 

Besarnya proporsi ini menunjukkan bahwa kesejahteraan guru honorer adalah isu besar dan mendasar dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan utama mereka berasal dari keterbatasan anggaran sekolah yang masih bergantung pada Dana BOS. 

Meski regulasi memperbolehkan hingga 50 persen dana BOS dipakai untuk menggaji guru non-PNS, faktanya dana itu juga harus membiayai listrik, ATK, perawatan, hingga fasilitas sekolah. Maka tidak jarang honor guru menjadi pos terakhir yang dikorbankan, terlebih di sekolah kecil atau terpencil dengan dana BOS minim.

Selain itu, status non-ASN membuat guru honorer tidak memiliki kepastian kerja, jaminan pensiun, maupun tunjangan kesehatan. Mereka bergantung pada kebijakan kepala sekolah atau pemerintah daerah dari tahun ke tahun, tanpa kontrak jangka panjang yang bisa menjamin masa depan. 

Program PPPK memang hadir sebagai jalan keluar, tetapi sistem seleksi yang ketat dan kuota terbatas membuat banyak guru tetap terjebak di posisi honorer. Ditambah lagi, disparitas gaji antarjenjang dan antarwilayah membuat ketimpangan semakin lebar. 

Guru SD yang rata-rata digaji Rp 1,2 juta masih lebih beruntung dibanding guru madrasah yang menerima tidak lebih dari Rp 1 juta. Bahkan ada pula guru honorer yang hanya digaji Rp 300–400 ribu, jumlah yang jelas jauh dari standar kelayakan hidup.

Kondisi diperparah dengan keterlambatan pembayaran akibat proses administrasi yang berbelit. Guru harus menunggu pencairan BOS atau melengkapi verifikasi data, dan kesalahan kecil saja dapat membuat pembayaran tertunda berminggu-minggu. Padahal, mereka tetap harus memenuhi kebutuhan harian seperti biaya transportasi, listrik, hingga pangan yang tidak bisa menunggu. 

Di sisi lain, ketiadaan fasilitas tambahan seperti jaminan kesehatan, perlindungan hari tua, dan akses pelatihan menjadikan posisi guru honorer semakin rentan. Dengan segala beban itu, mereka tetap mengajar dengan dedikasi penuh, seolah melanjutkan pengabdian yang tiada henti.

Dalam konteks ini, program Makan Bergizi Gratis menambah kompleksitas. Berdasarkan Surat Edaran BGN Nomor 5 Tahun 2025, setiap sekolah penerima manfaat MBG wajib menunjuk 1 hingga 3 guru PIC, dengan prioritas kepada guru honorer. 

Sebagai kompensasi, guru PIC dijanjikan insentif Rp 100 ribu per hari. Bila dihitung, seorang guru PIC yang bertugas 20 hari bisa memperoleh Rp 2 juta. Nominal ini tentu terasa berarti, tetapi jika dicermati lebih dalam, insentif itu hanyalah tambahan kecil yang jauh dari cukup untuk menopang kebutuhan hidup, apalagi di perkotaan dengan biaya hidup tinggi.

Lebih jauh, implementasi kebijakan ini tidak sederhana. Banyak sekolah mengalami kesulitan dalam menyediakan dana operasional gizi karena biaya dapur, distribusi, dan perlengkapan higienis sudah sangat besar. 

Insentif guru PIC pun kerap menjadi beban tambahan yang ditunda atau bahkan dipotong. Mekanisme administrasi juga tidak kalah pelik. Insentif baru bisa cair setelah absensi, laporan distribusi, dan validasi lengkap. 

Proses ini membuat pembayaran sering tertunda, sehingga guru bekerja lebih dulu tanpa kepastian kapan haknya diterima. Kritik pun bermunculan. JPPI misalnya menyebut insentif Rp 100 ribu itu ibarat “penawar pahit” karena tidak sebanding dengan beban kerja yang dipikul guru honorer.

Persoalan gaji honorer dan insentif MBG pada dasarnya saling terkait. Guru yang sudah berpenghasilan minim tentu berharap insentif MBG bisa menjadi tambahan yang berarti. Namun, ketika pencairannya lambat dan prosedurnya berbelit, motivasi mereka justru bisa runtuh. 

Sekolah pun terjebak dilema: jika mendahulukan insentif PIC, gaji reguler bisa tertunda, tetapi bila mendahulukan gaji reguler, insentif PIC terpaksa dibekukan. Dalam kondisi serba terbatas ini, ujungnya ada pihak yang dikorbankan.

Jika masalah mendasar ini tidak segera diperbaiki, program MBG justru terancam kehilangan esensinya. Guru PIC yang frustrasi mungkin hanya menjalankan tugas sekadar formalitas tanpa komitmen penuh, dan pada akhirnya tujuan utama untuk meningkatkan gizi siswa tidak tercapai optimal. Oleh karena itu, diperlukan reformasi kebijakan yang lebih progresif. 

Pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan standar honorarium minimal guru honorer yang tidak boleh di bawah UMR, menyediakan anggaran khusus dalam APBD agar sekolah tidak bergantung penuh pada BOS, serta menjamin pembayaran tepat waktu dan transparan melalui digitalisasi sistem keuangan. Nilai insentif juga perlu disesuaikan dengan beban, terutama di daerah terpencil dengan tantangan distribusi tinggi.

Lebih dari itu, guru honorer yang menjadi PIC MBG seharusnya mendapat perlakuan khusus berupa prioritas pencairan insentif, cuti tambahan, atau kompensasi waktu. Monitoring independen dari lembaga eksternal perlu dilakukan secara rutin agar pembayaran sesuai aturan dan tidak menimbulkan sengketa. Kepala sekolah dan bendahara juga harus dibekali pelatihan manajemen anggaran agar mampu merencanakan pembiayaan gaji dan insentif tanpa saling berbenturan.

Masalah penggajian guru honorer dan pemberian insentif PIC MBG pada hakikatnya adalah persoalan penghargaan atas dedikasi guru. Selama gaji mereka masih jauh di bawah standar dan insentif MBG hanya menjadi tambahan kecil dengan mekanisme berbelit, maka pendidikan yang bermartabat sulit terwujud. 

Jika negara serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka langkah pertama adalah memastikan guru khususnya honorer mendapatkan penghargaan yang adil, layak, dan tepat waktu. Tanpa reformasi mendasar, program strategis seperti MBG hanya akan berhenti pada tataran simbolis, sementara guru tetap berada dalam lingkaran ketidakpastian. (*)

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES