
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Istilah fixed mindset dan growth mindset menjadi populer setelah diperkenalkan oleh Carol Dweck (2006). Konsep ini dengan cepat menyebar ke dunia pendidikan, psikologi, hingga manajemen organisasi.
Secara sederhana, fixed mindset dipahami sebagai pola pikir bahwa kecerdasan dan kemampuan manusia bersifat bawaan, tidak banyak berubah, dan cenderung statis. Sebaliknya, growth mindset menekankan keyakinan bahwa kemampuan dapat berkembang melalui usaha, kerja keras, dan pembelajaran berkelanjutan.
Advertisement
Kesederhanaan konsep ini menjadikannya sangat mudah dipahami oleh guru, orang tua, maupun praktisi manajemen. Banyak sekolah kemudian mengadopsinya sebagai dasar motivasi belajar, saat ini dua istilah ini banyak digunakan dalam pelatihan deep learning di Indonesia.
Namun, popularitas itu membawa konsekuensi: fixed dan growth mindset seakan-akan menjadi dua kategori absolut untuk memahami perilaku manusia. Masalah muncul ketika guru terjebak pada pandangan bahwa hanya ada dua pilihan: apakah seseorang termasuk dalam fixed mindset atau growth mindset.
Cara berpikir ini dikenal sebagai either–or fallacy, sebuah kesalahan logika yang menganggap realitas hanya terdiri dari dua kutub ekstrem tanpa alternatif lain. Padahal, psikologi manusia jauh lebih kompleks, kontekstual, dan dinamis daripada sekadar hitam-putih.
Dikotomi Problematis
Pertama, dikotomi ini mereduksi kompleksitas psikologis manusia. Penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa mindset seseorang tidak selalu konsisten dalam semua bidang kehidupan.
Misalnya, seorang siswa bisa memiliki growth mindset dalam seni musik karena percaya keterampilan bermusik bisa dilatih, tetapi sekaligus memiliki fixed mindset dalam matematika karena merasa kecerdasan numeriknya bawaan dan tidak bisa berubah.
Costa dan Faria (2018) dalam tinjauan meta-analitik menegaskan bahwa mindset bersifat domain-spesifik: bisa berbeda tergantung konteks dan bidang yang digeluti. Hal ini berarti, menyederhanakan mindset hanya ke dalam dua kategori mutlak menutup ruang untuk memahami variasi yang lebih kaya.
Kedua, pembelahan ini sering memunculkan bias normatif. Dalam praktik, growth mindset sering dianggap sebagai pola pikir ideal, sedangkan fixed mindset diposisikan sebagai penghalang. Padahal, tidak semua yang bersifat tetap atau statis selalu buruk.
Ada konteks di mana pola pikir tetap justru penting untuk menjaga disiplin, konsistensi, dan standar. Profesi hukum, akuntansi, atau medis, misalnya, menuntut kepastian dalam prosedur dan standar etika.
Dalam kasus ini, unsur “tetap” dalam mindset justru berfungsi sebagai jangkar yang memberikan stabilitas, bukan hambatan (Schroder et al., 2017). Melihat fixed mindset hanya sebagai sesuatu yang negatif berarti mengabaikan sisi fungsionalnya.
Ketiga, mindset bukanlah kondisi statis dan permanen, melainkan sesuatu yang cair dan dapat berubah seiring pengalaman. Faktor lingkungan sosial, dukungan keluarga, budaya, bahkan konteks pendidikan bisa mendorong seseorang untuk bergeser dari satu orientasi ke orientasi lain.
Yeager dan Dweck (2020) menekankan bahwa mindset tidak bisa dipahami sebagai label final yang melekat selamanya. Seseorang bisa memulai dengan pola pikir yang kaku, namun melalui pengalaman belajar atau intervensi pendidikan, ia dapat beralih pada pola pikir yang lebih terbuka dan adaptif.
Jika mindset memang bersifat dinamis dan kontekstual, maka membatasinya hanya pada dua kategori berarti menyederhanakan realitas yang kompleks. Lebih jauh, hal itu berpotensi menyesatkan praktik pendidikan dan kebijakan organisasi yang mengandalkan kerangka ini sebagai panduan.
Alih-alih memberdayakan, pemahaman biner justru bisa menimbulkan tekanan baru: seolah-olah individu yang dianggap ber-fixed mindset tidak memiliki peluang untuk berkembang.
Selain itu, perkembangan terbaru dalam psikologi menunjukkan adanya ragam orientasi lain yang juga penting diperhatikan. Misalnya, konsep resilient mindset yang menekankan daya tahan menghadapi kegagalan, atau adaptive mindset yang menyoroti fleksibilitas menghadapi perubahan.
Ada pula gagasan benefit mindset (Buchanan, 2015) yang mengaitkan pertumbuhan diri dengan kontribusi sosial dan keberlanjutan. Semua ini menunjukkan bahwa realitas mindset jauh lebih luas daripada sekadar fixed dan growth.
Dengan menyadari keterbatasan dikotomi, kita terdorong untuk melihat mindset sebagai sebuah spektrum atau bahkan ekologi berpikir. Artinya, seseorang tidak hanya bergerak dari fixed menuju growth, tetapi juga bisa mengembangkan orientasi lain yang relevan dengan tantangan hidupnya.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan disrupsi, yang dibutuhkan bukan hanya keyakinan bahwa “saya bisa berkembang,” tetapi juga ketangguhan ketika gagal, kemampuan beradaptasi terhadap perubahan, serta orientasi pada manfaat kolektif.
Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati ketika menggunakan konsep fixed mindset dan growth mindset secara biner. Kesederhanaan memang membantu dalam komunikasi, tetapi bisa berbahaya ketika dijadikan satu-satunya kerangka analisis.
Dengan melampaui dikotomi ini, kita dapat memahami manusia secara lebih utuh bukan hanya sebagai individu yang berada di salah satu kutub, melainkan sebagai makhluk kompleks yang bergerak dalam spektrum luas pola pikir, dipengaruhi oleh konteks, pengalaman, dan nilai-nilai yang ia anut.
Di sinilah pentingnya memperluas horizon literatur tentang mindset. Mengandalkan hanya pada dikotomi fixed dan growth mindset memang membantu menyederhanakan komunikasi, tetapi berisiko menutup peluang untuk memahami manusia secara lebih holistik.
Penelitian kontemporer tentang psikologi kognitif, pembelajaran adaptif, hingga teori kepemimpinan kini semakin menekankan pluralitas mindset dari creative mindset, resilient mindset, sampai systems mindset yang terinspirasi dari pemikiran.
***
*) Oleh : Dr. M.Iqbal Fardian, SE., S.Pd., M.Si., Dewan Pakar Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |