Kopi TIMES

Pajak, Rakyat, dan Negara yang Lupa Diri

Minggu, 05 Oktober 2025 - 17:12 | 1.05k
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pajak adalah napas bagi negara. Dari sana, jalan dibangun, sekolah berdiri, tenaga kesehatan dibayar, dan layanan publik dibiayai. Tapi bagaimana jadinya bila napas itu tersumbat oleh kerak korupsi dan penyalahgunaan wewenang? 

Bila uang rakyat yang seharusnya menjadi alat kesejahteraan justru menjadi santapan para penguasa dan birokrat yang tamak? Maka di titik itulah, kesetiaan warga terhadap negara diuji bukan dalam bentuk pemberontakan, melainkan dalam tuntutan moral dan politik terhadap keadilan.

Advertisement

Kewajiban membayar pajak sejatinya adalah perwujudan tertinggi dari kontrak sosial antara rakyat dan negara. Rakyat menyerahkan sebagian hasil jerih payahnya, negara menunaikan amanat untuk mengelolanya demi kepentingan bersama. 

Namun kontrak itu rapuh ketika kepercayaan terkikis. Saat pajak diselewengkan, warga bukan lagi merasa menjadi bagian dari negara, melainkan korban dari kekuasaan yang kehilangan integritas. Pajak yang dikorupsi adalah pengkhianatan terhadap seluruh rakyat.

Kita masih ingat berbagai kasus besar yang menyeret pejabat pajak dari mobil mewah, rumah megah, hingga gaya hidup glamor yang tak masuk akal jika hanya bersumber dari gaji negara. 

Fenomena ini bukan sekadar aib personal, tapi refleksi sistemik bahwa birokrasi pajak kita belum bersih. Dan parahnya, setiap kali kasus itu mencuat, masyarakat seolah diajak untuk melupakan dengan cepat. Seolah pajak hanyalah angka, bukan amanah.

Dalam negara yang sehat, pajak adalah simbol kepercayaan. Rakyat membayar bukan karena takut pada sanksi, tapi karena yakin bahwa uangnya digunakan dengan benar. Namun di Indonesia, hubungan itu terbalik: rakyat dipaksa taat, sementara negara abai terhadap tanggung jawab moralnya. 

Ketika penyalahgunaan pajak terjadi, suara publik sering kali diredam dengan alasan stabilitas dan hukum yang panjang. Padahal, kritik terhadap pengelolaan pajak bukan bentuk pembangkangan, melainkan ekspresi tertinggi dari cinta tanah air.

Sikap warga negara terhadap penyalahgunaan pajak tidak bisa hanya diam dan pasrah. Diam adalah bentuk legitimasi terhadap kezaliman. Sebaliknya, warga perlu menjadi pengawas sosial menuntut transparansi, meminta audit terbuka, dan mendesak reformasi sistem perpajakan. 

Negara demokratis hanya bisa hidup jika warganya berani bersuara terhadap ketidakadilan, termasuk dalam hal fiskal. Di sinilah pentingnya literasi pajak dan keberanian sipil.

Kita harus berani mengatakan bahwa membayar pajak bukan berarti menyerahkan kedaulatan moral kepada negara. Pajak bukan cek kosong. Ia disertai hak rakyat untuk mengontrol dan menuntut akuntabilitas. 

Bila uang pajak diselewengkan, rakyat berhak marah. Dan kemarahan rakyat terhadap penyelewengan pajak adalah tanda bahwa nurani bangsa masih hidup. Justru ketika rakyat berhenti marah, maka matilah semangat kebangsaan itu.

Di sisi lain, pemerintah tidak boleh hanya menuntut kepatuhan warga, tetapi juga menampilkan keteladanan. Sistem perpajakan akan gagal jika pengelolaannya tidak mencerminkan kejujuran dan integritas. 

Reformasi pajak tidak cukup dengan teknologi dan digitalisasi, tapi harus dibarengi revolusi etika birokrasi. Transparansi harus menjadi budaya, bukan jargon. Audit publik harus dibuka, bukan disembunyikan di balik tembok regulasi.

Ketika rakyat menagih tanggung jawab atas pajak yang diselewengkan, negara tidak boleh memosisikan diri sebagai pihak yang terancam. Kritik terhadap pajak yang dikorupsi bukan ancaman terhadap negara, tetapi peringatan agar negara kembali ke jalan lurus. 

Warga yang mengkritik bukan musuh, tetapi penjaga moral agar republik tidak kehilangan arah. Inilah wujud partisipasi sipil yang seharusnya dihargai, bukan ditakuti.

Namun, realitas kita sering berbeda. Banyak warga yang apatis karena merasa kritik tidak didengar. Ada yang sinis, menganggap membayar pajak hanya memperkaya pejabat. Apatisme seperti ini berbahaya, karena lambat laun bisa menggerus legitimasi negara. 

Maka pemerintah harus segera mengembalikan kepercayaan publik dengan langkah konkret: menindak tegas koruptor pajak, membuka laporan keuangan publik, dan menjamin bahwa setiap rupiah pajak benar-benar kembali ke rakyat.

Kita perlu menanamkan kesadaran bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kehormatan. Tapi kehormatan itu hanya bisa dijaga bila kedua pihak rakyat dan negara memegang komitmen yang sama: kejujuran. Tanpa itu, pajak hanya menjadi alat pemerasan legal yang membungkus ketidakadilan dengan bahasa undang-undang.

Rakyat berhak menuntut moralitas fiskal dari pemerintah. Pajak yang dikelola dengan benar akan menjadi energi besar bagi pembangunan. Tapi jika pajak disalahgunakan, maka ia berubah menjadi racun yang membunuh kepercayaan. 

Tidak ada bangsa yang bisa tumbuh dari kebohongan fiskal. Sebab begitu kepercayaan hilang, uang sebesar apa pun tak akan mampu membeli legitimasi moral.

Maka, sikap warga negara yang sejati bukan hanya membayar pajak, tapi juga mengawalnya. Tidak cukup dengan patuh, tapi juga kritis. Tidak cukup dengan percaya, tapi juga memastikan. Pajak adalah cermin hubungan antara rakyat dan negara dan hubungan itu hanya akan kokoh jika dilandasi kejujuran, bukan ketakutan.

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES