Kopi TIMES

Ironi Gaji Guru di Indonesia

Senin, 06 Oktober 2025 - 11:15 | 844
Angga Saputra, S.Pd., Guru SD Labschool Unesa 1.
Angga Saputra, S.Pd., Guru SD Labschool Unesa 1.

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Setiap akhir bulan, sebagian besar pekerja menantikan pesan singkat dari bank. Saldo Anda bertambah. Namun, bagi banyak guru honorer di Indonesia, tanggal itu hanyalah angka di kalender yang lewat tanpa kabar, tanpa kepastian. 

Mereka tetap datang ke sekolah, menulis di papan tulis dengan senyum yang sama, meski isi dompetnya menipis sejak pertengahan bulan. Ironis, profesi yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa justru hidup dalam sistem penggajian yang tidak manusiawi.

Advertisement

Permasalahan kesejahteraan guru ibarat hantu yang terus bergentayangan setiap tahun tanpa evaluasi dan solusi konkret dari pemerintah. Bayangkan, ada guru yang menerima honor hanya Rp500.000 hingga Rp800.000 per bulan, padahal jam mengajarnya sama dengan guru PNS yang bergaji di atas Rp5 juta. 

Artinya, satu bulan pengabdian seorang guru honorer dibayar setara satu minggu jam ngajar guru tetap. Sebuah ironi yang terus dibiarkan menjadi rutinitas, seolah wajar di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan.

Fenomena ini bukan rahasia. Ia adalah potret keseharian di banyak sekolah negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Sistem penggajian guru masih diwarnai ketimpangan mencolok: antara guru ASN dan non-ASN, antara kota dan pelosok, bahkan antara sekolah negeri dan swasta.

Paradigma yang Salah Tentang Guru

Masalah ini bukan hanya soal nominal gaji, tetapi menyangkut paradigma penghargaan terhadap profesi pendidik. Dalam banyak kebijakan, guru masih ditempatkan sebagai pelengkap administrasi pendidikan, bukan sebagai subjek utama pembangunan manusia.

Program sertifikasi guru dan berbagai bentuk tunjangan pernah digadang-gadang sebagai solusi. Namun bagi guru honorer, program itu ibarat pelangi: indah dipandang, tapi jauh dari genggaman. Persyaratan yang rumit, kuota terbatas, dan perbedaan status kepegawaian membuat mereka hanya menjadi penonton dari pinggir.

Padahal, di ruang kelas, mereka memegang peran yang sama pentingnya. Mereka membentuk karakter, menanamkan nilai, dan menjadi teladan moral bagi murid-muridnya. Tidak ada perbedaan semangat antara guru ASN dan honorer ketika mereka berdiri di depan kelas. Bedanya hanya pada slip gaji di akhir bulan.

Jika pendidikan adalah investasi jangka panjang bangsa, maka guru adalah modal utamanya. Tapi bagaimana mungkin bangsa ini berharap melahirkan pendidikan berkualitas bila para gurunya harus memikirkan cara menambah penghasilan di luar jam mengajar demi bertahan hidup?

Negara semestinya hadir tidak hanya dengan janji kesejahteraan, tetapi dengan kebijakan yang konkret dan adil. Sistem penggajian guru harus berbasis pada beban kerja, kualitas, dan tanggung jawab, bukan semata status kepegawaian. Reformasi pendidikan tidak cukup berhenti pada Merdeka Belajar. Kita juga harus merdeka dari ketimpangan kesejahteraan guru.

Kementerian Pendidikan bersama pemerintah daerah perlu melakukan reorientasi anggaran pendidikan. Selama ini, sebagian besar Dana BOS terserap untuk kebutuhan administratif, sementara kesejahteraan tenaga pendidik masih di urutan belakang. Sudah saatnya kebijakan fiskal diarahkan untuk menyeimbangkan kesejahteraan guru, terutama bagi mereka yang non-ASN dan bekerja di wilayah pelosok.

Menumbuhkan Nilai, Bukan Sekadar Ilmu

Guru bukan sekadar penyampai pelajaran, melainkan penanam nilai. Ia hadir ketika murid datang dengan masalah keluarga, kehilangan semangat, atau bingung menghadapi dunia yang makin kompetitif. Guru menjadi pendengar, motivator, sekaligus penjaga moral.

Namun bagaimana mungkin seorang guru bisa sepenuhnya menumbuhkan nilai-nilai itu jika kesejahteraannya diabaikan? Guru yang masih harus mencari pekerjaan tambahan demi bertahan hidup tentu kehilangan energi dan ruang untuk berinovasi. 

Ini bukan soal pamrih materi, tetapi tentang penghargaan atas pengabdian. Sebab pengabdian tidak seharusnya dibayar murah. Guru tidak mencari kekayaan dari profesinya, tetapi mereka berhak atas kehidupan yang layak.

Keadilan sosial, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila, seharusnya menemukan maknanya di ruang kelas. Sebab di sanalah masa depan bangsa disemai setiap hari. 

Bila guru masih dibayar di bawah standar kelayakan hidup, maka kita sedang menanam benih ketidakadilan yang akan tumbuh di generasi mendatang.

Sudah waktunya negara dan masyarakat berhenti memperlakukan guru dengan romantisme kosong. Menyebut mereka pahlawan tanpa tanda jasa tidak cukup bahkan bisa menjadi bentuk ironi jika tak diikuti kebijakan konkret. 

Pemerintah perlu memastikan standar gaji minimal guru di seluruh Indonesia, termasuk guru honorer, setara dengan upah layak regional. Transparansi dan pemerataan tunjangan juga harus ditegakkan agar tidak ada lagi guru yang bekerja penuh waktu namun hanya dibayar setengah layak.

Guru bukan mesin pencetak nilai. Mereka adalah penjaga nurani bangsa. Bila nurani itu terus dibiarkan lemah oleh sistem yang tidak adil, maka masa depan pendidikan kita akan kehilangan cahaya.

 

***

*) Oleh : Angga Saputra, S.Pd., Guru SD Labschool Unesa 1.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES