
TIMESINDONESIA, JEMBER – Setiap bangsa selalu bermimpi tentang lahirnya generasi emas, dengan anak-anak yang tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing. Dalam mimpi itu, pemerintah hadir sebagai tangan yang menjamin asupan gizi mereka, agar tidak ada satupun anak negeri yang tumbuh dengan tubuh ringkih dan pikiran yang tumpul.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pun dilahirkan dengan janji besar untuk menghadirkan makanan penuh gizi di piring anak-anak Indonesia. Awalnya, ia datang bukan hanya sebagai proyek sosial, melainkan juga sebagai strategi besar menurunkan stunting dan menggerakkan ekonomi rakyat dari akar rumput.
Advertisement
Harapan yang ditanamkan di atas kertas itupun begitu indah. Pemerintah tidak segan menggelontorkan dana raksasa untuk mendukung program ini. Pada 2025, anggaran MBG mencapai Rp71 triliun dan direncanakan melonjak hingga Rp335 triliun pada 2026, sebuah angka yang bahkan melampaui gabungan APBD beberapa provinsi.
Dengan dana fantastis itu, pemerintah menargetkan angka stunting turun menjadi 18,8 persen pada 2025 dan 14,2 persen pada 2029. Janji lain yang ikut dikumandangkan adalah keterlibatan ribuan UMKM, BUMDes, dan pemasok lokal dalam rantai distribusi.
Sebanyak 3.084 UMKM, 149 Bumdes, dan 2.334 pemasok lainnya diklaim terlibat. Atas dasar itu, program ini tampak menjanjikan multiplier effect, yakni dengan menciptakan iklim usaha profesional, menggerakkan pertanian, sekaligus menghidupkan perekonomian lokal.
Jika menilik narasi resmi, MBG seolah menjadi jembatan emas bagi cita-cita bangsa. Ia digadang-gadang akan meningkatkan kesehatan anak, mendukung pendidikan yang lebih baik, mengurangi beban ekonomi keluarga, memperbaiki kualitas hidup, memperkuat sektor pertanian, dan menjaga stabilitas ekonomi. Semua terdengar sempurna, seolah program ini adalah jawaban dari segala persoalan. Namun realitas, seperti biasa, tidak selalu seindah harapan.
Fakta di lapangan justru menyuguhkan cerita lain. Alih-alih menyelamatkan anak-anak, MBG meninggalkan luka. Sejak digulirkan, tercatat setidaknya terdapat 5.360 kasus keracunan siswa akibat makanan MBG. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan merupakan jeritan perut ribuan anak yang seharusnya menerima gizi, tetapi justru menelan racun.
Di Jember, kasus keracunan massal yang menimpa 16 siswa SDN Sidomekar 05 Kecamatan Semboro pada 26 September 2025 menjadi bukti betapa rapuhnya manajemen program ini. Kasus serupa terjadi di berbagai daerah lain, seolah keracunan adalah menu sampingan yang tidak pernah dijanjikan.
Kekecewaan masyarakat pun melahirkan satire yang pedas. MBG yang seharusnya berarti Makan Bergizi Gratis dipelesetkan menjadi Makan Beracun Gratis, Makan Berbahaya Gratis, bahkan Makan Belatung Gratis.
Sebutan itu mungkin terdengar kasar, namun ia adalah suara protes dari hati rakyat yang dikhianati. Bagaimana mungkin sebuah program dengan anggaran jumbo justru menyajikan ancaman pada nyawa anak-anak?
Masalah keracunan hanyalah puncak dari gunung es. Akar persoalan lebih dalam terletak pada perencanaan yang lemah. Distribusi makanan bergizi bukanlah pekerjaan sederhana.
Ia menuntut penelitian mendalam, rantai pasok yang terjaga, manajemen penyimpanan yang higienis, serta sistem distribusi yang memperhatikan waktu dan kualitas bahan baku. Tanpa semua itu, piring anak-anak menjadi arena percobaan yang penuh risiko.
Lebih jauh, aroma konflik kepentingan menguar dari balik dapur MBG. Alih-alih memberdayakan UMKM sekitar sekolah, banyak pengelola dapur justru berasal dari lingkaran dekat presiden, tim sukses, atau pejabat pemerintah.
Praktik ini menyingkirkan pelaku ekonomi lokal yang mestinya menjadi garda depan program. Bahkan kantin sekolah yang selama ini menopang kebutuhan siswa ikut merasakan dampak negatif. Alih-alih memperkuat ekonomi kerakyatan, MBG justru mempersempit ruang hidup mereka.
Yang lebih mencemaskan, akuntabilitas Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program masih jauh dari kata ideal. Beredar dokumen pernyataan, MoU, hingga kontrak kerja yang isinya membatasi sekolah dan masyarakat untuk melapor bila terjadi keracunan.
Guru dan orang tua didesak untuk diam ketika anak-anak sakit. Bukankah ini pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang menempatkan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi?
Di luar persoalan teknis dan konflik kepentingan, MBG juga membawa dampak serius bagi sektor pendidikan. Anggaran jumbo program ini berpotensi menimbulkan crowding out, yaitu berkurangnya dana untuk sektor penting lain. Presiden bahkan menyatakan bahwa sekitar 30 persen anggaran pendidikan akan dialihkan untuk MBG pada RAPBN 2026.
Jika hal ini benar terjadi, konsekuensinya sangat berat. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang sekolah gratis bisa gagal terealisasi. Sekitar 60 persen sekolah di Indonesia yang rusak tidak akan mendapat dana perbaikan. Sebanyak 4,2 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah tidak akan segera terentaskan.
Jutaan guru yang belum tersertifikasi hanya akan menunggu janji kosong, padahal Undang-Undang Guru 2015 mewajibkan sertifikasi rampung dalam sepuluh tahun. Bahkan program wajib belajar 13 tahun yang digadang-gadang pemerintah akan sulit diwujudkan. Singkatnya, MBG berisiko menukar masa depan pendidikan dengan sepiring nasi yang belum tentu aman.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: benarkah penambahan dana yang begitu besar akan menjamin kualitas dan keamanan makanan, atau justru menambah masalah lain yang lebih rumit? Apakah kita rela mengorbankan dana pendidikan demi program yang realisasinya penuh lubang? Jangan sampai demi mengejar gizi, kita justru merampas hak anak untuk belajar.
Meski demikian, menghentikan MBG sepenuhnya bukanlah solusi. Tujuan awalnya tetap mulia dan relevan: menurunkan stunting, memperbaiki kualitas gizi, dan menggerakkan ekonomi rakyat. Tetapi melanjutkan program tanpa evaluasi mendalam sama saja dengan mempertaruhkan nyawa jutaan anak Indonesia.
Maka pemerintah harus berani melakukan perbaikan menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam. Evaluasi dengan standar operasional yang ketat mutlak diperlukan, melibatkan ahli gizi, pakar kesehatan, serta praktisi pangan. Akuntabilitas harus ditegakkan, transparansi wajib dijalankan, dan partisipasi masyarakat harus dijamin.
Rantai pasok dari petani hingga UMKM lokal perlu diperkuat agar program benar-benar menjadi ekosistem ekonomi kerakyatan, bukan lahan bisnis segelintir elit. Yang tak kalah penting, lembaga independen harus dilibatkan untuk mengawasi, agar setiap kasus keracunan tercatat dan ditangani, bukan ditutup-tutupi.
Pemerintah agaknya juga perlu bercermin pada negara lain yang telah membuktikan diri berhasil menjalankan program serupa. Jepang, misalnya, sudah sejak 1954 memiliki School Lunch Program yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan, standar gizi ketat, pengawasan higienis berlapis, serta keterlibatan langsung sekolah, orang tua, hingga pemerintah daerah.
Di sana, makan siang gratis bukan sekadar soal perut kenyang, tetapi bagian dari pendidikan karakter: anak belajar disiplin, tanggung jawab, bahkan etika sosial melalui proses makan bersama. Tidak heran bila angka gizi buruk rendah, kesehatan siswa terjaga, dan kualitas pendidikan tetap konsisten.
Dari pengalaman itu, Indonesia seharusnya tidak malu untuk belajar. Sebab, program sebesar MBG hanya akan bermakna bila dijalankan dengan perencanaan matang, akuntabilitas kuat, dan partisipasi semua pihak bukan sekadar ambisi politik sesaat.
MBG adalah cermin dari wajah politik Indonesia hari ini, dimana penuh janji, penuh angka, dan penuh slogan. Tetapi angka tidak bisa menenangkan tangis anak yang perutnya melilit akibat makanan negara.
Slogan tidak mampu menghapus trauma orang tua yang melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Negara tidak boleh main-main dengan nyawa. Tidak ada pencitraan politik yang sepadan dengan keselamatan anak.
Pertanyaannya sederhana, berapa banyak korban lagi yang harus jatuh sebelum negara benar-benar serius? Jika pemerintah sungguh peduli pada masa depan bangsa, maka keselamatan anak harus ditempatkan jauh di atas kepentingan politik.
Sejatinya, masa depan negeri ini tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran yang dihabiskan, melainkan oleh seberapa tulus negara menjaga nyawa anak-anaknya.
***
*) Oleh : Isna Asaroh, Ketua PC KOPRI Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |