Kopi TIMES

Santri, Guru, dan Narasi Feodalisme

Selasa, 07 Oktober 2025 - 07:53 | 60.76k
Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pagi di pesantren selalu punya nuansa yang khas. Denting ember di sumur, aroma sabun cuci piring, suara santri melantunkan sholawat sambil menyapu halaman. Bagi sebagian orang luar, mungkin pemandangan itu tampak sederhana bahkan bagi sebagian yang kritis, mungkin tampak aneh.

Anak muda di era modern masih membersihkan rumah kiai, menyetrika bajunya, atau memijat kakinya. Apakah ini bentuk pengabdian spiritual, atau justru sisa dari budaya feodal yang mengekang kebebasan?

Advertisement

Pertanyaan semacam itu wajar muncul di zaman yang serba kritis. Kita hidup di era ketika segala bentuk hierarki dipertanyakan, ketika setiap relasi diukur dengan ukuran “setara” dan “adil.” Namun, di balik pertanyaan itu, ada satu hal yang sering luput dipahami: khidmah-pengabdian santri kepada gurunya bukanlah praktik feodalisme, tetapi bagian dari warisan adab Islam yang mengajarkan kehormatan ilmu, ketulusan, dan barakah.

Tradisi khidmah bukan lahir di pesantren Jawa atau Madura abad ke-19. Ia berakar jauh ke masa para sahabat Nabi. Dalam banyak riwayat, para sahabat dengan penuh cinta melayani Rasulullah: menyiapkan air wudhu, menjaga sandal beliau, bahkan sekadar memayungi beliau dari terik matahari. Tidak ada rasa rendah diri di situ yang ada hanyalah rasa cinta dan penghormatan kepada sumber ilmu.

Para tabi’in meneladani para sahabat. Imam Syafi’i misalnya, dikenal sangat menghormati gurunya, Imam Malik. Ia tidak berani membalik halaman kitab di depan gurunya dengan suara keras, karena takut mengganggu. 

Imam Nawawi bahkan disebut tidak pernah tidur nyenyak di ranjang gurunya, karena merasa tidak pantas beristirahat di tempat yang digunakan sang guru untuk menulis ilmu. Mereka semua “melayani” bukan karena diperintah, tapi karena cinta kepada ilmu dan pemiliknya.

Di sinilah letak pentingnya membedakan antara pengabdian spiritual dan penundukan struktural. Khidmah dalam tradisi Islam tidak pernah lahir dari paksaan atau hierarki kekuasaan, tetapi dari kesadaran batin. Bahwa melayani guru adalah bagian dari perjalanan menundukkan ego, latihan jiwa untuk menerima cahaya ilmu dengan hati yang bersih.

Santri yang membersihkan rumah gurunya bukan berarti ia lebih rendah. Ia sedang belajar mengendalikan diri, belajar tentang adab sebelum ilmu. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda,” (HR. Tirmidzi).

Adab kepada guru bukan sekadar sopan santun lahiriah, tapi jalan spiritual menuju keberkahan. Sebab, ilmu tidak hanya berpindah melalui kata, buku atau kitab, tetapi juga melalui nur-cahaya batin yang mengalir dari guru kepada murid. Cahaya itu hanya bisa diterima oleh hati yang tunduk, bukan yang sombong.

Dalam tashawwuf, khidmah dianggap sebagai jalan pembersihan diri (tazkiyatun nafs). Melayani orang lain, apalagi guru, melatih hati agar ikhlas dan tidak cinta dunia. 

Di dunia pesantren, seorang santri yang rela menyapu halaman atau membantu memasak di dapur tidak sedang “diperbudak”. Ia sedang ditempa agar tahu arti ngabdi, berbuat tanpa pamrih, dan menanam amal jariyah yang mungkin lebih besar nilainya daripada sekadar hafalan kitab.

Melawan Narasi Feodalisme

Sebagian pihak menganggap khidmah sebagai bentuk ketundukan feodal: guru diposisikan seperti raja, dan santri sebagai abdi. Pandangan ini lahir dari kacamata modern yang cenderung sekuler, yang memisahkan ilmu dari nilai spiritual. 

Mereka lupa bahwa dalam Islam, relasi guru dan murid bukanlah hubungan kuasa, tetapi relasi warisan kenabian. Nabi bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi).

Maka, menghormati ulama dan guru berarti menghormati warisan Rasulullah Saw. Feodalisme mengandung unsur eksploitasi dan ketimpangan sosial, sedangkan khidmah didasari oleh kesadaran spiritual dan cinta kepada ilmu. 

Dalam pesantren sejati, tidak ada guru yang memperkaya diri dari khidmah santrinya. Yang ada justru sebaliknya: guru hidup sederhana, mengajar tanpa pamrih, dan santri melayani bukan karena takut, tapi karena cinta dan hormat.

Tentu, jika ada praktik khidmah yang melenceng yang menjadikan santri alat kepentingan pribadi itu patut dikritik. Tetapi mengeneralisasi khidmah sebagai feodalisme adalah kekeliruan besar, sama seperti menuduh semua bentuk pengabdian sebagai perbudakan. Dalam tradisi Islam, pelayanan tidak mengurangi derajat; justru ia memuliakan hati.

Secara sosiologis, khidmah membentuk karakter. Santri belajar disiplin, tanggung jawab, gotong royong, dan rasa syukur. Semua nilai ini jarang muncul dalam pendidikan modern yang menekankan prestasi kognitif, bukan pembentukan adab. 

Ki Hajar Dewantara pernah berkata,

“Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”

Bukankah khidmah juga bentuk “tuntunan hidup” Ia mengajari santri untuk hidup sederhana, menghargai proses, dan menumbuhkan sense of belonging kepada komunitasnya. Ketika santri ro’an, mereka tidak hanya membersihkan lantai pesantren, tetapi juga membersihkan hatinya dari kesombongan dan egoisme.

Khidmah sebagai Representasi Ahlussunnah Wal Jamaah

Dalam kerangka teologis, khidmah adalah wujud nyata dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah: ittiba’ (meniru) para Nabi, sahabat, dan ulama. Para santri mengikuti jejak itu, bukan karena perintah sosial, melainkan karena ingin menjadi bagian dari rantai emas ilmu yang tidak putus sejak Rasulullah Saw.

Dari sinilah muncul keyakinan bahwa setiap bantuan kecil menyapu masjid, menyiapkan air wudhu, menata kitab guru semua akan mendapat bagian pahala, sebagaimana Nabi bersabda: “Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukannya,” (HR. Muslim).

Maka, santri ro’an bukan karena diperintah, tapi karena sadar: setiap debu yang ia bersihkan adalah saksi cinta kepada ilmu.

Khidmah bukan sekadar tradisi pesantren, melainkan cermin dari hubungan suci antara murid dan guru dalam Islam. 

Ia bukan feodalisme yang menindas, tapi jalan tazkiyah pembersihan jiwa. Dalam khidmah, santri belajar bahwa kehormatan sejati bukan pada posisi, tetapi pada kerendahan hati.

Kalau hari ini ada yang menyebut khidmah sebagai perbudakan, mungkin yang perlu diperiksa bukan sistem pesantrennya, tapi cara pandang terhadap ilmu itu sendiri.

Bagi santri, membersihkan rumah kiai sama berharganya dengan membuka kitab kuning. Dua-duanya adalah bentuk ibadah. Dua-duanya jalan menuju ridha Allah.

Dan jika menghormati guru dianggap kuno, maka biarlah santri tetap kuno. Sebab dari “kekunoan” itulah lahir adab, dan dari adab itulah lahir ilmu yang bercahaya. 

Tradisi ini sudah hidup sejak para sahabat. Pertanyaannya, bukan “mengapa santri masih khidmah?” tapi: “Kita sudah sejauh apa dari adab mereka?” (*)

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES