
TIMESINDONESIA, MALANG – Kita hidup di negeri yang setiap jengkal tanahnya dijaga oleh undang-undang, namun sayangnya tidak semua orang merasa dilindungi oleh hukum. Di mata korban, hukum seringkali tampak seperti ruang gelap yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kuasa, harta, dan koneksi.
Bagi rakyat kecil, hukum bukan lagi tempat bernaung, melainkan labirin penuh jebakan, di mana kebenaran bisa dibeli dan keadilan bisa dinegosiasikan.
Advertisement
Kasus demi kasus memperlihatkan wajah buram penegakan hukum di Indonesia. Para korban kekerasan, penggusuran, perampasan lahan, atau bahkan korban pelecehan, sering kali terhenti pada satu simpul tragis: hukum tidak berpihak kepada mereka.
Bukan karena mereka tidak punya bukti, tapi karena mereka tidak punya kekuatan. Ketika pengacara mereka hanya relawan dan lawannya pengusaha besar, ketika saksi diintimidasi, dan ketika aparat menutup mata demi amplop tebal, di situlah hukum kehilangan jiwanya sebagai penegak keadilan.
Fenomena ini menegaskan bahwa keadilan substantif belum benar-benar menjadi milik publik. Hukum masih dijalankan secara prosedural, formalistik, bahkan mekanistik menegakkan pasal tanpa mempertimbangkan nurani.
Banyak putusan pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, melainkan hanya menunjukkan bahwa sistem hukum bekerja sesuai “aturan main” yang diciptakan oleh mereka yang berkuasa. Dalam situasi semacam ini, hukum berubah dari instrumen pembebasan menjadi alat pembenaran penindasan.
Kita dapat melihat contoh-contoh nyata: petani yang dipenjara karena mempertahankan tanahnya, buruh yang dikriminalisasi karena menuntut upah layak, warga miskin kota yang kehilangan rumah karena proyek pembangunan, atau perempuan korban kekerasan yang justru disalahkan atas nasibnya sendiri.
Dalam setiap kasus itu, korban seolah terjebak dalam ironi besar: mereka mencari keadilan di tempat yang justru membuat mereka semakin menderita.
Mengapa hal ini terus berulang? Karena sistem hukum kita masih dikuasai oleh logika kekuasaan. Penegak hukum polisi, jaksa, hakim seringkali tidak berdiri di atas moral keadilan, melainkan di bawah tekanan politik dan ekonomi.
Reformasi hukum yang dijanjikan sejak dua dekade lalu belum benar-benar menyentuh akar masalah. Integritas aparat masih lemah, pengawasan publik terbatas, dan budaya feodal di lembaga hukum masih hidup subur.
Padahal, hukum seharusnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, bukan alat pelindung penguasa. Di sinilah letak krisis fundamental kita: hukum kehilangan keberpihakan terhadap mereka yang lemah.
Masyarakat bawah tidak memiliki akses yang sama terhadap keadilan karena mahalnya biaya perkara, minimnya bantuan hukum, dan lemahnya keberanian aparat untuk menentang kepentingan elite. Akibatnya, hukum menjadi ruang eksklusif yang menyingkirkan mereka yang miskin dan tidak berdaya.
Kita sering mendengar jargon bahwa “semua orang sama di hadapan hukum.” Namun di lapangan, kesetaraan itu hanya berlaku bagi mereka yang memiliki akses terhadap modal dan jaringan.
Ketika pejabat atau pengusaha terjerat kasus, mereka bisa “mengatur” penyelidikan, memperlambat proses, bahkan menghilangkan barang bukti. Sementara rakyat kecil, jangankan mengatur proses hukum, sekadar mencari penasihat hukum saja sudah menjadi beban ekonomi.
Situasi ini menimbulkan trauma sosial yang mendalam. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada lembaga hukum. Mereka melihat bahwa putusan bukan lagi hasil pencarian kebenaran, tetapi hasil transaksi.
Dalam kondisi semacam ini, hukum kehilangan legitimasi moralnya. Kepercayaan publik yang rusak adalah ancaman serius bagi negara hukum, sebab ketika rakyat tidak percaya pada hukum, maka mereka akan mencari keadilan dengan caranya sendiri dan di situlah potensi kekacauan sosial bermula.
Sudah saatnya sistem hukum di Indonesia dikembalikan ke akarnya: kemanusiaan. Hukum harus berpihak kepada mereka yang tertindas, bukan kepada yang berkuasa.
Pembaruan hukum tidak bisa hanya sebatas pergantian pejabat atau penyusunan undang-undang baru. Ia harus dimulai dari revolusi etika penegak hukum membangun kesadaran bahwa setiap tanda tangan di atas berkas perkara adalah keputusan atas nasib manusia.
Selain itu, perlu diperkuat lembaga-lembaga bantuan hukum yang independen dan benar-benar berpihak kepada korban. Negara wajib menjamin akses keadilan yang setara bagi semua warga, tanpa memandang status sosial atau kekayaan.
Transparansi proses hukum juga harus diperluas, agar masyarakat bisa mengawasi dan menilai apakah penegakan hukum berjalan sesuai prinsip keadilan atau sekadar permainan kekuasaan.
Hukum tidak boleh menjadi milik segelintir orang yang bisa membelinya. Ia harus menjadi benteng terakhir bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan lain selain kebenaran. Keadilan yang sejati tidak lahir dari ruang sidang yang mewah, tetapi dari hati nurani yang berani melawan ketidakadilan.
Jika hukum terus berpihak pada yang kuat, maka suatu hari rakyat akan berhenti mempercayainya dan ketika itu terjadi, yang runtuh bukan hanya hukum, tapi juga martabat kemanusiaan bangsa ini.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |