
TIMESINDONESIA, MALANG – Thomas Hobbes (1588–1679) menggambarkan negara sebagai Leviathan, yakni raksasa perkasa yang dibentuk manusia melalui kontrak sosial untuk menghindari keadaan alamiah yang “bengis, miskin, dan pendek umurnya”.
Konsep yang lahir dari trauma perang saudara Inggris ini menemukan relevansinya dalam wajah negara modern: kuat, berdaulat, namun kerap terjebak dalam pragmatisme kekuasaan belaka.
Advertisement
Di Indonesia, kita menyaksikan Leviathan yang perkasa secara birokrasi namun rapuh secara spiritual. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2023 jumlah penduduk miskin mencapai 25,90 juta orang (9,36%), dan menurun menjadi 25,22 juta (9,03%) pada Maret 2024 serta 24,06 juta (8,57%) pada September 2024, terendah sepanjang sejarah pengukuran.
Sementara itu, Indeks Gini tercatat sebesar 0,388 pada Maret 2023 dan membaik menjadi 0,379 pada Maret 2024, menandakan sedikit penurunan ketimpangan. Leviathan Hobbesian mampu membangun infrastruktur megah, namun sering kali gagal membangun keadilan substantif bagi seluruh warganya.
Kekuatan konsep Hobbes terletak pada realismenya yang dingin: negara diperlukan sebagai kekuatan pemaksa untuk mencegah chaos. Namun, kelemahan fatalnya terletak pada kekosongan spiritualnya. Leviathan hanya membutuhkan ketaatan, bukan kebajikan; ketertiban, bukan keadilan; survival, bukan kemuliaan.
Dalam praktiknya, Indonesia mengadopsi kerangka Leviathan modern dengan birokrasi, hukum, dan militer yang kuat, namun tanpa jiwa yang menghidupkannya. Hasilnya adalah negara yang kuat secara instrumental namun lemah secara moral.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sepanjang 2023 terdapat ratusan kasus korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai sekitar Rp28,4 triliun. Fakta ini membuktikan bahwa kekuasaan tanpa etika hanya melahirkan penyalahgunaan dan erosi kepercayaan publik terhadap negara.
Berbeda dengan Hobbes yang melihat negara sebagai mesin, Ibnu Khaldun (1332–1406) dalam Muqaddimah-nya memahami negara sebagai organisme hidup yang memiliki siklus alamiah. Kunci keberlangsungan negara, menurut Khaldun, terletak pada asabiyyah (solidaritas sosial) yang diperkuat oleh agama sebagai sumber moralitas.
Di sinilah relevansi Khaldun bagi Indonesia: negara tidak cukup kuat dengan aparatusnya saja, tetapi membutuhkan solidaritas dan moralitas. Berbagai survei opini publik menunjukkan tingginya preferensi masyarakat terhadap pemimpin yang religius, jujur, dan berintegritas. Ini bukan sekadar hasrat simbolik, melainkan kerinduan akan Leviathan yang memiliki jiwa negarawan yang tidak hanya memerintah, tetapi juga meneladani.
Konsep Al-Mawardi (972-1058) dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menawarkan jalan tengah yang brilliant, kekuasaan perlu dibingkai dalam etika. Kontrak sosial (bai'at) dalam tradisi Islam bukan penyerahan hak mutlak seperti pada Hobbes, melainkan perjanjian timbal balik dimana penguasa wajib menegakkan keadilan berdasarkan syariah.
Dalam konteks Indonesia, ini dapat dimaknai sebagai komitmen konstitusional terhadap keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang mengamanatkan kesejahteraan sosial sesungguhnya adalah manifestasi dari prinsip keadilan dalam pemikiran politik Islam.
Ketimpangan sebagai Bukti Kegagalan
Meskipun tingkat kemiskinan menurun, ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan utama. BPS mencatat Indeks Gini 0,379 pada Maret 2024, yang menggambarkan bahwa distribusi pendapatan belum sepenuhnya merata.
Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tetap terlihat dari perbedaan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga antar kelompok pendapatan, sebagaimana tercermin dalam indikator ketimpangan (P1 dan P2) yang masih menunjukkan jarak kesejahteraan yang signifikan.
Dalam perspektif Khaldun, ini adalah gejala negara yang memasuki fase kemunduran ketika penguasa mulai terputus dari akar rumput dan keadilan terabaikan. Sementara dalam kerangka Al-Farabi, ini adalah bukti ketidakhadiran "negara utama" (al-madinat al-fadhilah) dimana kepala negara seharusnya menjadi teladan kebijaksanaan.
Pertama, redefinisi tujuan negara dari sekadar penjaga ketertiban menjadi penegak keadilan substantif. Ini sejalan dengan maqasid syariah yang menekankan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kedua, penguatan akuntabilitas moral pemimpin. Konsep muhasabah (evaluasi) dalam tradisi Islam perlu diinstitusionalisasi dalam sistem checks and balances yang efektif.
Ketiga, revitalisasi solidaritas sosial melalui kebijakan afirmatif yang tepat sasaran. Program perlindungan sosial perlu didasarkan pada data kemiskinan BPS yang akurat dan diperbarui secara berkala, serta dilaksanakan secara bersih dan transparan.
Keempat, pendidikan karakter berbasis keteladanan untuk mencetak pemimpin yang tidak hanya cakap secara teknis tetapi juga kuat secara moral.
Indonesia membutuhkan Leviathan yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga berjiwa. Pemikiran politik Islam klasik, dengan penekanannya pada keadilan, moralitas, dan solidaritas yang menawarkan jiwa bagi tubuh Leviathan Indonesia yang saat ini tampak kering kerontang.
Seperti dikatakan Ibnu Khaldun, "Keadilan adalah fondasi kemakmuran." Tanpa keadilan, Leviathan hanyalah raksasa tanpa jiwa yang akan tumbang oleh bobot ketidakadilannya sendiri. Mari kita berikan jiwa pada sang raksasa, agar kekuasaan tidak hanya perkasa, tetapi juga bermartabat dan berkeadilan.
***
*) Oleh : Chandra Dinata, Peneliti dan Dosen Administrasi Publik, Universitas Merdeka Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |