Kopi TIMES

Karakter Kebangsaan yang Kian Rapuh

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 13:31 | 1.05k
Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Di tengah hiruk-pikuk modernitas dan derasnya arus informasi digital, karakter manusia Indonesia seperti kehilangan pijakan etik yang kokoh. Apa yang dahulu menjadi kebanggaan bangsa sopan santun, gotong royong, empati, dan rasa malu, kini seperti tinggal narasi nostalgia. 

Orang berdebat tanpa kendali di ruang publik digital, anak muda menilai kesuksesan dari followers dan endorsement, sementara kejujuran dan kerja keras kerap tampak seperti jalan memutar yang tidak realistis. Lalu, di mana akar kepribadian bangsa itu kini berpijak?

Advertisement

Karakter sejatinya adalah fondasi yang membentuk arah hidup manusia. Ia bukan hanya cermin perilaku, tetapi sekaligus penentu cara berpikir dan bertindak. 

Dalam konteks kebangsaan, karakter menjadi pondasi moral peradaban. Tanpa karakter yang kuat, bangsa besar pun mudah terombang-ambing oleh ide dan kepentingan luar. 

Di sinilah kegelisahan kita bermula: karakter bangsa hari ini mulai rapuh karena kehilangan ruang tumbuh yang sehat baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Sekolah, yang mestinya menjadi laboratorium pembentukan karakter, kini lebih sering berorientasi pada hasil ujian dan prestasi akademik. Nilai kognitif menjadi berhala baru, sementara nilai afektif dan moral hanya menjadi pelengkap pidato. 

Guru dibebani administrasi yang menumpuk, siswa dituntut menghafal, bukan memahami. Padahal, karakter bukan diajarkan melalui kata-kata, melainkan diteladankan dalam keseharian. Bagaimana mungkin generasi berkarakter lahir dari sistem yang hanya menilai angka dan bukan perilaku?

Di rumah pun, peran keluarga mulai terkikis oleh teknologi. Gawai mengambil alih fungsi komunikasi, dan layar menjadi pengasuh utama anak. Interaksi emosional antara orang tua dan anak memudar, digantikan notifikasi dan scrolling tanpa henti. 

Keluarga yang seharusnya menjadi benteng nilai justru menjadi ladang subur bagi budaya konsumtif dan individualistik. Dalam situasi seperti ini, membangun karakter tidak bisa lagi diserahkan pada sistem pendidikan semata, tetapi harus dimulai dari kesadaran kultural dan moral di setiap rumah tangga.

Sementara itu, masyarakat kita juga sedang mengalami krisis keteladanan. Figur publik yang seharusnya menjadi panutan moral justru banyak tersandung kasus korupsi, manipulasi, atau penyalahgunaan kekuasaan. 

Di ruang politik, kejujuran sering kalah oleh pencitraan. Di ruang ekonomi, keserakahan dibungkus istilah efisiensi. Dan di media sosial, keaslian tergantikan oleh sensasi. Kita hidup di zaman di mana citra lebih penting dari esensi, dan kepura-puraan menjadi strategi hidup.

Namun, mengeluh saja tidak akan mengembalikan karakter bangsa. Yang dibutuhkan adalah gerakan kultural yang sadar dan sistematis. Pertama, pendidikan karakter tidak boleh dipahami sekadar sebagai mata pelajaran, melainkan atmosfer kehidupan yang diciptakan di setiap ruang sosial. 

Sekolah harus menjadi tempat di mana anak didik merasa dihargai, dilatih untuk berpikir kritis, berempati, dan berani bertanggung jawab. Pendidikan karakter bukan proyek kurikulum, tapi proyek kemanusiaan.

Kedua, pemerintah dan elite sosial harus kembali menampilkan keteladanan moral. Masyarakat butuh figur yang bisa diikuti bukan karena jabatannya, tapi karena integritasnya. 

Keteladanan itu bukan teori, melainkan praktik yang nyata bagaimana pejabat mengelola kekuasaan, bagaimana pengusaha memperlakukan pekerja, atau bagaimana akademisi menjaga objektivitas ilmu dari kepentingan. Sebab, karakter nasional tidak mungkin dibangun tanpa figur moral yang menyalakan contoh.

Ketiga, ruang digital harus diarahkan menjadi wahana pembentukan karakter, bukan penghancurnya. Literasi digital tidak cukup bicara soal fake news atau keamanan siber, tapi harus menyentuh nilai-nilai etika bermedia: menghormati perbedaan, menyebarkan kebaikan, dan menahan diri dari ujaran kebencian. Dunia maya adalah perpanjangan dari dunia nyata; rusaknya etika digital berarti rusaknya moral publik.

Kita juga perlu menumbuhkan kembali tradisi refleksi kemampuan untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah yang saya lakukan ini benar? Apakah berguna bagi sesama?” 

Dalam budaya yang serba cepat, refleksi sering dianggap kemewahan. Padahal, di sanalah karakter ditempa. Karakter bukan dibangun dari banyaknya pengetahuan, tapi dari kemampuan menimbang makna di balik tindakan.

Indonesia tidak kekurangan teori tentang karakter. Kita punya Pancasila sebagai nilai hidup bersama, punya kearifan lokal dari ratusan etnis yang menekankan gotong royong, tenggang rasa, dan kesederhanaan. Namun yang hilang adalah keberanian untuk menjadikannya laku nyata. Kita lebih sibuk mengagumi filsafat luar ketimbang menggali nilai-nilai sendiri yang justru mengakar kuat di tanah ini.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya, tetapi bangsa yang kuat karakternya. Jepang bangkit dari kehancuran karena etos kerja dan rasa malu. Korea Selatan maju karena disiplin dan solidaritas sosial. 

Lalu, mengapa kita yang punya Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika justru terjebak pada krisis moral? Jawabannya sederhana: karena kita lupa bahwa karakter tidak diwariskan, tapi diperjuangkan setiap hari.

Kini saatnya menata kembali cara berpikir kita tentang karakter. Ia bukan jargon pendidikan, bukan proyek pemerintah, melainkan cermin keberanian kita untuk menjadi manusia yang jujur, peduli, dan bertanggung jawab bahkan ketika tidak ada yang melihat. 

Di tengah zaman yang menyanjung popularitas dan kelicikan, memilih menjadi manusia berkarakter adalah bentuk perlawanan. Dan mungkin, hanya dengan itulah bangsa ini bisa benar-benar bermartabat.

 

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES