
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pendekatan pendirian Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sebagai superholding BUMN, dengan penggabungan 14 BUMN strategis dan target modal sebesar Rp1.000 triliun, sebuah wujud ambisi ekonomi yang tak terelakkan.
Cerita besarnya berfokus pada efisiensi, daya saing di tingkat global, dan modernisasi sistem pengelolaan. Namun, besarnya dana yang diinvestasikan dan luasnya bidang yang dikuasai mulai dari perbankan, energi, telekomunikasi, hingga logistik menjadikan Danantara sebagai sebuah pertaruhan risiko sistemik yang paling besar dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Advertisement
Alih-alih meredakan kecemasan, perubahan struktur organisasi BUMN justru menimbulkan risiko baru: adanya perpecahan kekuasaan antara pengatur dan pelaksana yang jika tidak diawasi dengan ketat, dapat menjadi ladang baru bagi politisasi dan pencarian rente.
Investasi negara dalam Danantara memang luar biasa. Dana awal sebesar Rp300 triliun dari efisiensi anggaran, rencana alokasi reguler USD 20 miliar per tahun, dan modal awal Rp1.000 triliun, membuat Danantara berada pada posisi yang setara, setidaknya dari segi ukuran, dengan dana kekayaan negara besar di kawasan.
Namun, seperti yang diingatkan oleh Dani Rodrik, pengalaman internasional menunjukkan bahwa dana besar di negara berkembang sering terjebak dalam kepentingan politik domestik dan justru mempercepat oligarki yang terpusat.
Kritik-kritik tersebut kini harus dipahami dalam konteks baru: pemisahan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) sebagai pengatur dan Danantara sebagai pelaksana investasi. Dari segi konsep, pemisahan ini merupakan langkah maju.
BP BUMN bertugas sebagai pemegang saham Dwiwarna (Seri A) serta penentu kebijakan strategis, sedangkan Danantara bertanggung jawab atas pengelolaan aset secara profesional (pemegang saham Seri B). Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang di mana operasional tidak terpengaruh oleh intervensi politik sehari-hari.
Ada risiko yang mengintai di balik struktur tersebut. Jika penunjukan Kepala BP BUMN dan CEO Danantara masih didasarkan pada akomodasi politik ketimbang meritokrasi profesional, maka yang terjadi hanyalah pemindahan arena politisasi, dari kementerian ke dua badan baru tersebut. Paul Collier (2007) mengingatkan bahwa tanpa tata kelola yang independen, dana publik besar ini tetap berisiko menjadi alat elit.
Kegagalan Danantara dalam mempertahankan independensi operasional akan membuat modal triliunan tersebut menjadi "aset pasif" yang tidak memberikan hasil optimal, sesuai dengan peringatan Michael Pettis (2020) tentang kegagalan dana kekayaan negara yang terlalu mementingkan ukuran.
Jujur dan akuntabilitas sejati harus menjadi dasar bagi kedua lembaga tersebut, di mana setiap pengambilan keputusan investasi dan regulasi harus bisa diaudit secara independen dan dipublikasikan.
Risiko Monopoli dan Kerentanan Sistemik
Penggabungan 14 BUMN di bawah Danantara menciptakan entitas ekonomi besar yang menguasai hampir seluruh rantai nilai strategis nasional. Pernyataan tentang efisiensi dan daya saing di kancah global yang dikemukakan pemerintah perlu dipandang dengan skeptis.
Konsolidasi dalam skala sebesar ini, seperti yang dibahas oleh Joseph Stiglitz, sering kali menjadi "retorika efisiensi" yang sebenarnya membenarkan konsentrasi kekuasaan ekonomi dalam pemerintahan.
Alih-alih menciptakan efisiensi, penggabungan yang besar ini dapat memperkuat monopoli. Danantara akan mengambil alih berbagai sektor. Konsumen dan pelaku usaha kecil berisiko mengalami kerugian akibat kekuatan pasar yang terlalu dominan, di mana layanan publik tidak menjadi lebih baik tetapi harga tetap tinggi.
Pemikiran bahwa ukuran besar secara otomatis menurunkan biaya tidak selalu benar; sering kali yang terjadi diseconomies of scale, di mana birokrasi meluas, koordinasi menjadi buruk, dan pengambilan keputusan strategis mengalami penundaan.
Risiko yang paling mengkhawatirkan adalah risiko sistemik. Danantara dianggap "terlalu besar untuk gagal". Jika Danantara tidak berhasil mengelola portofolio yang sangat luas mulai dari Pertamina hingga Bank Mandiri seluruh ekosistem keuangan dan energi nasional akan terimbas.
Reinhart dan Rogoff (2011) telah menunjukkan bahwa konsolidasi keuangan besar dapat menghadirkan kerentanan yang besar, dan beban penyelamatan yang mungkin harus ditanggung oleh APBN jauh melebihi kapasitas fiskal negara.
Bhima Yudhistira telah memperingatkan bahwa utang yang tinggi pada BUMN yang tergabung dalam satu kesatuan hanya akan menambah risiko pada satu sarana yang sangat rentan.
Keuntungan Korporasi vs Kesejahteraan Masyarakat
Pertentangan yang paling mendasar dalam kebijakan terletak pada konflik antara tujuan Danantara dan mandat konstitusi. Sebagai pengelola investasi, Danantara tentu harus berupaya mencapai keuntungan yang tinggi. Namun, BUMN didirikan berdasarkan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menguasai sektor-sektor produksi penting demi kesejahteraan rakyat yang maksimal.
Jika fokus pada keuntungan dijadikan tujuan utama, maka layanan publik yang seharusnya inklusif dan terjangkau seperti subsidi energi, akses modal untuk UMKM melalui bank BUMN, atau penyediaan listrik dengan harga terjangkau berisiko terabaikan. Orientasi keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek sosial adalah pengkhianatan terhadap sejarah BUMN.
Kontradiksi ini semakin rumit dengan dilema ketenagakerjaan. Pragmatik korporasi Danantara mendorong efisiensi, yang sering diartikan sebagai pengurangan karyawan (PHK). Ironisnya, hal ini bertentangan dengan janji politik pemerintah untuk menciptakan banyak lapangan kerja.
Jika konsolidasi Danantara pada akhirnya menyebabkan gelombang PHK, maka efisiensi berubah menjadi ilusi yang menutupi inefisiensi struktural dan memicu gejolak sosial yang merusak. Seperti yang diingatkan oleh Winters, kekuasaan ekonomi yang terpusat hanya akan menjadikan rakyat sebagai penonton yang kehilangan pekerjaan.
Menuju Profitabilitas yang Bertanggung Jawab
Supaya Danantara benar-benar berfungsi sebagai agen perubahan dan bukan hanya simbol yang tidak berarti, perlu diterapkan empat pilar solusi struktural yang tegas.
Pertama, Kepatuhan Tata Kelola Dua Pintu yang Mutlak Danantara dan BP BUMN harus mengikuti sistem pengawasan ganda. BP BUMN harus berfokus sebagai regulator yang memantau kepatuhan, sedangkan Danantara harus memastikan transparansi penuh terhadap pengembalian portofolio, risiko, dan transaksi afiliasi. Audit independen oleh BPK dan KPK harus menjadi bagian rutin tanpa pengecualian.
Kedua, Strategi Investasi Terfokus dan Diversifikasi Global. Danantara harus berani melepas aset dan anak perusahaan BUMN yang mengalami kerugian atau tidak sesuai dengan kompetensi inti.
Modal yang diperoleh dari divestasi harus difokuskan pada sektor-sektor masa depan yang memiliki efek pengganda yang tinggi, seperti energi terbarukan, infrastruktur digital, dan industri pangan strategis. Selain itu, mirip dengan Temasek, Danantara harus melakukan diversifikasi investasi secara global untuk mengurangi risiko dari fluktuasi pasar domestic.
Ketiga, Pelembagaan Subsidi Silang dan Keuntungan Sosial. Untuk menyelaraskan keuntungan dan mandat sosial, Danantara harus memformalkan skema subsidi silang yang transparan. Keuntungan besar dari investasi komersial atau global harus dialokasikan untuk menjaga harga layanan publik domestik tetap terjangkau.
Keempat, Efisiensi Berbasis Teknologi dan Kualitas Sumber Daya Manusia. Konsep efisiensi harus dialihkan dari sekadar PHK menjadi digitalisasi proses bisnis dan pelatihan keterampilan (reskilling) karyawan secara besar-besaran.
Dengan mengintegrasikan layanan administratif melalui teknologi, biaya dapat diminimalisir tanpa mengorbankan kestabilan sosial. Bonus dan insentif bagi manajemen harus berkaitan erat dengan kinerja jangka panjang serta kontribusi nyata dalam bentuk dividen yang disetor ke pemerintah, bukan sekadar laba akuntansi.
Danantara merupakan sebuah risiko besar. Keberhasilannya tidak dinilai dari jumlah dana yang berhasil dihimpun, tetapi dari kemampuannya dalam mengelola risiko sistemik, mempertahankan tata kelola yang bersih di bawah struktur BP BUMN yang baru, dan yang paling penting, memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat.
***
*) Oleh : Edi Setiawan, Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |