Kopi TIMES

UMKM di Era Kecerdasan Buatan

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 19:33 | 1.32k
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar Kewirausahaan Universitas Negeri Surabaya, Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia, Dewan Pakar HIPMIKIMDO Jawa Timur.
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar Kewirausahaan Universitas Negeri Surabaya, Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia, Dewan Pakar HIPMIKIMDO Jawa Timur.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – UMKM selama ini dikenal sebagai barisan paling lincah dalam perekonomian Indonesia. Mampu bergerak cepat, kreatif, dan dekat dengan kebutuhan pasar lokal. Kini, mereka menghadapi tantangan sekaligus peluang baru: hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang bukan lagi sekadar jargon teknologi, melainkan asisten strategis dalam perancangan kreatif dan operasional usaha. 

Data terbaru dari Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa UMKM menyumbang sekitar 61 persen dari PDB nasional dan menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja aktif; tetapi kontribusi mereka terhadap ekspor hanya sekitar 15,7 persen. Fakta ini mengisyaratkan bahwa daya saing global UMKM masih rendah, padahal potensi inovasi digital terbuka lebar.

Advertisement

Pada batas ini, AI hadir sebagai alat yang dapat mempercepat proses kreatif: mulai dari pemilihan nama usaha, desain logo, kemasan, hingga penyusunan rancangan awal bisnis. Pelaku UMKM kini dapat mengetik perintah sederhana pada platform berbasis AI untuk menghasilkan berbagai ide brand, konsep promosi, atau sketsa kemasan hanya dalam hitungan detik. 

Dengan demikian, kecerdasan buatan membuka akses terhadap kapabilitas kreatif yang sebelumnya hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki sumber daya besar untuk membayar konsultan atau agensi desain profesional.

Namun, di hadapan kenyataan ini muncul pertanyaan besar: apakah adaptasi AI hanya soal efisiensi dan kecepatan? Ataukah ada risiko bahwa keunggulan kreatif UMKM (kearifan lokal, estetika khas budaya, jiwa usaha) justru akan ternormalisasi oleh algoritma? 

Jika semua orang menggunakan tool AI yang sama dalam mencipta desain, nilai otentik yang membedakan satu usaha dengan usaha tetangga bisa memudar. Disitulah letak paradoks: teknologi yang menjanjikan diferensiasi justru bisa menghasilkan homogenisasi apatis.

Strategi Berkelanjutan UMKM dan Pemangku Kebijakan

Dalam perspektif manajemen strategis berkelanjutan, keberhasilan integrasi AI ke dalam UMKM bergantung pada kemampuan organisasi untuk menyadari perubahan, merespons secara adaptif, dan menjaga konsistensi nilai inti. 

Teori dynamic capabilities (kemampuan organisasi untuk sensing, seizing, dan transforming) menjadi kunci agar UMKM tak sekadar “mengikuti arus”, melainkan aktif membentuk arus perubahan.

Untuk itu, UMKM perlu membuka ruang eksperimen internal. Misalnya, tim kecil boleh “bermain AI”: menyusun versi rencana bisnis dengan bantuan AI, lalu menilai hasilnya bersama-sama. Melalui praktik nyata, pelaku usaha akan mulai menyadari batasan dan keunikan manusia yang tak bisa diambil alih mesin; mulut pasar lokal, selera komunitas, relasi pelanggan yang bersifat personal. Proses “trial AI” juga menjadi media pembelajaran: data-data respons pelanggan, revisi, dan iterasi menjadi basis penyesuaian strategi.

Dalam hal ini, pemerintah dan lembaga pendukung mempunyai peran krusial sebagai fasilitator ekosistem. Kebijakan nasional seperti Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (2020–2045) sudah menempatkan UMKM sebagai salah satu prioritas transformasi digital, namun capaian nyata masih terbatas pada kota besar. 

Agar AI benar-benar inklusif, perlu diperluas program pelatihan hingga ke kabupaten/kota; penyediaan voucher teknologi AI agar usaha di desa juga bisa mencoba tool AI tanpa beban biaya besar serta insentif fiscal. Misalnya potongan pajak atau subsidi bunga bagi UMKM yang mengadopsi alat AI lokal terpercaya.

Rekomendasi strategis bagi berbagai pihak dapat dirangkum dalam narasi berikut: Pertama, untuk pemilik UMKM. Dekatkan AI ke dalam keseharian bisnis dengan langkah langkah kecil: mulailah dengan modul AI ringan (generator nama usaha, AI text untuk promosi, tools visual generatif). 

Evaluasi hasilnya: mana versi AI yang lebih resonan dengan pelanggan? Simpan catatan gaya yang berhasil, lalu padukan dengan sentuhan manusia; narasi lokal, cerita usaha, nilai-nilai personal. 

Terus lakukan iterasi agar AI bukan menjadi penulis utama, tetapi pendamping kreatif. Dalam jangka menengah, bergabunglah ke komunitas UMKM teknologi agar saling belajar pengalaman adopsi AI, bertukar prompt, dan memperkaya dataset lokal.

Kedua, untuk pemangku kebijakan (pemerintah pusat, daerah, lembaga pembiayaan). Dorong adopsi AI di UMKM melalui program inkubator AI-UMKM di tingkat kabupaten/kota. Integrasikan pelatihan AI ke dalam kurikulum pelatihan koperasi dan UKM. 

Pastikan regulasi penggunaan AI tidak sekadar protektif, tetapi mendorong inovasi, misalnya melalui perlindungan data, standar interoperabilitas antarsistem AI lokal, serta kepastian hak cipta karya generatif bagi kreator UMKM. 

Sediakan dana riset bersama (melibatkan perguruan tinggi, pusat teknologi) agar platform AI lokal (bahasa Indonesia, budaya lokal) tumbuh sebagai alternatif alat generik global. Sediakan skema pendanaan atau subsidi yang menurunkan barrier of entry adopsi AI, terutama bagi usaha di daerah terpencil.

Ketiga, untuk lembaga riset dan akademik. Ambil peran sebagai jembatan translator teknologi bagi UMKM. Lewati jalur penelitian yang hanya teoretis: lakukan penelitian partisipatif di desa-desa usaha agar model AI yang muncul memang relevan kebutuhan lokal. 

Buka program pendampingan langsung (bukan hanya ceramah teori) agar pelaku UMKM merasakan dampak konkret. Kembangkan modul AI lokal yang mudah digunakan (plugin, add-on ringan) serta dokumen panduan Bahasa Indonesia yang sederhana dan aplikatif.

Keempat, untuk platform teknologi dan swasta. Fasilitasi model bisnis “AI as a service (AIaaS)” yang bisa disewa per modul oleh UMKM; misalnya modul branding AI, modul riset pasar AI, modul chatbot AI, dengan harga mikro (bayar sesuai penggunaan). 

Kembangkan antarmuka yang sangat friendly bagi pengguna nonteknis: GUI sederhana, template lokal, prompt sudah disetel berdasarkan konteks Indonesia. Bangun kemitraan dengan pemerintah atau lembaga keuangan agar platform AI bisa dibiayai lewat kredit mikro atau voucher.

Dalam perumusan strategi tersebut diatas, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk memosisikan AI sebagai alat memperkuat kekhasan lokal dan nilai budaya, bukan sekadar efisiensi. Tantangan terbesar bukan hanya soal teknis, tetapi soal menjaga keaslian karakter usaha lokal agar AI menjadi corak tambahan, bukan topeng digital standar.

Jika UMKM mampu membangun kapabilitas transformasi (memiliki naluri eksperimen AI, kesadaran nilai, dan ketahanan terhadap risiko otomatisasi) maka mereka akan menjadi pelaku ekonomi yang bukan hanya berdaya saing tinggi, tetapi berkelanjutan secara sosial dan budaya. Di tangan yang bijak, AI tidak menggantikan peran manusia, tetapi memperkuat nalar, rasa, dan nilai dari setiap keputusan bisnis.

***

*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar Kewirausahaan Universitas Negeri Surabaya, Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia, Dewan Pakar HIPMIKIMDO Jawa Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES