Kopi TIMES

Toleransi di Tengah Gelombang Cancel Culture

Minggu, 12 Oktober 2025 - 18:34 | 986
Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.
Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.

TIMESINDONESIA, BALI – Ruang digital kini menjadi cermin paling jujur dari dinamika sosial manusia. Di sana, setiap ide bisa menjelma pengaruh, dan setiap kesalahan bisa berubah menjadi vonis. Salah satu fenomena yang paling menonjol adalah cancel culture budaya membatalkan seseorang karena dianggap melanggar norma sosial atau moral. 

Bagi orang dewasa, ini bisa menjadi perdebatan etika dan politik. Namun bagi anak-anak dan remaja, cancel culture adalah realitas sosial yang membentuk cara mereka tumbuh, berpikir, dan memandang dunia.

Advertisement

Di permukaan, budaya ini tampak sebagai upaya menegakkan tanggung jawab dan keadilan sosial. Masyarakat digital kini lebih cepat bereaksi terhadap ujaran kebencian, diskriminasi, atau perilaku tidak etis. 

Satu sisi, ini menunjukkan kesadaran baru: generasi muda lebih peka terhadap isu keadilan dan empati sosial. Namun, di sisi lain, ruang digital yang serba menghukum ini melahirkan iklim ketakutan baru ketakutan untuk salah, berbicara, dan berbeda pendapat.

Setiap kesalahan kecil berpotensi menjadi bahan persekusi publik. Setiap kalimat yang disalahpahami bisa menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan jam. Akibatnya, anak-anak belajar bahwa aman berarti diam. 

Mereka tumbuh dalam budaya keseragaman yang mengorbankan keberanian berpikir dan kebebasan berekspresi. Padahal, dalam pendidikan, kesalahan bukanlah dosa, melainkan bagian penting dari proses belajar.

Di sinilah tantangan terbesar kita sebagai orang tua dan pendidik: bagaimana membangun karakter anak agar tidak hanya sopan di dunia digital, tetapi juga kritis dan toleran di tengah arus peradaban yang cepat menghakimi?

Langkah pertama adalah menanamkan pemahaman bahwa tidak semua bentuk cancel culture bersumber dari niat jahat, tapi tidak semuanya pula mencerminkan keadilan sejati. 

Ada perbedaan mendasar antara akuntabilitas dan amukan massa digital. Yang pertama menuntut tanggung jawab; yang kedua menuntut pelampiasan.

Anak-anak perlu dilatih untuk menilai konteks, proporsionalitas, dan perubahan. Apakah komentar yang viral itu diambil di luar konteks? Apakah hukuman publik yang dituntut sebanding dengan kesalahan yang dilakukan? 

Apakah individu tersebut telah menunjukkan penyesalan dan mau memperbaiki diri? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini melatih kemampuan berpikir kritis dan empati, dua hal yang semakin langka di dunia digital yang haus sensasi.

Pendidikan kita harus menggeser fokus dari menghukum ke merefleksi. Dari sekadar membatalkan seseorang, menjadi mendampingi proses perbaikan. Ruang digital seharusnya bukan *kuburan moral*, tetapi ruang belajar sosial yang penuh dialog dan kebijaksanaan.

Toleransi sebagai Napas Digital

Toleransi di era digital bukan sekadar menahan diri untuk tidak menyerang. Ia adalah kemampuan untuk memahami bahwa setiap orang punya perjalanan berpikir yang berbeda. Bahwa di balik setiap komentar keliru, bisa jadi ada ketidaktahuan, bukan kebencian.

Anak-anak perlu diajarkan bahwa “tidak setuju” bukan berarti “bermusuhan.” Bahwa mereka boleh menegur, tapi tidak berhak menghapus eksistensi seseorang. 

Dunia maya harus dibangun dengan nilai-nilai dunia nyata: kasih, empati, dan ruang maaf. Tanpa itu, media sosial hanya akan menjadi arena penghakiman tanpa akhir—tempat di mana moral berubah menjadi kompetisi pencitraan.

Peran guru dan orang tua menjadi sangat penting di sini. Mereka bukan hanya pengawas etika digital, tapi juga pembimbing nalar. Tugas mereka adalah menanamkan kesadaran bahwa kebebasan berbicara di dunia maya harus diimbangi dengan kebebasan berpikir secara kritis dan beretika.

Kita hidup di masa ketika “viral” sering dianggap lebih penting daripada “benar”. Budaya instan ini menekan proses berpikir panjang, sementara algoritma lebih menyukai kemarahan daripada kedalaman. 

Maka, mengajarkan anak-anak untuk tidak mudah terpancing, untuk berpikir dua kali sebelum ikut menghakimi, adalah bentuk pendidikan moral yang paling modern saat ini.

Ruang digital adalah potret masa depan bangsa. Jika ia dipenuhi dengan kebencian, maka kita sedang menyiapkan generasi yang apatis dan takut berbicara. Namun jika kita isi dengan dialog, maaf, dan pemikiran terbuka, maka kita sedang menanam benih peradaban baru peradaban yang berpijak pada akal sehat dan empati.

Membangun generasi yang kritis dan toleran di dunia digital bukan sekadar upaya melindungi anak dari efek negatif internet. Ia adalah bentuk investasi sosial untuk masa depan: membentuk manusia yang berani berpikir, berani berbeda, tapi tetap berperikemanusiaan.

***

*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES