Kopi TIMES

Wajah Borobudur dalam Lensa

Minggu, 12 Oktober 2025 - 21:45 | 1.03k
Elis Zuliati Anis, fotografer dan dosen prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan.
Elis Zuliati Anis, fotografer dan dosen prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Candi Borobudur, sebuah mahakarya Buddha dari abad ke-8, telah ribuan kali direkam lensa para pengunjung. Hampir semua menampilkan kemegahan nan kharismatik. Di balik stupa-stupanya yang menakjubkan, tersimpan kisah-kisah yang nyaris terlupakan, seperti yang dihadirkan tiga fotografer Indonesia dalam Pameran Internasional BARA API 2022 di Museum H. Widayat.

Melalui lensa Arbain Rambey, Arif Ardy Wibowo, dan Ezu Oktavianus, pengunjung diajak untuk melihat Borobudur tidak hanya sebagai bangunan arsitektur budaya nan megah, tetapi sebagai sebuah ruang yang hidup, menyimpan keindahan sekaligus kerentanan. Juga berbagai kisah dalam tiap pahatan relief nya. 

Advertisement

Ketiga karya ini, meskipun berpusat pada subjek yang sama, menawarkan tiga perspektif yang berbeda: makro, meso, dan mikro, membentuk sebuah narasi tiga babak tentang Borobudur.

Karya pertama, "Borobudur in the Air" oleh fotografer senior Arbain Rambey, menyajikan pandangan makro yang memukau. Diambil dari udara, foto ini menempatkan Borobudur dalam landskap lingkungannya yang luas: hamparan hijau di kaki perbukitan Menoreh, dengan gunung Merapi yang berdiri anggun di kejauhan. Dari ketinggian itu, Borobudur tampak seperti poros semesta yang menghubungkan alam, manusia, dan spiritualitas.

Namun foto ini bukan sekadar potret lanskap yang indah. Melalui  teks foto, “Borobudur Stupas Covered with Tarpaulin Anticipating Ashes from Merapi Volcano”, Arbain menyentuh sisi lain dari keindahan, tentang kerapuhan di balik keagungan. 

Stupa-stupa yang ditutup terpal menjadi simbol perlindungan, ikhtiar manusia menjaga warisan peradaban dari alam yang tak selalu bersahabat. Merapi, di kejauhan menjadi pengingat: alam bisa murka kapan saja, tapi dari abu dan amarahnya, kehidupan juga tumbuh kembali, menghijaukan alam sekitar Borobudur. 

Di titik inilah, foto Arbain berubah dari sekadar dokumentasi visual menjadi refleksi tentang dialog abadi antara candi, alam, dan manusia dalam satu bingkai yang epik, puitis sekaligus kontekstual.

Berpindah dari pandangan luas, Arif Ardy Wibowo membawa kita ke perspektif meso dalam karyanya "Borobudur Temple". Foto ini adalah sebuah perayaan bentuk dan suasana. 

Dengan menggunakan kamera inframerah Harlim versi 3, Arif mengubah pemandangan yang kita kenal menjadi sebuah dunia lain yang seolah seolah seperti sureal dan dramatis.

Mengambil sudut tenggara di depan relief Karmawibhangga, Arif menggunakan teknik inframerah yang membuat dedaunan di latar depan tampak putih menyala, sementara langit berubah gelap dengan awan bergejolak. Dalam komposisi itu, Borobudur berdiri kokoh dengan kontras tajam, seolah memancarkan energinya sendiri. 

Lewat foto hitam-putih ini, Arif seolah menanggalkan warna duniawi dan mengajak kita melihat esensi arsitektur serta keabadiannya. Karyanya bukan sekadar potret bangunan candi di satu masa, melainkan potret yang melampaui waktu, sebuah monumen mistis yang abadi.

Jika Arbain melihat dari jauh, dan Arif melihat strukturnya, maka Ezu Oktavianus dalam "A Piece of Folk Tales" mengajak kita melihat dari dekat, sebuah perspektif mikro yang intim. Karyanya adalah sebuah komposisi panel yang membingkai fragmen-fragmen relief, potongan kisah yang terukir di batu.

Ezu tidak sekadar mendokumentasikan. Ia melakukan intervensi artistik dengan memberikan sentuhan warna pada beberapa panel: hijau, merah, biru, pada relief yang aslinya monokrom. Sentuhan ini seolah meniupkan kehidupan baru ke dalam "dongeng rakyat" yang telah membisu selama ratusan tahun. 

Dengan memecah narasi besar Borobudur menjadi potongan-potongan visual, Ezu mengajak kita untuk kembali mengigat  kisah-kisah masa lalu: ajaran, drama, dan kehidupan manusia kalau itu yang terpatri di dinding candi. Ini adalah dialog antara seniman modern dan para pemahat kuno, sebuah jembatan visual antara masa lalu dan masa kini.

Dalam tiga lensa ini, Borobudur bukan lagi sekadar monumen, melainkan ruang perenungan tentang manusia dan waktunya. Arbain, Arif, dan Ezu menghadirkan cara pandang yang berbeda, namun saling melengkapi: Borobudur sebagai bagian dari ekosistem yang agung namun rentan, jiwa arsitekturnya yang monumental dan abadi, serta detail kehidupan yang nyaris terlupakan. 

Ketiganya mengingatkan bahwa di balik batu dan relief selalu ada denyut yang terus hidup dan selama ada yang memandangnya, ribuan cerita manusia yang menanti untuk dibaca kembali.

Pameran BARA API 2022 berhasil menegaskan bahwa Borobudur bukanlah benda mati. Ia adalah subjek yang terus berdialog dengan alam, waktu, dan manusia. 

Ketiga fotografer ini tidak sekadar memotret batu, mereka menangkap esensi, jiwa, dan narasi dari sebuah warisan dunia yang tak pernah berhenti memancarkan pesonanya.

***

*) Oleh : Elis Zuliati Anis, fotografer dan dosen prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES