Kopi TIMES

Menegosiasikan Masa Depan Kota dan Alam

Senin, 13 Oktober 2025 - 16:32 | 972
Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Sekolah Tinggi Teologie KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Keuskupan Agung Koln, Jerman.
Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Sekolah Tinggi Teologie KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Keuskupan Agung Koln, Jerman.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di balik kilau pencakar langit dan gemerlap lampu kota yang tak pernah padam, terdapat narasi yang lebih sunyi kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan renggangnya hubungan antara manusia dan alam. Urbanisasi, yang kerap dirayakan sebagai lambang kemajuan, membawa tantangan ekologis dan sosial yang tak bisa diabaikan. 

Di Indonesia, negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam dan perubahan iklim urbanisasi bukan hanya soal perpindahan penduduk ke kota, melainkan juga pergeseran cara pandang terhadap ruang, sumber daya, dan masa depan bersama.

Advertisement

Dalam karya Rebel Cities (2012), David Harvey menggugat kota neoliberal sebagai ruang yang dikendalikan oleh kekuatan modal alih-alih kebutuhan kolektif warganya. Gagasan “hak atas kota” yang ia gaungkan menjadi seruan untuk menata kota sebagai ruang partisipasi dan keadilan. 

Kenyataannya, kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan masih berkembang dengan logika pasar yang dominan. Gentrifikasi terjadi perlahan namun sistematis, menyingkirkan kampung-kampung urban dan mempersempit ruang hidup masyarakat kelas bawah.

Krisis ekologis turut menyelimuti kota-kota besar, diperparah oleh ketimpangan akses terhadap energi bersih dan ruang terbuka hijau. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2022) menunjukkan bahwa dalam inventarisasi emisi di 28 kabupaten/kota dan pemerintah daerah selama periode 2012–2021, sekitar 70% emisi di kawasan perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. 

Sementara itu, ruang terbuka hijau di Jakarta masih berada di angka 9,98%, jauh dari amanat Undang-Undang Penataan Ruang yang mensyaratkan minimal 30% (BPK RI, 2018).

Upaya mengurangi jejak karbon memang sedang digencarkan, salah satunya melalui inisiatif bioetanol sebagai campuran bahan bakar dengan target pencampuran 10% (Reuters, 2025). Namun, keberhasilan kebijakan ini menghadapi tantangan struktural: pasokan etanol yang terbatas dan infrastruktur yang belum memadai.

Namun di tengah upaya teknokratis tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah solusi ekologis harus selalu diwujudkan dalam bentuk substitusi bahan bakar atau teknologi baru? 

Arne Naess, filsuf Norwegia dan pencetus gerakan Deep Ecology, mengajak kita melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai entitas dengan nilai intrinsik yang layak dihormati.

Dalam pandangan Naess, kota sering kali menjadi simbol keterputusan manusia dari alam. Di mana beton dibangun, pohon tumbang. Di mana aspal dibentangkan, sungai dialihkan. 

Pendekatan ekologis yang terlalu teknokratis cenderung mengabaikan hubungan spiritual, etis, dan filosofis antara manusia dan lingkungan. Keberlanjutan lalu direduksi menjadi soal efisiensi teknologi, bukan keselarasan ekologis.

Ironisnya, banyak proyek energi terbarukan justru tetap meninggalkan jejak ekologis yang dalam. Laporan Global Forest Watch (2021) mencatat Indonesia kehilangan 1,3 juta hektar hutan primer antara 2017 dan 2021. 

Banyak di antaranya terkait dengan ekspansi perkebunan dan proyek energi berbasis lahan. Maka, transisi energi yang tidak dibarengi perubahan paradigma justru berisiko menjadi bentuk baru dari eksploitasi lama.

Di satu sisi, pemerintah ingin mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil melalui perluasan perkebunan tebu dan kelapa sawit untuk bahan bakar. Namun langkah ini membawa dilema ekologis tersendiri. Jika tak hati-hati, alih-alih menyelamatkan lingkungan, kita justru membuka jalan bagi deforestasi baru dan konflik agraria yang berkepanjangan.

Imajinasi Baru bagi Kota yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Urbanisasi tidak bisa dihentikan, tetapi bisa diarahkan. Kota tidak harus menjadi mesin konsumsi dan polusi; ia bisa menjadi ruang eksperimentasi sosial dan laboratorium keberlanjutan. 

Untuk itu, kita memerlukan bukan hanya kebijakan, tetapi juga imajinasi baru: kota yang tidak hanya efisien secara energi, tetapi juga adil secara sosial dan selaras dengan ekosistemnya.

Transformasi kota membutuhkan pendekatan interdisipliner menggabungkan teknologi ramah lingkungan, perencanaan tata ruang yang adil, dan kesadaran ekologis masyarakat. Menurut laporan IESR (2023), sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, sebagian besar berasal dari kawasan urban. 

Maka, membangun infrastruktur hijau, memperkuat transportasi publik, serta menciptakan ruang pejalan kaki dan jalur sepeda bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga pernyataan etis tentang bagaimana kita ingin hidup di masa depan.

Kota yang berpihak pada pejalan kaki, pesepeda, dan komunitas lokal adalah kota yang membangun kembali kedekatan manusia dengan ruangnya. Dalam konteks ini, keberlanjutan bukan sekadar target numerik, tetapi sebuah visi kultural tentang bagaimana manusia bisa hidup bersama, bukan hanya dengan sesama, tetapi juga dengan sungai, pohon, udara, dan segala entitas yang menopang kehidupan.

Kita kerap membicarakan “hak atas kota”, tetapi bagaimana dengan hak alam atas ruangnya sendiri? Urbanisasi masa depan harus dilihat sebagai negosiasi yang adil antara kebutuhan manusia dan keberlangsungan bumi. Kota bukan panggung untuk menaklukkan alam, melainkan ruang untuk hidup berdampingan dalam harmoni, bukan dominasi.

***

*) Oleh : Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Sekolah Tinggi Teologie KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Keuskupan Agung Koln, Jerman.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES