
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gelombang demonstrasi besar-besaran pada 25–29 Agustus 2025 tercatat sebagai salah satu peristiwa politik paling mengguncang dalam dua dekade terakhir. Dari Jakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar, massa turun ke jalan menentang kebijakan tunjangan DPR yang dianggap tidak etis di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit.
Dalam hitungan jam, amarah terhadap kebijakan berubah menjadi kemarahan terhadap negara memantik isu ketimpangan sosial, kekerasan aparat, hingga krisis kepercayaan publik terhadap institusi.
Advertisement
Namun satu pertanyaan mengemuka: apakah semua ini benar-benar murni gerakan rakyat, ataukah ada rekayasa kekuasaan yang bermain di balik layar?
Secara sosiologis, kemarahan terhadap DPR hanyalah pemantik. Bahan bakarnya adalah krisis legitimasi politik dan ketimpangan sosial-ekonomi yang kian mencolok. Rakyat melihat wakilnya hidup mewah di atas penderitaan, sementara harga-harga melambung dan lapangan kerja menipis.
Teori relative deprivation menjelaskan bahwa ledakan sosial biasanya muncul ketika jurang antara harapan dan kenyataan semakin lebar. Dalam hal ini, rakyat merasa terampas martabatnya. Tapi menariknya, mobilisasi aksi yang begitu cepat mencapai 173 kota hanya dalam dua hari menunjukkan adanya sistem distribusi informasi yang sangat efisien.
Fenomena itu mengingatkan pada konsep opportunity structures dalam sosiologi politik: gerakan sosial meledak bukan hanya karena ada ketidakpuasan, tetapi karena ada saluran komunikasi dan kelemahan institusi yang bisa dimanfaatkan.
Dalam dunia intelijen, momen semacam ini dikenal sebagai window of agitation celah waktu ketika emosi publik bisa digerakkan, bahkan diarahkan, oleh aktor yang memahami peta psikologi sosial.
Eskalasi aksi damai menjadi rusuh di lebih dari 20 persen kota menunjukkan adanya pola yang tak wajar. Kelompok tak dikenal tiba-tiba muncul, provokasi tersulut, dan bentrokan meluas tanpa arah yang jelas. Pola ini menyerupai konsep controlled chaos kekacauan yang diciptakan untuk membentuk persepsi publik tertentu.
Dalam banyak studi keamanan, taktik semacam ini sering digunakan untuk menguji reaksi publik dan aparat sekaligus menciptakan alibi politik bagi tindakan represif. Narasi digital seperti tudingan “antek asing” atau “provokasi ormas tertentu” memperkuat dugaan adanya psy-ops (operasi psikologis) di ruang digital.
Tujuan dari operasi semacam ini bukan sekadar mengacaukan, melainkan mengendalikan makna sosial dari kekacauan itu: siapa yang tampak bersalah, siapa yang dianggap heroik, dan bagaimana masyarakat memahami peristiwa tersebut. Dengan kata lain, yang dikontrol bukan hanya tindakan, tapi persepsi publik.
Dalam kacamata intelijen politik, demonstrasi Agustus bisa dibaca sebagai “ujian sistem”. Ada tiga kemungkinan motif di baliknya. Pertama, delegitimasi lembaga publik seperti DPR dan kepolisian agar posisi tawarnya melemah.
Kedua, stress test keamanan sosial, yaitu uji coba kapasitas aparat menghadapi krisis serentak di berbagai wilayah. Ketiga, pengalihan isu politik dari agenda nasional yang ingin diredam.
Fakta bahwa respons aparat berbeda di tiap daerah ada yang represif, ada yang permisif menunjukkan lapisan kendali ganda. Pola ini mengindikasikan adanya eksperimen terhadap dinamika komando dan loyalitas institusional, sebagaimana dijelaskan dalam teori civil-military relations.
Jika benar ada operasi semacam itu, maka demonstrasi rakyat telah menjadi laboratorium politik yang mempertaruhkan stabilitas sosial demi kepentingan kekuasaan.
Perang Persepsi di Ruang Digital
Setelah demonstrasi mereda, dua narasi segera bersaing di ruang publik. Negara menuding adanya provokator eksternal, sementara kelompok sipil menuduh aparat sebagai pelaku kekerasan.
Polarisasi ini tidak terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perception management strategi klasik dalam politik modern untuk mengalihkan fokus publik dari substansi kebijakan ke konflik wacana.
Algoritma media sosial memperkuat polarisasi itu melalui echo chamber effect ruang gema digital yang hanya memantulkan pandangan yang ingin kita dengar. Akibatnya, kebenaran menjadi relatif. Fakta dikalahkan oleh persepsi, dan opini publik menjadi komoditas politik yang bisa dikendalikan oleh mereka yang menguasai narasi.
Meski begitu, tak adil jika seluruh gerakan rakyat Agustus dianggap hasil rekayasa. Kemarahan masyarakat nyata dan berakar dalam. Ia lahir dari kelelahan sosial, dari janji kesejahteraan yang tak kunjung tiba. Tetapi di tengah keotentikan itu, ada infiltrasi. Gerakan rakyat menjadi kendaraan bagi agenda kekuasaan.
Dengan kata lain, demonstrasi Agustus adalah fenomena ganda: otentik dalam sebab, namun terkelola dalam akibat. Ia menunjukkan bagaimana politik modern bekerja bukan hanya di ruang kebijakan, tapi di ranah psikologi sosial dan persepsi publik.
Demokrasi di Persimpangan Manipulasi
Kisah demonstrasi Agustus 2025 memberi pelajaran penting bahwa demokrasi kini tak lagi hanya soal kebebasan bersuara, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan arah suara itu. Fungsi intelijen modern telah meluas dari sekadar pengumpulan informasi menjadi pembentuk realitas sosial.
Kita hidup di era di mana batas antara gerakan rakyat dan rekayasa kekuasaan makin kabur. Publik mudah digerakkan oleh algoritma, narasi, dan simbol yang dikontrol oleh kekuatan tak kasat mata.
Dalam konteks ini, pertanyaan terpenting bukan lagi “siapa yang memicu demonstrasi”, melainkan “sejauh mana demokrasi kita mampu bertahan dari manipulasi yang dilakukan atas namanya sendiri.”
***
*) Oleh : Ruben Cornelius Siagian, Peneliti dan Penulis Opini.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |