Kopi TIMES

Merawat Persatuan di Era Budaya Digital

Selasa, 14 Oktober 2025 - 18:21 | 782
Syahrul Kirom, M,Phil., Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Syahrul Kirom, M,Phil., Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.

TIMESINDONESIA, CIREBON – Di era budaya digital seperti sekarang, ruang publik kita telah berubah. Percakapan antarwarga tak lagi berlangsung di balai desa, warung kopi, atau forum musyawarah, melainkan di media sosial. Sayangnya, ruang virtual yang seharusnya memperkuat silaturahmi justru sering menjadi arena saling hujat, fitnah, dan adu domba.

Ujaran kebencian dan informasi palsu (hoaks) kini tumbuh subur di linimasa, menggerus kepercayaan sosial dan merusak sendi persatuan. Karena itu, masyarakat perlu bersikap kritis dalam menelan setiap informasi yang berseliweran di dunia maya. 

Advertisement

Informasi dari media sosial bisa benar, tetapi juga bisa menyesatkan. Di sinilah pentingnya kecerdasan digital kemampuan memilah, menganalisis, dan menahan diri sebelum membagikan sesuatu yang belum tentu sahih.

Ketika politik identitas dan disinformasi terus memecah masyarakat, jalan pulang terbaik sebenarnya telah lama diwariskan para pendiri bangsa: Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini bukan sekadar kalimat simbolik di lambang negara, melainkan panduan moral untuk merawat keberagaman.

Nilai-nilai persaudaraan yang terkandung di dalam Bhinneka Tunggal Ika menegaskan bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan agama, suku, bahasa, dan pandangan politik, namun dipersatukan oleh tekad untuk hidup bersama dalam damai. Dalam konteks budaya digital, nilai ini harus menjadi filter utama sebelum jari menekan tombol “bagikan”.

Sikap arif dan kepala dingin dalam menyikapi isu politik di media sosial adalah bentuk nyata pengamalan semboyan tersebut. Ketika masyarakat kembali pada semangat kebersamaan dan saling menghormati, maka potensi perpecahan akibat berita palsu dapat diredam.

Humanisme sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa

Filsuf klasik Auguste Comte pernah mengatakan bahwa agama sejatinya mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusia. Ia menyebutnya agama kemanusiaan, ajaran yang menebarkan benih kasih dan memulihkan keseimbangan sosial.

Pemikiran Comte ini relevan dengan konteks Indonesia hari ini. Kerukunan antarumat beragama tidak akan tumbuh hanya dengan menghafal ajaran agama, tetapi juga dengan menghadirkan nalar kemanusiaan dalam setiap tindakan. 

Dengan berpegang pada nilai kasih, toleransi, dan empati, masyarakat bisa menghindari sikap ekstrem yang berujung konflik sosial dan kekerasan atas nama keyakinan.

Kemajemukan Indonesia dengan Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu adalah realitas yang tak bisa dipungkiri. Dari sini, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi sumber utama pembentukan nation-state yang menjamin kebebasan beragama sekaligus persatuan bangsa.

Presiden Soekarno pernah menegaskan, Pancasila mengakomodasi pluralitas agama tetapi juga mengatasi partikularitas yang dapat menimbulkan perpecahan. Negara hadir bukan untuk satu golongan, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Artinya, pengamalan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi kesadaran kolektif, bukan sekadar jargon seremonial. 

Fanatisme buta dan klaim kebenaran tunggal harus ditinggalkan. Sebagai gantinya, kita perlu mengedepankan rasa kebangsaan dan tanggung jawab moral sebagai warga negara yang memiliki nasib dan cita-cita bersama.

Langkah Merawat Persatuan di Era Digital

Setidaknya ada dua langkah penting yang bisa dilakukan untuk memperkuat persatuan bangsa di tengah budaya digital yang gaduh:

Pertama, memperkuat literasi digital. Kerukunan dan kesadaran berbangsa tidak cukup hanya dengan ajaran moral atau seruan damai, tetapi harus disertai kemampuan kritis dalam memilah informasi. 

Bhinneka Tunggal Ika menjadi prinsip etis dalam berinteraksi di dunia maya mengajarkan bahwa perbedaan pandangan tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci.

Kedua, mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara praksis. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia, harus tercermin dalam perilaku sehari-hari di dunia digital: dari cara berkomentar, berdiskusi, hingga menyebarkan berita.

Jika kedua langkah ini dihidupkan, ruang digital bisa menjadi wahana yang memupuk kebajikan, bukan kebencian. Internet bisa menjadi alat pemersatu bangsa, bukan pemecah.

Merawat persatuan bangsa di era digital bukan sekadar tugas pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi tanggung jawab moral setiap warga negara. Ketika setiap individu menahan diri dari ujaran kebencian, memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, dan menempatkan nilai persaudaraan di atas perbedaan, maka cita-cita luhur Bhinneka Tunggal Ika benar-benar hidup.

Budaya digital seharusnya tidak mematikan nurani kemanusiaan, melainkan menjadi sarana baru untuk menebar kebaikan dan memperkuat persaudaraan. Di sinilah makna sejati persatuan Indonesia diuji dan di sinilah kita semua dipanggil untuk menjaganya.

***

*) Oleh : Syahrul Kirom, M,Phil., Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES