
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pernyataan keras Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, terhadap tayangan Expose Uncensored di Trans7 menandai titik penting dalam hubungan antara dunia pesantren dan media massa. Tayangan yang ditayangkan pada Senin, 13 Oktober 2025, itu dinilai bukan hanya melanggar prinsip jurnalisme, tetapi juga melecehkan pesantren dan tokoh-tokohnya.
Dalam pandangan Gus Yahya, isi tayangan tersebut secara terang-terangan merendahkan dunia pesantren sebuah lembaga yang tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak bangsa. Ia menegaskan bahwa pelecehan terhadap pesantren berarti juga pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi kehidupan umat Islam Indonesia.
Advertisement
Pernyataan ini menggema di tengah gelombang protes dan seruan boikot terhadap Trans7 dari kalangan santri dan masyarakat pesantren. Reaksi itu bukanlah letupan emosional semata, melainkan bentuk kesadaran kolektif untuk menjaga kehormatan kiai, ulama, dan institusi yang telah lama menjadi benteng moral bangsa.
Pesantren dan Keberadaban Publik
Pesantren adalah wajah kearifan Indonesia. Ia tumbuh di tengah masyarakat, membaur dengan tradisi lokal, dan mengajarkan nilai-nilai universal: keikhlasan, kesederhanaan, serta penghormatan kepada guru dan ilmu. Kiai di pesantren tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pengasuh moral, pembimbing spiritual, sekaligus penjaga etika sosial.
Dalam tradisi pesantren, adab selalu didahulukan sebelum ilmu. Karena itu, penghinaan terhadap kiai bukan semata pelanggaran terhadap individu, melainkan perusakan terhadap nilai adab itu sendiri. Ketika tayangan media secara sembarangan menyinggung atau mengolok figur kiai, maka yang dirusak bukan hanya citra agama, tetapi juga sendi keberadaban publik.
Kebebasan dan Batas Etika
Kebebasan berekspresi merupakan hak yang harus dijaga. Namun, kebebasan itu tidak boleh menjadi pembenaran untuk menodai kehormatan orang lain. Media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, memikul tanggung jawab besar: menjaga keakuratan, kejujuran, dan kepekaan sosial dalam setiap tayangannya.
Di era digital yang serba cepat, batas antara kebebasan dan kelalaian etika sering kali kabur. Ketika tayangan disusun hanya untuk mengejar sensasi, rating, atau tawa sesaat, yang hilang adalah rasa hormat terhadap nilai dan identitas publik. Padahal, di tengah krisis moral dan polarisasi sosial, masyarakat justru membutuhkan media yang mampu menyejukkan, bukan memanaskan.
Boikot sebagai Teguran Moral
Gerakan boikot terhadap Trans7 harus dibaca sebagai bentuk teguran moral, bukan kebencian. Pesantren tidak anti-media; pesantren hanya menuntut media agar lebih arif. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai agama dan kesopanan, kritik semacam ini merupakan cara damai untuk mengingatkan bahwa ruang publik memiliki rambu-rambu etis.
Boikot, dalam pengertian ini, menjadi simbol perlawanan kultural terhadap arus komersialisasi dan banalitas media. Ia menunjukkan bahwa publik, khususnya kalangan santri, masih memiliki kompas moral yang jelas bahwa kehormatan tidak bisa dikompromikan atas nama hiburan.
Meneguhkan Adab, Menjaga Bangsa
Kiai dan pesantren telah berjasa besar dalam membentuk wajah Indonesia yang moderat, religius, dan beradab. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan kesadaran kebangsaan.
Karena itu, membela kehormatan mereka bukanlah tindakan sektarian, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai keindonesiaan yang luhur.
Pernyataan Gus Yahya dan reaksi masyarakat pesantren harus menjadi momentum refleksi bagi dunia media: bahwa kebebasan siar bukan berarti bebas dari tanggung jawab, dan bahwa adab adalah fondasi utama peradaban.
Dalam era ketika kata dan gambar dapat menjatuhkan martabat seseorang, menghidupkan kembali semangat adab adalah tugas bersama agar ruang publik tetap menjadi tempat yang menghormati ilmu, nilai, dan kemanusiaan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Bambang H Irwanto |
Publisher | : Rifky Rezfany |