Pesantren sebagai Laboratorium Moral dan Spiritualitas Sosial

TIMESINDONESIA, MALANG –
Di tengah dunia modern yang serba cepat dan bising, manusia modern sering kali kehilangan ruang hening untuk merenung. Kemajuan membawa banyak kemudahan, tetapi juga menghadirkan tekanan mental, krisis makna, dan kelelahan spiritual.
Advertisement
Dalam situasi semacam ini, pesantren justru tampil sebagai oase ketenangan, ruang yang menyuguhkan keseimbangan antara intelektualitas, spiritualitas, dan kemanusiaan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan moralitas bangsa. Sejak awal kemunculannya, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat transmisi ilmu keagamaan, tetapi juga sebagai ruang sosial dimana nilai-nilai moral dan spiritual direproduksi dan diwariskan lintas generasi.
Dalam konteks ini, pesantren menjadi ruang yang melampaui sekadar institusi pendidikan, melainkan juga menjadi pusat pembentukan identitas sosial, etika, dan spiritualitas masyarakat.
Secara sosiologis, pesantren dapat dipahami sebagai arena reproduksi nilai sebagaimana dikemukakan oleh Pierre Bourdieu yang menyatakan bahawa melalui proses pendidikan formal dan nonformal, pesantren menanamkan habitus moral kepada para santri.
Nilai-nilai seperti kejujuran, kemandirian, kesederhanaan, serta penghormatan terhadap guru (ta’dzim) bukan sekadar diajarkan, tetapi dibiasakan melalui praktik kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren. Pola hidup kolektif di asrama menjadi sarana efektif untuk membentuk kesadaran sosial dan tanggung jawab moral.
Selain itu, pesantren juga mempunyai peran penting dalam membangun spiritualitas sosial. Spiritualitas dalam tradisi pesantren tidak bersifat individualistik, melainkan berorientasi pada hubungan sosial.
Tradisi zikir, khataman, dan kegiatan sosial seperti bakti sosial mencerminkan bagaimana kesalehan personal diartikulasikan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama. Inilah yang disebut sebagai spiritualitas sosial, yaitu kesadaran bahwa beragama tidak hanya berarti beribadah kepada Tuhan, tetapi juga berbuat baik kepada manusia.
Modernitas sering menuntut manusia untuk bergerak tanpa jeda. Waktu diukur dengan produktivitas, bukan makna. Dalam hal ini, pesantren mengajarkan ritme peradaban dengan kedalaman makna. Kiai dan santri tidak tergesa-gesa dalam belajar, proses ini dipandang sebagai ibadah, bukan sekadar target.
Pesantren tetap menunjukkan relevansinya dengan Transformasi yang dilakukan, misalnya dengan mengintegrasikan kurikulum umum dan teknologi, menunjukkan bahwa pesantren mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri moral dan spiritualnya. Pesantren menjadi ruang sintesis antara tradisi dan modernitas, antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, “Ilmu tanpa akhlak adalah bencana bagi umat.” Ungkapan ini menegaskan bahwa pesantren hadir untuk memastikan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan moralitas.
Di tengah tantangan globalisasi, pesantren tetap menjadi benteng peradaban yang menumbuhkan kesalehan sosial, etika kemanusiaan, dan spiritualitas kebangsaan. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi sumber inspirasi bagi masa depan bangsa yang beradab dan berkeadaban.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |