Kopi TIMES

Bijak Memandang Pangan "Ultra Processed Food"

Kamis, 16 Oktober 2025 - 13:13 | 3.22k
Cesar Welya Refdi, Mahasiswa S3 Ilmu Pangan IPB University, Dosen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Andalas.
Cesar Welya Refdi, Mahasiswa S3 Ilmu Pangan IPB University, Dosen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Andalas.

TIMESINDONESIA, PADANG – Istilah ultra-processed food (UPF) pertama kali dikenal lewat klasifikasi NOVA, yang membagi makanan berdasarkan tingkat pengolahannya. Sejak saat itu, UPF kerap dicap sebagai biang penyakit modern dari obesitas, diabetes, hingga gangguan metabolik. 

Media sosial ramai dengan seruan kembali ke makanan alami. Narasinya sederhana: semakin alami, semakin sehat; semakin diproses, semakin berbahaya. Namun, apakah pangan sesederhana itu?

Advertisement

Ambil contoh susu UHT. Banyak yang menganggapnya tak lagi sehat karena dipanaskan pada suhu tinggi. Ada yang khawatir gizinya hilang, bahkan menyebutnya “tidak alami.” Padahal justru proses itu yang membuat susu aman dikonsumsi. 

Susu segar yang minim proses sangat rentan terkontaminasi bakteri berbahaya, apalagi jika didistribusikan jauh dari sumber produksi. Susu UHT hadir bukan sebagai trik industri, tetapi solusi agar masyarakat bisa menikmati susu aman dengan umur simpan lebih panjang.

Begitu pula dengan ikan kaleng. Ia sering dianggap kalah bergizi dibanding ikan segar. Padahal tidak semua orang punya akses harian ke laut atau pasar ikan.

Pengalengan membuat ikan lebih awet tanpa mengorbankan nilai gizinya, bahkan meningkatkan daya cerna protein. Bagi masyarakat di wilayah terpencil, ikan kaleng justru menyelamatkan dari kekurangan asupan protein hewani.

Beras fortifikasi juga sering disalahpahami karena “tidak alami.” Padahal penambahan zat gizi mikro seperti zat besi dan asam folat mampu menekan kasus anemia dan defisiensi mikronutrien di Indonesia. Fortifikasi bukan sekadar inovasi industri, melainkan intervensi kesehatan masyarakat.

Tentu tak semua pangan olahan tanpa cela. Produk tinggi gula, garam, dan lemak jenuh seperti minuman bersoda atau fast food memang perlu dibatasi. Namun menggeneralisasi semua pangan olahan sebagai “jahat” berarti menutup mata terhadap peran teknologi pangan dalam menjaga keamanan, distribusi, dan ketersediaan makanan.

Kuncinya bukan sekadar menghindari, tetapi memilih dengan cerdas. Membaca label gizi menjadi langkah sederhana namun krusial. Pilih susu dengan kandungan susu segar dominan, perhatikan kadar gula, dan pahami bahwa WHO menganjurkan konsumsi gula tidak lebih dari 25 gram per hari atau sekitar lima sendok teh.

Yang kerap dilupakan: pangan “alami” pun bisa berisiko jika dikonsumsi berlebihan. Teh manis yang akrab di meja makan bisa meningkatkan risiko diabetes bila diminum terus-menerus. Gorengan yang renyah mengandung lemak trans, dan makanan gosong berpotensi menghasilkan senyawa karsinogenik. 

Bahkan jajanan pinggir jalan yang tampak sederhana kadang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) seperti perasa barbeque secara bebas tanpa mengikuti regulasi. Produk semacam ini mungkin tak tergolong UPF, tapi tetap berisiko bila tidak diawasi.

Persoalan pangan seharusnya tidak dipandang hitam-putih: antara “alami” dan “buatan”, atau “sehat” dan “berbahaya.” Esensi dari pangan ada pada bagaimana ia diproses, diawasi, dan dikonsumsi. 

Teknologi pangan hadir bukan untuk menipu alam, melainkan menjawab tantangan zaman keterbatasan distribusi, kebutuhan umur simpan panjang, pencegahan penyakit akibat kontaminasi, hingga pemenuhan gizi masyarakat.

Menolak semua pangan olahan sama saja menolak solusi yang telah menyelamatkan jutaan orang dari keracunan maupun kekurangan gizi. Yang perlu kita latih bukan hanya apa yang kita makan, tetapi bagaimana kita menyikapinya: hindari konsumsi berlebihan, batasi produk tinggi GGL (gula, garam, lemak), dan waspadai penggunaan BTP tanpa standar keamanan.

Dunia pangan tidak sesederhana hitam dan putih. Kadang, proses justru adalah jembatan agar kita hidup lebih sehat, aman, dan berdaya.

***

*) Oleh : Cesar Welya Refdi, Mahasiswa S3 Ilmu Pangan IPB University, Dosen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Andalas.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES