Kopi TIMES

Asas Hukum di Era Digital

Kamis, 16 Oktober 2025 - 21:41 | 1.09k
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMESINDONESIA, PADANG – Pagi itu, di ruang sidang maya, layar-layar kecil menampilkan wajah-wajah tegang. Hakim duduk di tengah, dengan latar lambang Garuda. Di sisi lain, pengacara mengetik cepat di laptop, sementara saksi muncul dengan koneksi internet yang tersendat. “Apakah Saudara bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya?” suara hakim bergema melalui jaringan daring.

Inilah potret baru penegakan hukum di Indonesia: digital, cepat, dan serba terhubung. Tapi di balik kemudahan itu, terselip pertanyaan besar: masihkah asas-asas hukum klasik mampu berdiri kokoh di tengah arus teknologi yang menghapus batas ruang dan waktu?

Advertisement

Hukum selalu dibangun di atas asas, yaitu prinsip dasar yang menjadi ruh dari setiap norma dan peraturan. Di antara yang paling tua dan dikenal adalah asas legalitas, yang menegaskan bahwa tak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan yang sudah ada sebelumnya. Dalam dunia analog, asas ini mudah dipahami. Tapi di dunia digital, batasnya mulai kabur.

Ambil contoh cyberbullying atau deepfake pornography. Banyak kasus baru muncul sebelum peraturan spesifiknya tersedia. Polisi, jaksa, dan hakim kerap bekerja di wilayah abu-abu antara kebutuhan menegakkan keadilan dan ketiadaan norma eksplisit.

“Kalau kita menunggu undang-undang, pelaku sudah berpindah ke platform lain,” ujar seorang penyidik siber di Mabes Polri dalam sebuah diskusi daring. “Tapi kalau kita bertindak tanpa dasar hukum jelas, kita justru melanggar asas legalitas.”

Dilema ini memperlihatkan betapa kecepatan dunia digital sering menguji kesabaran hukum. Asas kepastian hukum, yang selama ini menjadi fondasi, kini harus berdialog dengan asas kemanfaatan keadilan yang bisa segera dirasakan oleh masyarakat.

Asas berikutnya yang kini menjadi sorotan adalah asas perlindungan hak asasi manusia, terutama hak atas privasi. Di era data, setiap klik dan unggahan menyisakan jejak digital. Perusahaan, lembaga, bahkan pemerintah, memiliki akses luar biasa terhadap informasi pribadi warganya.

Kasus kebocoran data di lembaga publik dan swasta mengingatkan kita bahwa hukum belum sepenuhnya siap melindungi individu di dunia maya. Meski Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) telah disahkan, implementasinya masih menghadapi tantangan teknis dan etis.

Dalam konteks ini, asas hukum tidak lagi sekadar teks dalam pasal, melainkan kompas moral. Hukum harus menjamin transparansi tanpa melanggar privasi; membuka akses publik tanpa mengorbankan hak individu. Itulah keseimbangan baru yang sedang dicari.

Asas Keadilan di Ruang Siber

Keadilan selalu menjadi inti hukum. Namun di dunia digital, wajah keadilan bisa tampak ironis. Platform media sosial, misalnya, sering menjadi "pengadilan rakyat" yang lebih cepat daripada lembaga hukum. Opini publik dapat menghukum seseorang lebih dulu sebelum proses hukum berjalan.

Di sinilah pentingnya asas praduga tak bersalah sebuah prinsip yang semakin sulit dijaga di tengah budaya viral. Dalam hitungan menit, reputasi seseorang bisa rusak hanya karena potongan video tanpa konteks. Dunia digital memberi ruang bagi partisipasi publik, tapi juga memperbesar risiko kekeliruan massal.

Teknologi, dengan algoritmenya, bahkan bisa “mengadili” tanpa sadar. Sistem kecerdasan buatan yang digunakan dalam seleksi kerja atau prediksi kriminal, jika tidak diawasi, bisa memperkuat bias dan diskriminasi. Hukum ditantang untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya cepat, tapi juga adil bagi semua.

Di tengah derasnya inovasi, asas kejujuran dan itikad baik menjadi fondasi moral yang tak boleh pudar. Dunia maya membuka peluang manipulasi mulai dari plagiarisme berbasis AI hingga rekayasa identitas digital.

Maka, para ahli hukum kini bicara tentang “digital integrity”: sikap etis yang menjunjung kejujuran di ruang siber. Universitas, pengadilan, hingga lembaga pemerintahan mulai menerapkan kebijakan anti-plagiarisme dan kode etik digital. Namun hukum formal hanya bisa berjalan jika masyarakat memegang nilai-nilai moralnya.

Seperti kata almarhum Satjipto Rahardjo, “Hukum yang baik bukan hanya tertulis di undang-undang, tapi hidup di hati nurani manusia.” Di era digital, pernyataan itu terasa makin relevan.

Era digital tidak menghapus asas hukum ia justru menghidupkan kembali urgensi asas-asas itu dalam konteks baru.

Asas legalitas kini berhadapan dengan inovasi yang lebih cepat dari regulasi.

Asas keadilan diuji oleh algoritme dan viralitas.

Asas kepastian hukum ditantang oleh fluiditas data dan globalisasi informasi.

Namun semua itu menegaskan satu hal: asas hukum bukan benda mati. Ia lentur, mampu beradaptasi, dan selalu mencari relevansi dalam setiap zaman.

Ketika teknologi terus berkembang dari kecerdasan buatan hingga metaverse para pembuat hukum dituntut untuk berpikir lebih futuristik. Hukum tidak boleh hanya reaktif, tetapi proaktif dan antisipatif.

Era digital membutuhkan bukan hanya regulasi baru, tetapi juga pembaruan cara berpikir hukum. Sebab di dunia yang serba cepat dan transparan ini, keadilan bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tetapi juga bagaimana menjaga nilai-nilai kemanusiaan di antara barisan kode dan algoritme.

Di situlah tantangan sekaligus keindahan hukum di era digital: menjaga kemanusiaan tetap hidup di tengah mesin.

 

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES