Kopi TIMES

Krisis Empati terhadap Budaya Pesantren

Kamis, 16 Oktober 2025 - 22:33 | 21.10k
Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah derasnya arus opini publik di media sosial, kita kerap menemukan satu fenomena yang berulang: budaya pesantren dikritik habis-habisan oleh mereka yang tak pernah menjejakkan kaki di dalamnya. Pesantren disebut feodal, kiai dianggap otoriter, dan relasi santri-guru dituduh menindas.

Di ruang digital yang dipenuhi suara lantang, keheningan adab menjadi bahan olok-olok. Padahal, sebagaimana pepatah lama mengingatkan, “yang tidak merasakan, tidak akan memahami.”

Advertisement

Memahami pesantren bukan soal membaca narasinya dari luar, melainkan mengalami atmosfernya dari dalam  tempat kesetiaan, kedisiplinan, dan keikhlasan ditempa dengan rasa, bukan teori.

Di era hiperdigital ini, siapa pun bisa berbicara tentang apa pun. Ruang publik terbuka luas, tapi sering tanpa kedalaman. Fenomena kritik terhadap pesantren mencerminkan paradoks itu: niatnya tampak membela kemanusiaan, tapi kerap kehilangan empati kultural.

Banyak yang melihat hierarki antara kiai dan santri sebagai bentuk feodalisme, padahal dalam tradisi keilmuan Islam, ta’dzim (penghormatan) bukan penindasan, melainkan jalan spiritual menuju ilmu. Kiai tidak diposisikan sebagai raja, tetapi sebagai murabbi al-ruh pembimbing jiwa yang menuntun murid bukan hanya dengan kata, tapi juga dengan teladan.

Dunia yang menuhankan egalitarianisme spontan sulit memahami bentuk-bentuk kedisiplinan spiritual yang lahir dari cinta, bukan ketakutan. Maka ketika seorang santri mencium tangan kiai, sebagian orang menganggapnya simbol feodalisme, padahal di dalamnya tersimpan makna yang lebih halus: pengakuan akan sumber ilmu dan rasa syukur atas bimbingan.

Fenomena ini menunjukkan satu hal: kita tengah mengalami krisis empati epistemik-kehilangan kemampuan memahami sesuatu dari dalam perspektifnya sendiri.

Banjir Informasi, Kekeringan Pemahaman

Dalam masyarakat yang dikuasai algoritma, seperti dijelaskan Herbert Simon dalam konsep Attention Economy, kebenaran sering kalah oleh yang paling menarik perhatian.

Kritik terhadap pesantren pun banyak lahir bukan dari penelitian mendalam, tapi dari potongan video viral, pengalaman personal yang diangkat secara parsial, atau generalisasi emosional yang diperkuat media sosial. Inilah zaman ketika satu testimoni bisa menenggelamkan sejarah ratusan tahun.

Padahal pesantren bukan monolit: ia adalah mosaik kebudayaan Islam Nusantara dari Lirboyo, Gontor, Sidogiri, hingga Al-Anwar masing-masing punya sistem nilai dan tradisi yang berkembang sesuai zamannya. Menghakimi pesantren hanya dari satu kasus sama seperti menilai laut dari sebutir garam.

Bagi tradisi Islam, ilmu tidak hanya menyangkut nalar, tapi juga adab. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Pesantren mewarisi prinsip itu secara turun-temurun.

Hubungan antara kiai dan santri bukan relasi kekuasaan, melainkan relasi pendidikan jiwa. Dalam struktur itu memang ada hierarki, tapi hierarki moral, bukan sosial. Kiai dihormati karena keilmuannya, bukan karena kekuasaan.

Pengalaman dan Pemahaman

Empati sejati, seperti dikatakan filsuf Edith Stein, selalu berangkat dari pengalaman. Tanpa merasakan, kita hanya menafsir berdasarkan dugaan. Inilah akar dari gagal paham sosial kita: kita terlalu cepat menilai hal-hal yang tidak kita jalani.

Masyarakat urban menilai kehidupan santri dari video pendek; aktivis luar pesantren menilai relasi kiai-santri tanpa memahami teks-teks klasik yang melandasinya. Dalam epistemologi Islam, memahami tanpa merasakan adalah cacat metode. Sebab ilmu tidak turun lewat bacaan semata, tapi melalui pengalaman ruhani.

Maka mungkin benar kata pepatah sufi: “Yang tidak merasakan, tidak akan memahami; dan yang tidak memahami, akan mudah menghakimi.” Kritik memang perlu  pesantren bukan lembaga suci tanpa cela.

Tapi kritik yang kehilangan empati hanyalah bentuk lain dari arogansi intelektual: merasa tahu tanpa mau memahami. Jika pesantren dituduh feodal karena menjaga adab, maka dunia modern pun layak disebut anarkis karena kehilangan hormat.

Fenomena kritik terhadap pesantren sejatinya menjadi cermin dari krisis empati sosial yang lebih besar. Kita hidup di zaman ketika semua hal bisa dikomentari, tapi sedikit yang benar-benar dipahami. Padahal, bangsa ini dibangun dari warisan lembaga seperti pesantren tempat nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, dan ketulusan dirawat dalam sunyi.

Ketika kita kehilangan empati terhadap pesantren, sesungguhnya kita sedang kehilangan akar kita sendiri. Sebab pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan laboratorium kemanusiaan tempat orang diajari menundukkan diri, sebelum berdebat tentang kebenaran.

Maka, sebelum kita melabeli sesuatu “feodal”, “kolot”, atau “tidak progresif”, barangkali kita perlu menunduk sejenak dan bertanya: apakah saya benar-benar sudah merasakan hidup mereka?

Dalam dunia yang semakin gemar berbicara, kemampuan untuk merasa menjadi kemewahan yang langka. Ketika empati mati, ilmu berubah menjadi alat penghakiman, bukan penerang.

Maka biarlah pesan terakhir ini bergema di antara hiruk-pikuk opini hari ini: Yang tidak merasakan, tidak akan memahami. Dan yang tidak memahami, akan mudah melukai.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES