
TIMESINDONESIA, MALANG – Ada waktu di mana akal sehat mesti berani bicara, ketika prasangka menjadi bahan bakar tayangan. Malam itu, di layar kaca, terpampang sekelompok santri berjalan ngesot menuju seorang kiai sepuh. Gambar itu sunyi tapi gaduh, sunyi oleh adab, gaduh oleh tafsir.
Lalu muncul narasi: “Santri yang ngesot itu memberi amplop.” Seketika publik pun tergiring. Amplop menjadi tanda tanya, kiai menjadi tertuduh, kesalehan tiba-tiba ditimbang dengan harga sarung.
Advertisement
Sebagian netizen menulis dengan nada curiga, “Jangan-jangan dari amplop itu kiai bisa beli mobil miliaran, sarung mahal, rumah megah.” Begitulah, di era digital, kecurigaan bisa lahir dari satu potongan video dan tumbuh seperti semak liar di kepala warganet.
Namun saya ingin bertanya, sebagaimana seorang santri bertanya pada gurunya, dengan rendah hati tapi tajam makna: Apakah adil menyimpulkan kekayaan seseorang dari cara santrinya berjalan?Apakah pantas menuduh seseorang rakus hanya karena ada amplop di tangan muridnya?
Dalam dunia jurnalistik, itu disebut jumping to conclusion melompat dari fakta menuju vonis tanpa jembatan verifikasi. Padahal, sebagaimana pesan kiai kami, “Langkah yang tidak berpijak pada ilmu akan menyesatkan seperti mata yang terbuka dalam gelap.”
Mari kita telusuri pelan-pelan. Kalau pun benar para santri itu membawa amplop, apakah kita tahu isinya? Kalau isinya uang, uang itu untuk apa? SPP? sumbangan pembangunan? sedekah untuk fakir miskin? Dan kalau pun untuk kiai, apakah uang itu cukup untuk membeli mobil mewah atau sarung seharga jutaan?
Begitu banyak kalau yang tak terjawab. Dan justru di sanalah letak kewajiban seorang jurnalis: menelusuri, memverifikasi, lalu mengonfirmasi. Tanpa itu, tayangan bukan lagi jurnalisme melainkan propaganda rasa curiga yang dibungkus estetika.
Verifikasi adalah jantung jurnalistik. Ia ibarat riyadhah dalam ilmu latihan batin untuk menahan diri agar tak tergesa menghakimi. Mengabaikan verifikasi sama dengan menutup mata terhadap kebenaran yang mungkin tak seindah prasangka.
Tayangan itu, sebagaimana dikatakan pihak Trans, dibangun atas “kecurigaan netizen.” Namun apa itu netizen? Apakah ia makhluk maya tanpa bentuk? Tidak. Netizen adalah manusia sungguhan, punya akun, punya jejak, punya kata. Komentarnya bisa dilacak, statusnya bisa dibaca.
Jika memang tayangan itu lahir dari kecurigaan netizen, mestinya tayangan itu menampilkan siapa mereka kutipan statusnya, konteks komentarnya. Tapi tidak. Yang kita lihat hanya potongan gambar, diselipi narasi, dan dijahit oleh suara yang menggiring opini.
Padahal, bahkan sumber resmi sekalipun seorang pejabat, akademisi, atau ustaz masih wajib diverifikasi ucapannya sebelum tayang. Apalagi hanya sekadar “netizen” yang tak disebut namanya, tak jelas konteksnya, tak ada datanya.
Begitulah, ketika verifikasi absen, jurnalisme kehilangan ruh. Tayangan itu menjadi seperti masakan tanpa garam tampak menarik, tapi getir di lidah.
Lebih dari itu, ia menorehkan luka bagi banyak pihak. Nama baik tercoreng, kehormatan direnggut, dan publik kehilangan pegangan antara mana fakta dan mana prasangka.
Sebagai santri, saya tak sedang menutup mata terhadap kemungkinan salah di kalangan kiai. Tidak. Kiai juga manusia, bisa khilaf, bisa tergoda. Tapi tuduhan tidak boleh lahir dari rasa curiga tanpa bukti. Apalagi dari media yang mengaku menjunjung kode etik dan profesionalisme.
Jurnalisme sejatinya adalah jalan mencari kebenaran, bukan arena menanam fitnah. Jurnalis sejati adalah penempuh jalan sunyi menelusuri sumber, menggali data, dan memastikan setiap kata berpijak pada kebenaran. Bukan sekadar pengulang curiga yang viral di kolom komentar.
Dalam pesantren kami, guru sering berkata, “Santri boleh salah paham, tapi tak boleh salah niat. Jurnalis boleh salah kutip, tapi tak boleh salah jalan.”
Saya percaya, kejujuran dan kehati-hatian adalah dua sayap utama ilmu. Tanpanya, dunia akan terus gaduh oleh hoaks, fitnah, dan prasangka yang bersumber dari kemalasan berpikir.
Karena itu, bagi saya, tayangan yang menampilkan santri ngesot lalu mengaitkannya dengan kemewahan kiai bukanlah sekadar kesalahan teknis, tapi bentuk kelalaian etik. Ia mengundang tawa bagi yang tak paham, tapi meneteskan luka bagi yang tahu bagaimana adab seorang santri kepada gurunya.
Santri ngesot bukan tanda tunduk pada uang, tapi tanda takzim pada ilmu. Di hadapan kiai, tubuh boleh rendah, tapi hati sedang tinggi-tinggi oleh cinta, oleh hormat, oleh keinginan untuk mendapat keberkahan. Sayang, kamera tak mampu merekam itu. Ia hanya menangkap gerak, tak menangkap niat.
Maka kepada insan media, mari kembali pada maqam jurnalisme yang sejati. Bukan sekadar cepat tayang, tapi tepat makna. Bukan sekadar viral, tapi bermartabat. Karena di balik setiap gambar, ada manusia yang bisa terluka oleh kalimat yang belum diverifikasi.
Kiai yang dituduh kaya mungkin diam, tapi diamnya bukan tanda salah barangkali itu bentuk sabar, sabar menanti lahirnya kembali akal sehat dalam ruang publik.
Dan kami, para santri, akan terus belajar: bahwa kebenaran tidak selalu bersuara lantang, kadang ia berbisik lirih di antara kesunyian, menunggu siapa yang sudi mendengarkan dengan hati yang jernih.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Santri dan Tokoh Pemuda Peraih Most Valuable Person dalam Anugerah TIMES Indonesia (ATI) Award 2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |