
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Politik luar negeri merupakan cerminan cara pandang, upaya, serta strategi sebuah negara sebagai bagian dari komunitas internasional untuk mencapai apa yang menjadi kepentingan nasionalnya.
Penyelenggaraan politik luar negeri juga merupakan mekanisme koeksistensi sebuah negara untuk meningkatkan pengaruh dan daya saing di level global.
Advertisement
Perjalanan satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran sepanjang 2024-2025 menunjukkan kinerja yang cukup memuaskan dalam mencapai objektif dan esensi dari kebijakan luar negeri Indonesia.
Aktualisasi kebijakan luar negeri sepanjang satu tahun terakhir ini menunjukkan tingkat aktivisme dan pergerakan yang progresif untuk memperkenalkan kembali posisi Indonesia sebagai negara Asia Tenggara yang patut diperhitungkan di kancah regional dan global. Hal ini didukung oleh faktor idiosinkratik dan pemahaman Presiden Prabowo Subianto sendiri yang sangat baik di bidang diplomasi dan geopolitik.
Sebagai pengagum Presiden Soekarno, definisi geopolitik sebagai geografische constellatie, yakni cara pandang bangsa Indonesia tentang diri sendiri dan lingkungannya, benar-benar diaktualisasikan secara aksentuatif di panggung internasional.
Tak lama setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan kehormatan ke berbagai negara, di antaranya Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Peru, Brasil, Inggris, dan beberapa negara di Timur Tengah. Kunjungan ini bukan sekedar visitasi untuk memperkenalkan diri beliau kepada para pemimpin dunia sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan baru di Indonesia.
Lebih jauh dari itu, pesan yang hendak disampaikan kepada komunitas global adalah kesiapan Indonesia untuk proaktif dan kontributif dalam menyelesaikan permasalahan di dunia sebagai mandat konstitusi.
Kunjungan kehormatan tersebut juga membawa pesan lain bahwa Indonesia adaptif terhadap kecenderungan polarisasi antarnegara di tengah geopolitik dunia yang semakin memanas.
Kunjungan ke lima negara plus Timur Tengah tersebut memiliki pemaknaan tersendiri. Kunjungan ke Tiongkok dan AS seolah memberikan kesan bahwa Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menjadi kiblat diplomasi.
Indonesia siap bekerja sama dan merangkul dua kekuatan dunia yang senantiasa bersitegang tersebut. Kunjungan ke Peru dan Brasil membawa pesan bahwa Indonesia siap untuk menjadi pemimpin negara-negara selatan global dalam membangun keseimbangan baru dalam tata ekonomi dan perdagangan internasional.
Sedangkan kunjungan ke Timur Tengah menjadi semacam penegasan bahwa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia siap ambil bagian dalam menciptakan stabilitas Timur Tengah yang tak kunjung berhenti bergejolak.
Gebrakan lain yang ditempuh oleh pemerintahan Prabowo-Gibran adalah ketika Indonesia memutuskan untuk secara ofisial bergabung dengan blok kerja sama BRICS plus, sebuah blok kerja sama ekonomi di antara negara-negara selatan global pada 6 Januari 2025.
Keputusan ini terbilang cukup berani karena berpotensi untuk menciptakan ketegangan dengan kelompok negara-negara maju yang dimotori oleh AS. Secara jangka panjang, keputusan untuk bergabung ini sangat menjanjikan bagi masa depan Indonesia yang berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, terlepas dari dependensi global yang kerap merugikan.
Dari semua langkah diplomatik dan politik luar negeri yang dijalankan, yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana konsisten dan persistennya Presiden Prabowo Subianto di panggung internasional untuk mendukung kemerdekaan dan perdamaian bagi Palestina.
Dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, pada 23 September lalu, atas nama bangsa Indonesia ia lantang menyerukan perdamaian dan kemerdekaan bangsa Palestina. Ia bahkan menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengirimkan pasukan perdamaian dunia, sebuah komitmen diplomatik yang bukan bersifat basa-basi.
Terlepas dari semua capaian yang ada, kebijakan diplomatik dan politik luar negeri pemerintah sepanjang satu tahun ini tentu bukan tanpa celah. Ada beberapa catatan yang tetap harus diperhatikan sebagai pekerjaan rumah ke depan. Upaya Indonesia untuk bergabung dengan OECD perlu dicermati karena potensial kontraproduktif dengan keanggotaan di BRICS.
Selain itu, beberapa kerja sama yang sudah disepakati dengan negara-negara sahabat harus dipastikan dapat terealisasi dalam bentuk investasi langsung yang mendukung program-program strategis nasional pemerintah, utamanya yang bersifat jangka panjang seperti transformasi ekonomi digital, transisi energi, dan ketahanan pangan.
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Analis Kerja Sama Luar Negeri Lemhannas RI 2015-2017 dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |