Kopi TIMES

Pesantren dalam Perdebatan

Minggu, 19 Oktober 2025 - 22:34 | 764
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa hari terakhir, jagat digital kembali gaduh. Tayangan di salah satu stasiun televisi, Trans7, menampilkan potongan narasi tentang santri yang dianggap menyinggung kalangan pesantren. 

Seketika, media sosial meledak. Seruan klarifikasi, potongan video, hingga debat terbuka memenuhi lini masa. Santri, alumni, dan masyarakat pesantren bereaksi: antara marah, kecewa, namun juga ada yang mengajak berpikir jernih. 

Advertisement

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah ruang kultural dengan energi sosial yang hidup dan dinamis.

Perdebatan di ruang digital hari ini sejatinya adalah cermin dialektika panjang antara pesantren, santri, kiai, dan budaya yang membentuk wajah Islam Indonesia. Ia seperti panggung terbuka, di mana tafsir tentang “apa itu santri”, “apa itu pesantren”, dan “apa makna tradisi” terus digugat dan dinegosiasikan ulang. 

Dan uniknya, panggung itu kini bukan lagi di serambi masjid, bukan pula di ruang ngaji malam hari melainkan di layar ponsel, di kolom komentar, di X dan Instagram.

Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah steril dari perdebatan. Sejak abad ke-18, pesantren sudah menjadi arena dialektika antara ajaran langit dan realitas bumi, antara teks dan konteks. Para kiai, sebagai figur otoritas moral dan intelektual, berperan menjaga keseimbangan antara kemurnian ajaran dan kebutuhan zaman. 

Tradisi pesantren tumbuh dengan adagium “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah” memelihara yang baik dari masa lalu, dan mengambil yang lebih baik dari yang baru.

Di era digital, adagium itu diuji. Bukan hanya oleh derasnya arus informasi, tapi juga oleh logika algoritma yang memaksa setiap perdebatan menjadi hitam-putih. 

Diskusi tentang pesantren kini kerap terjebak dalam narasi “defensif”: siapa yang benar menjaga marwah pesantren, siapa yang dianggap merusak citra santri. Padahal, semestinya ruang digital bisa menjadi medan belajar baru bukan sekadar arena saling hujat.

Reaksi keras santri atas isu Trans7 sebenarnya punya alasan sosiologis yang dalam. Pesantren bagi mereka bukan hanya tempat belajar, tetapi ruang membentuk identitas. 

Maka ketika identitas itu disalahpahami, apalagi direduksi menjadi stereotip, rasa luka kolektif muncul. Santri merasa diserang bukan karena hinaan terhadap individu, melainkan karena tersentuh simbol kehormatan: kiai dan pesantren.

Namun di sisi lain, kemarahan yang muncul tanpa refleksi juga bisa menjerumuskan pesantren ke jebakan emosional. Padahal, watak dasar pesantren adalah tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). 

Nilai-nilai ini lahir dari pengalaman panjang pesantren berdialog dengan masyarakat yang beragam, tanpa kehilangan jati diri. Di sinilah tantangan besar muncul: bagaimana menjaga nilai-nilai itu ketika debat bergeser dari ruang halaqah ke ruang digital yang bising dan cepat?

Kiai dalam konteks ini tetap menjadi jangkar moral. Tetapi otoritas kiai di era digital tidak lagi tunggal dan vertikal. Jika dulu suara kiai hanya bisa didengar lewat pengajian atau kitab kuning, kini semua orang bisa “berfatwa” lewat status dan video pendek. Demokratisasi pengetahuan agama di internet membuat wacana keislaman menjadi cair kadang produktif, kadang problematik.

Yang perlu disadari, otoritas tradisional pesantren kini bersanding dengan otoritas digital. Ada ustaz YouTube, dai TikTok, dan komentator agama yang viral. Mereka memiliki panggung dan pengikut yang luas. 

Dalam situasi seperti ini, peran kiai bukan lagi sekadar penjaga teks, tetapi juga kurator konteks menuntun umat agar tidak kehilangan arah dalam derasnya tafsir.

Jika kita menilik lebih dalam, debat yang terjadi antara pesantren dan media seperti Trans7 sesungguhnya bukan semata soal “siapa salah, siapa benar”, melainkan tentang pertarungan narasi. 

Siapa yang berhak mendefinisikan pesantren? Bagaimana pesantren ingin dilihat oleh publik? Dan sejauh mana pesantren membuka diri terhadap interpretasi luar?

Pertanyaan-pertanyaan itu penting karena pesantren kini berada di dua kutub tekanan: antara menjaga tradisi dan menyesuaikan diri dengan zaman. Di satu sisi, ia ingin tetap kokoh sebagai benteng moral dan spiritual. 

Di sisi lain, ia tak bisa menutup mata terhadap transformasi sosial yang menuntut adaptasi. Maka, setiap perdebatan tentang pesantren sebenarnya adalah bentuk proses adaptasi kultural sebuah fase belajar untuk tetap hidup di tengah perubahan.

Yang menggelisahkan hari ini adalah ketika ruang digital tidak lagi memberi kesempatan bagi dialektika. Kritik terhadap pesantren kerap dianggap penghinaan, sementara kritik dari pesantren terhadap masyarakat modern dianggap konservatif. 

Padahal, pesantren tumbuh subur karena ruang perdebatan itu sendiri. Di dalam kitab kuning, para santri diajarkan untuk “ikhtilaf” berbeda pendapat, tapi tetap saling menghormati. Sebuah nilai luhur yang kini justru hilang di ruang digital kita.

Mungkin inilah momentum bagi pesantren untuk kembali menunjukkan kebijaksanaannya. Bahwa marwah pesantren tidak perlu dipertahankan dengan amarah, tetapi dengan akal sehat dan akhlak luhur. 

Santri tidak perlu berlomba menjadi paling benar, cukup menjadi paling beradab. Karena pada akhirnya, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan cermin peradaban yang mengajarkan cara menjadi manusia yang tahu kapan berbicara, kapan diam, dan kapan memaafkan.

Ruang digital boleh gaduh, tetapi nilai-nilai pesantren seharusnya tetap teduh. Jika pesantren mampu berdialektika dengan zaman tanpa kehilangan ruhnya, maka ia tidak hanya akan bertahan tapi memimpin arah peradaban baru. Sebab dari pesantrenlah lahir generasi yang bisa menafsirkan dunia tanpa kehilangan arah ke langit.

 

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES