
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kepercayaan publik terhadap profesi auditor sedang diuji. Dalam beberapa waktu terakhir, muncul berbagai kasus yang menyeret auditor, baik di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Kantor Akuntan Publik (KAP), dalam dugaan pelanggaran etika dan integritas.
Ironisnya, profesi yang seharusnya menjadi penjaga akuntabilitas justru harus menghadapi krisis moral di ruang yang mestinya menjadi simbol kejujuran, meja audit.
Advertisement
Audit bukan hanya persoalan angka atau laporan keuangan. Ia adalah proses moral yang memerlukan integritas tinggi. Auditor diharapkan menjadi pihak independen yang menjaga kebenaran data dan objektivitas temuan. Namun, ketika kepentingan pribadi atau tekanan eksternal mulai menggerus nilai-nilai etis, maka profesi ini kehilangan maknanya.
Kasus-kasus pelanggaran etika di lembaga audit negara maupun Kantor Akuntan Publik menandakan adanya erosi nilai profesionalisme. Di balik laporan yang tampak rapi, sering kali tersembunyi kompromi yang mengaburkan fakta. Ketika auditor mulai menutup mata terhadap kecurangan, kejujuran profesi pun menjadi korban.
Profesi auditor sesungguhnya lahir dari kepercayaan publik. Setiap opini audit yang dikeluarkan membawa konsekuensi besar bagi pemangku kepentingan mulai dari investor, masyarakat, hingga pemerintah. Oleh karena itu, keandalan auditor bukan hanya diukur dari ketepatan prosedur, tetapi dari ketulusan menjaga kebenaran.
Di sinilah pentingnya etika profesi. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) seharusnya menjadi kompas moral dalam setiap langkah auditor. Namun, regulasi tanpa komitmen moral hanyalah formalitas. Etika baru berarti jika dihayati, bukan sekadar dihafal.
Ada beberapa alasan mengapa pelanggaran etika auditor kerap terjadi. Pertama, konflik kepentingan, baik secara finansial maupun politis, sering kali menjerat auditor dalam dilema antara idealisme dan tekanan eksternal.
Kedua, budaya organisasi di sebagian lembaga audit belum sepenuhnya mendukung keberanian bersikap independen. Dalam struktur yang hierarkis, suara kritis auditor muda kerap teredam oleh kepentingan pimpinan.
Ketiga, pengawasan etika masih lemah. Lembaga pengawas profesi lebih fokus pada aspek administratif ketimbang penanaman nilai integritas.
Padahal, dalam audit publik maupun swasta, integritas adalah modal utama. Sekali auditor kehilangan kredibilitas, seluruh hasil audit pun dipertanyakan. Dan yang paling berbahaya, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan negara.
Membangun Kembali Kepercayaan Publik
Mengembalikan kepercayaan publik bukan hal mudah, tapi bukan pula mustahil. Diperlukan reformasi etika dan budaya kerja yang lebih mendalam.
Pertama, lembaga audit perlu memperkuat ethical leadership kepemimpinan yang menanamkan nilai moral di setiap keputusan. Pimpinan lembaga audit harus menjadi teladan, bukan sekadar pengawas.
Kedua, perlu ada mekanisme pelaporan pelanggaran etika (whistleblowing system) yang benar-benar melindungi pelapor dari tekanan internal. Tanpa sistem ini, keberanian moral auditor hanya akan berakhir di ruang sunyi.
Ketiga, pendidikan dan pelatihan auditor harus kembali menekankan dimensi moral dan spiritualitas profesi, bukan hanya kompetensi teknis. Audit bukan sekadar memeriksa angka, tetapi menjaga nurani publik.
Dalam pandangan Islam maupun etika universal, amanah adalah inti dari setiap tanggung jawab profesional. Ketika auditor menandatangani laporan, sejatinya ia sedang bersaksi di hadapan publik dan pada akhirnya, di hadapan Tuhan.
Maka, integritas bukan pilihan, melainkan kewajiban moral yang melekat pada profesi. Etika di meja audit harus kembali menjadi ruh profesi akuntan publik dan lembaga pemeriksa negara. Tanpa itu, laporan keuangan hanya akan menjadi dokumen kosong tanpa makna keadilan.
Kepercayaan publik adalah mata uang utama profesi auditor. Sekali hilang, sulit untuk dikembalikan. Karena itu, langkah pembenahan harus dimulai dari dalam dari kesadaran moral setiap auditor bahwa profesinya bukan sekadar pekerjaan, melainkan pengabdian terhadap kebenaran dan tanggung jawab sosial bangsa.
***
*) Oleh : Dhiya Ulhaq Taufiqurrahman, S.Ak., M.Ak., Ak., CPA., CertDA., Auditor di Kantor Akuntan Publik DSI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |