Pusara Dapur MBG di Meja Suara Wakil Rakyat Marga Mubaroq

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah gegap langkah Presiden Prabowo Subianto menata ulang Program Makan Bergizi Gratis (MBG), ironi itu justru menetes di daerah. Bukan rakyat yang menolak, bukan pula karena dana yang kering, melainkan karena sebagian wakil rakyat sibuk menakar harga diri politik lebih tinggi daripada keselamatan anak-anak bangsa.
Di meja-meja dewan, di mana mestinya nurani bersuara, justru terdengar gema perdebatan yang lebih dekat ke gengsi ketimbang pengabdian.
Advertisement
Presiden sudah berbicara dengan tegas: “Program makan bergizi harus berjalan. Tapi keamanan pangan tidak boleh ditawar. Bila belum memenuhi syarat, hentikan sementara, perbaiki, baru lanjutkan.”
Sebuah kalimat yang seharusnya menjadi kompas moral bagi siapa pun yang mengaku mewakili rakyat. Sebab dalam logika negara, makan bukan hadiah kekuasaan ia adalah hak hidup yang dijamin oleh republik.
Namun gema itu lenyap ketika sampai di kursi DPRD Kabupaten Malang. Di sanalah dua marga bertemu: Zulham Mubaroq dari Fraksi PDI Perjuangan, dan Alayik Mubaroq dari Fraksi Gerindra.
Dua nama yang serumpun, dua darah yang mengalir dari akar yang sama, namun di bawah bendera politik yang berbeda. Ironisnya, bukan ide besar Zulham Mubaroq yang diperdebatkan, melainkan siapa yang pantas menegur, siapa yang dianggap melangkahi lembaga.
Publik gelisah menunggu DPRD bersuara lantang soal dapur MBG yang kabarnya belum memiliki SLHS dan SPPG dokumen dasar untuk memastikan makanan anak sekolah benar-benar aman.
Zulham Mubaroq menyuarakan kegelisahan itu, menunaikan hak konstitusionalnya sebagai pengawas. Tapi suara itu dibalas oleh Alayik Mubaroq bukan dengan argumen tentang keamanan pangan, melainkan dengan sentimen lembaga dan rasa “tidak nyaman” di internal.
Kritik yang mestinya disambut dengan kepala dingin justru dibelokkan ke arah personal. Substansi dikubur, formalitas dipuja. Seolah menanyakan izin dapur adalah dosa politik yang lebih besar daripada memberi makan anak-anak tanpa jaminan kesehatan.
Padahal Zulham Mubaroq tidak bicara soal gengsi, ia bicara soal gizi. Ia tidak memperkarakan kursi, ia memperkarakan nyawa. Dalam politik yang sehat, pertanyaan semacam itu bukan bentuk pemberontakan melainkan cinta yang menegur agar negara tak jatuh ke dalam kelalaian.
Kegelisahan lahir atas keadilan ketika rakyat kecil diminta taat aturan sampai ke soal odol di koper saat perjalanan, foto kopi KTP berjilid-jilid hanya untuk mendirikan warung kopi, sementara untuk satu usaha yang menyangkut masa depan anak-anak bangsa memilih bungkam demi kenyamanan.
Bagi Zulham mereka bukan sedang menjaga stabilitas. Mereka sedang mengkhianati mandat Presiden dan menukar masa depan anak-anak dengan tepuk tangan sesaat.
Teras Keberpihakan
Apa arti duduk di kursi dewan jika substansi dikalahkan oleh sensitivitas politik? Apa makna sumpah jabatan bila suara pengawasan dianggap sebagai gangguan, bukan kewajiban?
Ketika pengawasan dipersoalkan lebih keras daripada substansi yang diawasi, maka sesungguhnya yang sedang diselamatkan bukan rakyat melainkan kenyamanan kekuasaan sesaat.
Di sebuah warung kopi di Kepanjen, dua pemuda berdiskusi setelah membaca dua pernyataan viral dua Mubaroq itu. Satu bertanya lirih, “Bagaimana mungkin kader partai presiden justru melemahkan kritik yang sejalan dengan arahan presiden? Apakah kenyamanan politik kini lebih suci dari keselamatan anak?”
Temannya menatap kosong, menyesap kopi, lalu menjawab pelan: “Mungkin karena kebenaran kini terlalu berisik di ruang kekuasaan.”
Anak-anak itu makan dengan percaya. Mereka tak tahu apa itu SLHS, SPPG, atau legalitas dapur. Mereka hanya tahu: negara sedang memberi makan, pasti aman. Tetapi bila para pemegang mandat lalai, bila dewan terpecah oleh ego dan perasaan tersinggung, siapa yang akan menjaga mereka?
Kita tak boleh menunggu ada anak yang sakit baru berseru, “Kami akan evaluasi.” Karena setiap keterlambatan dalam politik, selalu dibayar dengan penderitaan yang nyata di tubuh rakyat kecil.
Saya tertegun mendengar obrolan dua pemuda itu. Mereka bicara dengan bahasa sederhana, tapi hatinya jernih. Presiden ingin MBG berjalan cepat, tapi juga bersih, aman, dan transparan.
Beliau berkata: “Negara tidak boleh kalah.” Lalu saya bertanya dalam hati, mungkinkah justru DPRD yang berjalan mundur, demi menjaga “kenyamanan politik” yang fana itu?
Suara Kritis Tak Boleh Dipadamkan
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang sudah menegaskan: “Ini bukan soal siapa yang pantas bicara atas nama lembaga, ini soal kesehatan anak-anak. Kalau dapur belum berizin, hentikan sementara. Jangan alihkan isu.”
Sebab sejarah selalu mencatat bukan hanya mereka yang berbuat salah, tapi juga mereka yang diam ketika kebenaran dipanggil. Jika substansi dikubur oleh perasaan, jika pengawasan dikalahkan oleh loyalitas semu, maka itu bukan lagi politik, tapi pengkhianatan moral.
Dan ketika itu terjadi, korban pertamanya bukan pejabat melainkan anak-anak yang makan dengan percaya, tapi ditinggalkan oleh nurani orang dewasa.
Warung kopi mulai sepi. Dua pemuda itu menatap saya dan menutup obrolan mereka dengan doa yang sederhana tapi tajam: “Sesama Marga Mubaroq harusnya satu suara.” Saya menatap mereka, menghela napas panjang, lalu menjawab lirih: “Semoga.”
***
*) Oleh : Abdul Qodir, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang dan Peraih Anugerah Politisi Muda Inspiratif Times Indonesia 2023.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |