Kopi TIMES

Ketahanan Budaya Adat Kaltim di Era Digital

Rabu, 22 Oktober 2025 - 10:39 | 1.53k
Dr. Rina Juwita, S.IP., MHRIR., Akademisi Universitas Mulawarman, Ketua Hibah BIMA Ekologi Komunikasi Kaltim.
Dr. Rina Juwita, S.IP., MHRIR., Akademisi Universitas Mulawarman, Ketua Hibah BIMA Ekologi Komunikasi Kaltim.

TIMESINDONESIA, KALIMANTAN TIMUR – Di Kalimantan Timur, masyarakat adat sedang berdialog dengan zaman. Mereka tak berteriak, tak pula menolak perubahan. Mereka bicara lewat bahasa alam, lewat tarian yang tak sekadar hiburan, lewat ritual yang menautkan manusia dengan semesta. 

Di saat dunia ramai memperebutkan ruang dan identitas, masyarakat adat memilih bertahan dengan cara yang lebih sunyi: menjaga keseimbangan komunikasi antara manusia, budaya, dan alam.

Advertisement

Namun suara mereka sering teredam oleh kebisingan modernitas. Di tengah gemuruh pembangunan dan digitalisasi, banyak pihak menganggap tradisi sebagai masa lalu, bukan masa depan. 

Di balik setiap gerak dan simbol adat, tersimpan logika ekologis yang meneguhkan keberlanjutan hidup. Masyarakat adat memahami sesuatu yang kerap dilupakan modernitas: bahwa kemajuan tanpa keseimbangan adalah kerusakan yang lain bentuknya.

Fenomena yang kini muncul di banyak kampung adat memperlihatkan paradoks. Budaya dijadikan komoditas wisata dijual dalam festival, ditampilkan di panggung, disulap jadi tontonan eksotis. 

Tak salah jika ekonomi menjadi bagian dari strategi bertahan. Namun masalah muncul ketika makna spiritual yang melandasi tradisi itu ikut tergerus. Banyak ritual kehilangan ruang sakralnya karena terlalu sering dipanggungkan untuk dunia luar.

Di sinilah komunikasi menjadi kunci. Bukan komunikasi seremonial yang berhenti pada promosi, melainkan komunikasi reflektif yang mengajak mendengar dan memahami. 

Pemerintah daerah dan pelaku industri wisata perlu menyadari bahwa masyarakat adat bukan sekadar ornamen pembangunan, tapi subjek yang punya hak menentukan cara hidup dan arah kebijakannya sendiri. Tanpa komunikasi yang setara, kebijakan budaya hanya akan menjadi monolog kekuasaan.

Namun harapan tak pernah benar-benar padam. Generasi muda adat kini mulai menemukan suaranya. Mereka menggunakan media sosial bukan untuk meniru, tapi menuturkan ulang identitasnya. 

Lewat video pendek, narasi visual, dan kisah-kisah digital, mereka memperkenalkan adat dengan bahasa zaman. Tradisi menyeberang ke ruang maya, tanpa kehilangan akar di tanahnya. Inilah bentuk baru ketahanan budaya. Bukan sekadar mempertahankan simbol lama, tapi menulis ulang maknanya dalam bahasa yang dipahami generasi baru. 

Di sini, teknologi bukan ancaman, melainkan jembatan. Selama masyarakat adat masih menjadi penulis utama narasinya, tradisi akan tetap hidup, bahkan di ruang digital yang paling bising sekalipun.

Namun, ketika narasi tentang adat dikendalikan pihak luar oleh influencer, agen wisata, atau media komersial yang hanya mengejar visual eksotis ketimpangan kembali terjadi. Masyarakat adat kehilangan kendali atas kisahnya sendiri. Kita perlu mengingat: kedaulatan budaya dimulai dari siapa yang berhak bercerita.

Ekologi komunikasi, jika dipahami secara utuh, bukan teori belaka. Ia adalah cara hidup. Ia menempatkan manusia, budaya, dan alam dalam hubungan saling menjaga. 

Ketika salah satu kehilangan suara, keseimbangan pun goyah. Karena itu, memperkuat kemampuan komunikasi komunitas adat bukan urusan akademik semata, tapi soal keberlanjutan peradaban.

Kalimantan Timur sedang melaju cepat menuju modernitas membangun Ibu Kota Nusantara, membuka industri, dan memperluas ekonomi. Namun di balik derap pembangunan itu, ada suara-suara halus dari hutan, sungai, dan kampung adat yang mengingatkan: kemajuan sejati bukanlah yang meminggirkan tradisi, melainkan yang mampu berdialog dengannya.

Budaya bukan artefak yang dipajang, tetapi napas yang terus tumbuh. Dan masyarakat adat telah menunjukkan caranya bertahan tanpa melawan, berubah tanpa kehilangan arah. Karena sejatinya, ketahanan budaya tidak diukur dari seberapa keras kita menolak perubahan, tetapi seberapa arif kita berkomunikasi di dalamnya.

 

***

*) Oleh : Dr. Rina Juwita, S.IP., MHRIR., Akademisi Universitas Mulawarman, Ketua Hibah BIMA Ekologi Komunikasi Kaltim.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES