Kopi TIMES

Peradaban Santri Masa Depan

Rabu, 22 Oktober 2025 - 11:36 | 840
Tanjudan Sukma Winata, M.Pd. Guru SDN Mojotrisno.
Tanjudan Sukma Winata, M.Pd. Guru SDN Mojotrisno.

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Tanggal 22 Oktober bukan sekadar perayaan seremonial. Ia adalah ruang refleksi tentang makna santri dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia. Setiap kali Hari Santri diperingati, sejatinya kita sedang meneguhkan kembali nilai yang diwariskan pesantren: keikhlasan dalam belajar, kesederhanaan dalam hidup, dan keberanian untuk menjaga moralitas di tengah perubahan zaman.

Kini, kita hidup di masa di mana peradaban digital menjadi panggung utama kehidupan manusia. Di ruang ini, santri tidak lagi hanya dikenal dengan sarung dan sorban, tapi juga dengan gagasan, karya, dan kontribusinya bagi bangsa. 

Advertisement

Santri masa kini adalah simbol keterbukaan: mereka bisa menjadi pendakwah di TikTok, penulis opini di media, desainer aplikasi dakwah, atau penggerak literasi digital. Inilah wajah baru santri Indonesia: berakar kuat pada tradisi, tapi menatap masa depan dengan keberanian.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia sejatinya telah lama menjadi benteng kebudayaan lokal dan moralitas nasional. Dari pesantren, lahir cara berpikir yang khas: inklusif, santun, dan adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan jati diri. 

Tradisi tahlilan, manaqiban, hingga ngaji kitab kuning bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan cara menjaga memori sosial dan spiritual umat. Nilai-nilai ini yang membedakan pesantren dari sekadar lembaga pendidikan: ia adalah ruang lahirnya karakter, bukan sekadar tempat belajar teks.

Di Hari Santri 2025 ini, nilai-nilai pesantren justru menemukan panggung baru di dunia digital. Media sosial kini menjadi mimbar dakwah yang luas. Banyak santri muda menggunakan Instagram, YouTube, dan X (Twitter) untuk menyebarkan hikmah, menulis refleksi keislaman, atau mengajarkan ilmu dengan gaya kekinian. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa dakwah tak lagi identik dengan mimbar dan kitab, tapi juga dengan kamera dan algoritma. Santri bertransformasi menjadi digital preacher pendakwah yang menyalakan obor nilai Islam rahmatan lil ‘alamin di ruang maya.

Namun di balik peluang itu, tantangan besar juga mengintai. Arus informasi yang tanpa batas telah menciptakan kekacauan nilai: antara yang haq dan batil, yang ilmiah dan hoaks, yang moral dan pragmatis. 

Dalam situasi seperti ini, santri harus tampil sebagai penyeimbang peradaban, bukan sekadar pengikut tren digital. Ia harus mampu memadukan kecerdasan spiritual dan intelektual untuk menghadirkan Islam yang menyejukkan dan mencerahkan.

Santri masa depan tidak cukup hanya fasih membaca kitab, tetapi juga harus mampu membaca zaman. Pesantren harus menjadi pusat inovasi moral dan intelektual, tempat di mana tradisi dan teknologi saling menguatkan. 

Banyak pesantren kini mulai membuka diri pada pembelajaran sains, teknologi, ekonomi kreatif, dan kewirausahaan berbasis nilai-nilai Islam. Langkah ini bukan sekadar adaptasi, tetapi bagian dari visi besar membangun peradaban santri yang berdaya saing global.

Bayangkan pesantren dengan laboratorium digital, tempat para santri belajar membuat aplikasi dakwah, riset ekonomi syariah, hingga menciptakan produk kreatif Islami. Bayangkan pondok yang melahirkan ilmuwan sekaligus ulama, teknolog sekaligus mufassir. Semua itu bukan mimpi jauh. 

Di berbagai daerah, banyak pesantren telah memulainya. Mereka membuktikan bahwa modernitas dan spiritualitas bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua kaki yang berjalan menuju tujuan yang sama: kemajuan yang berakhlak.

Di tengah krisis moral yang melanda sebagian generasi muda, pesantren justru menjadi oase keteladanan. Di sana, disiplin dan kejujuran bukan sekadar slogan, tapi napas keseharian. 

Kesederhanaan bukan simbol kemiskinan, melainkan bentuk kemerdekaan dari keserakahan. Nilai-nilai inilah yang menjadi modal sosial terbesar bangsa, sesuatu yang sering hilang dalam hiruk pikuk modernitas.

Peradaban santri masa depan harus dibangun di atas tiga pilar utama: akhlak, ilmu, dan budaya. Akhlak menjadi fondasi moral yang menuntun setiap langkah. Ilmu menjadi jalan untuk membuka pintu kemajuan. 

Dan budaya menjadi ruang untuk menjaga identitas serta memperkaya kebijaksanaan lokal. Ketiganya saling melengkapi seperti halnya hubungan antara guru, santri, dan kitab di ruang ngaji yang tak lekang oleh waktu.

Hari Santri Nasional 2025 sejatinya bukan hanya milik para santri, tetapi milik seluruh bangsa. Sebab dalam nilai-nilai pesantren, kita menemukan cermin jati diri Indonesia: beriman, berilmu, dan beradab. 

Ketika dunia terjebak pada kompetisi tanpa moral, pesantren mengajarkan pentingnya kolaborasi yang beradab. Ketika modernitas melahirkan keterasingan, pesantren menghadirkan kembali makna kebersamaan.

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah berpesan, “Cintailah tanah airmu, karena sebagian dari iman.” Pesan itu kini menemukan relevansi baru: mencintai Indonesia berarti ikut menjaga akhlak bangsanya. Dan di sanalah peran santri sejati diuji bukan sekadar dalam hafalan ayat, tapi dalam tindakan nyata di tengah masyarakat.

Santri masa depan adalah mereka yang berani berpikir terbuka tanpa kehilangan keyakinan, yang pandai berinovasi tanpa kehilangan adab, dan yang terus berjuang tanpa kehilangan keikhlasan. Dari pesantren, lahir peradaban. Dari santri, lahir masa depan.

Mari jadikan Hari Santri Nasional 2025 bukan sekadar peringatan, tapi gerakan moral. Untuk melahirkan generasi santri yang berilmu, berbudaya, dan berperadaban.

 

***

*) Oleh : Tanjudan Sukma Winata, M.Pd. Guru SDN Mojotrisno.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES