Kopi TIMES

Pesantren: Merawat Tradisi Pendidikan Sepanjang Zaman

Kamis, 23 Oktober 2025 - 13:30 | 962
M. Dwi Sugiarto, Ketua Umum HMI FISIP UNDIP 2014-2015, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah dan KAHMI Boyolali.
M. Dwi Sugiarto, Ketua Umum HMI FISIP UNDIP 2014-2015, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah dan KAHMI Boyolali.

TIMESINDONESIA, BOYOLALI – Bulan Oktober dapat dikatakan sebagai bulan santri, mengingat sejak 2015 pemerintah menetapkan adanya Hari Santri Nasional setiap tanggal 22. Hari Santri Nasional ditetapkan sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi santri atas kiprahnya dalam mengisi ruang sosial masyarakat Indonesia. 

Tanggal 22 Oktober ini merujuk pada sejarah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 yang menyerukan agar umat Islam Indonesia berperang mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh tentara sekutu. Kiprah santri sendiri telah tampak sejak lama, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.

Advertisement

Sebutan santri sendiri awalnya merujuk pada status pelajar yang mendalami ilmu agama Islam di tempat pendidikan bernama pesantren. Para santri tinggal mukim di pesantren atau tempat kedudukan kiai yang merupakan pengasuh dari pesantren itu sendiri. 

Selain pelajaran agama Islam, santri diajari ilmu kehidupan sebagai bekal nantinya berkecimpung di tengah masyarakat. Keterampilan diri seperti mengelola lahan pesantren, membangun tempat tinggal untuk mukim, dan sebagainya dilakukan oleh santri sebagai bagian proses belajar di pesantren.

Seiring perkembangan waktu terminologi santri sebenarnya dapat juga ditafsirkan lebih luas, tetapi tetap berkaitan dengan mempelajari agama Islam. Santri dapat juga sebenarnya dilekatkan pada seseorang yang belajar pada kiai atau ulama tanpa harus tinggal di pesantren, misalnya melalui pengajian. 

Dapat pula dilekatkan pada aktivis organisasi Islam yang bergerak dalam mempelajari dan mengembangkan ajaran Islam. Meskipun demikian pesantren tetap menjadi rujukan utama dalam melihat awal mula lahirnya santri.

Pendidikan pesantren memberikan pengetahuan yang kompleks kepada santri, bukan sekedar mempelajari keilmuan tertentu di ruang kelas, tetapi juga mempelajari ilmu kehidupan. Santri dilatih agar nantinya siap menjadi bagian kehidupan di masyarakat dengan menjadi teladan baik ditengah-tengahnya. Beban sosial santri atau alumni pesantren melekat sepanjang zaman. Sehingga tidak jarang labelling terhadap santri sangat kuat dan bernada positif.

Dalam kehidupan pesantren kesantunan menjadi tradisi yang dijaga dengan baik, hubungan antar santri, santri dengan kiai, maupun santri dengan lingkungan. Aktivitas santri sepanjang hari selama 24 jam dilakukan di pesantren dilakukan untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan. 

Tipologi pesantren dikenal pula dengan pesantren modern yang menggabungkan pendidikan formal kurikulum nasional, serta pesantren salaf atau dikenal dengan pesantren tradisional yang secara fokus mengajarkan kitab-kitab klasik atau kitab kuning dan identik dengan sistem pendidikan yang lebih konservatif. 

Relasi Kiai dan Santri 

Hubungan kiai dan santri berlangsung sepanjang zaman dengan jalinan bahwa santri membutuhkan nasehat-nasehat dari kiai. Bahkan berbagai muara persoalan yang dihadapi santri ketika tidak menemukan jawabannya akan menghadap dan meminta nasehat kiai. 

Langkah yang dilakukan santri ini bukan sekedar seseorang yang meminta solusi pada orang lain, tetapi menjadi bagian interaksi pesantren yang melibatkan santri dan kiai, sebab kiai dianggap sebagai sosok yang memiliki keluhuran nilai dalam memilih dan memilah suatu masalah dengan bijak.

Sikap hormat santri terhadap kiai dalam tradisi pesantren menjadi syarat utama berlangsungnya proses pendidikan. Santri menjadi pihak inferior dihadapan kiai yang sadar akan kedudukan dan kebutuhannya terhadap ilmu. 

Kesadaran akan ketidakberdayaan atas ilmu itulah yang mendorong santri menempuh jalur kehidupan di pesantren dengan menempatkan kiai sebagai sumbernya. Dengan kesiapan yang sadar akan ketidaktahuan akan suatu ilmu inilah yang di dalam pesantren disebut dengan sikap Tawadhu, sehingga mudah menerima ilmu yang diberikan oleh kiai.

Perilaku santri dalam menunjukkan rasa hormat terhadap kiai bermacam-macam caranya. Tetapi yang perlu diingat bahwa dalam proses belajar di pendidikan modern sekalipun rasa hormat terhadap ilmu, kedisiplinan, dan ketenangan diri menjadi bagian penting berhasilnya proses pendidikan. 

Bagaimana pendidikan dapat berhasil jika pelajar tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya tidak lebih pintar dari gurunya, jika ia merasa lebih pintar tentu tidak ada gunanya ia belajar pada guru tersebut.

Santri ketika sadar dengan kebodohannya memudahkan berbagai ilmu yang disampaikan kiai mudah diterima. Demikian pula dengan kiai ketika melihat santri yang tenang, disiplin, tidak membantah, tidak sombong, akan mudah menyampaikan pesan keilmuan yang diberikan. 

Senangnya kiai terhadap sikap santri ini dalam bahasa pesantren disebut 'berkah kiai', artinya kiai ridho ilmunya masuk kepada santrinya tersebut. Dalam pendidikan modern pun ketika guru yang menghadapi siswa sombong, keras kepala, suka membantah, dan sebagainya tentu tidak akan tenang dan nyaman memberikan ilmunya, sehingga akan sulit ilmu yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh muridnya.

Tantangan Pendidikan 

Pesantren menjadi bagian penting dalam sejarah panjang pola pendidikan di Indonesia. Tradisi pengajaran yang dilakukan di pesantren mampu bertahan ratusan tahun dengan pusat pendidikan ada di figur kiai. 

Kiai menjadi sumber keilmuan yang ada di pesantren dalam berbagai bidang yang sudah berlangsung sekian lama. Kiai berperan terhadap beberapa hal dalam kehidupan santri, pertama sebagai pengasuh terhadap tingkah polah santri dalam perilaku kehidupannya. 

Kedua sebagai pendidik yang memberi ilmu pengetahuan terhadap pengetahuan intelektual terutama di bidang agama Islam. 

Ketiga sebagai pembimbing penunjuk arah, yaitu kiai senantiasa memberikan nasehat tentang berbagai persoalan yang ada, termasuk ketika santri sudah selesai mondok (tinggal di pesantren).

Kritik terhadap proses pendidikan di pesantren menunjukkan bagaimana ketidakpahaman pihak tertentu tentang isi pesantren. Sejak lama pesantren menerapkan sistem pendidikan dengan tidak hanya fokus pada ilmu, tetapi juga sikap mencari berkah. 

Hal ini yang tidak dipahami banyak orang sehingga melihat sisi luaran pesantren sebagai tempat belajar layaknya sekolah. Rasa kepemilikan santri terhadap pesantren dan kiai sangatlah tinggi, sebab ada perasaan keterlibatan dalam menjaga pesantren hingga kapanpun.

Konsep pesantren berbeda dengan pendidikan umum, keunikan pesantren bahkan terlihat dari tidak adanya lembaga pesantren yang dimiliki pemerintah, sebab memang konsep pesantren adalah santri datang ke tempat tinggal kiai yaitu pesantren. Meskipun ada sekolah berkonsep asrama dengan adanya pendidikan agama Islam tetapi tetap saja berbeda dengan pesantren. 

Sederhananya adalah tanpa kiai tidak ada pesantren, karena pesantren bukan semata ruang bangunan pendidikan, tetapi tempat melakukan aktivitas pendidikan yang mana aktivitas pendidikan berupa belajar dapat dilakukan dimanapun.

Kuatnya pendidikan pesantren hingga menjadi budaya adalah tradisi yang ada di dalamnya. Tidak sepantasnya pihak lain memberi penilaian sedangkan yang terlibat di dalamnya tidak berkeberatan. 

Pesantren adalah ruang yang memiliki tata aturan dan kebiasaan yang berlaku pada yang ada di dalamnya dan melibatkan diri atasnya, sedangkan yang tidak ada di dalamnya dan enggan melibatkan diri atasanya tentu tidak terikat aturan dan kebiasaannya.

Santri menyandarkan dirinya pada kehidupan pesantren tentu telah siap dengan konsekuensi dalam proses belajar di dalamnya. Maka penting bagi orang tua santri yang kecewa dengan pesantren agar memilihkan pesantren yang sesuai dengan pola pengajaran yang diharapkan, atau jika hanya berkeinginan anaknya tinggal di pesantren tetapi tidak dengan pola pendidikannya, maka lebih baik di asramakan bukan dipesantrenkan. 

Pesantren sendiri bukan tempat tanpa kesalahan, bukan tempat yang sempurna, tetapi pesantren adalah salah satu tempat pengajaran yang mendidik untuk kehidupan. Program pendidikan pesantren semakin maju dan beragam dengan tidak meninggalkan jatidiri pendidikan pesantren.

Sekali lagi bekal kehidupan yang diperoleh santri selama di pesantren merujuk pada kiai sebagai pengasuh. Kiai bukan hanya sekedar pendidik dalam suatu bidang ilmu, tetapi lebih kompleks lagi termasuk pada pendekatan kehidupan. 

Sosok kiai dengan segala atribut yang dimiliki menjadi panutan para santri. Sehingga marwah dan kehormatan kiai bagi kalangan santri bukan sesuatu yang sepele, hal yang berbeda mungkin bagi pelajar yang bukan santri yang menilai hubungan dengan guru menjadi berakhir ketika proses pendidikan selesai. 

Padahal sampai kapanpun seseorang yang memberikan ilmu pada kita adalah orang yang berjasa dan mulia, maka hormati dan jaga para kiai, guru, dosen, dan sebagainya. Dan itulah karakter santri yang senantiasa menghormati orang yang memberikan ilmu padanya.

Selamat Hari Santri. Tetaplah membumi, karena di langit ada masanya.

***

*) Oleh : M. Dwi Sugiarto, Ketua Umum HMI FISIP UNDIP 2014-2015, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah dan KAHMI Boyolali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES