
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Abu Nawas berjalan di pasar, menatap ke dalam topinya, lalu tersenyum bahagia. Orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya, “Apa yang kamu lihat di dalam topimu?” Abu Nawas menjawab, “Aku melihat surga yang indah dengan bidadari-bidadari cantik.” Orang-orang penasaran dan ingin melihatnya, namun Abu Nawas memperingatkan, “Hanya orang beriman dan saleh yang bisa melihatnya.”
Satu per satu, orang mencoba melihat ke dalam topi Abu Nawas. Ada yang mengaku melihat surga dan bidadari, namun ada pula yang tidak melihat apa-apa. Mereka yang tidak melihat merasa tertipu dan akhirnya melapor kepada Khalifah Harun Al-Rasyid.
Advertisement
Ketika dipanggil Khalifah, Abu Nawas tetap tenang. Ia berkata, “Benar, aku melihat surga di dalam topiku, tetapi hanya orang beriman yang dapat melihatnya.”
Khalifah yang penasaran ingin membuktikan sendiri. Setelah menatap ke dalam topi, ia tidak melihat apa pun. Namun karena takut dianggap tidak beriman, ia pun berseru, “Benar! Aku melihat surga dan bidadari di dalam topimu.”
Rakyat yang menyaksikan reaksi Khalifah pun diam seribu bahasa. Tak seorang pun berani membantah Abu Nawas. Mereka takut dianggap tidak beriman atau menentang otoritas.
Abu Nawas tersenyum dalam hati, menyadari bahwa ketakutan dan gengsi dapat membuat manusia mempercayai kebohongan.
Kisah Abu Nawas ini menyimpan banyak hikmah yang relevan dengan kehidupan kita saat ini. Terutama dalam menghadapi zaman yang penuh dengan kepalsuan dan manipulasi, kisah Abu Nawas memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kejujuran, integritas, dan kecerdasan yang digunakan untuk kebaikan.
Kisah ini juga menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan. Khalifah Harun Al-Rasyid, yang seharusnya menjadi pemimpin adil, terjebak dalam permainan Abu Nawas karena gengsi dan takut dianggap tidak beriman. Hal Ini menjadi pengingat agar kita selalu kritis terhadap kekuasaan dan tidak membiarkannya disalahgunakan.
Ketakutan dan gengsi seringkali menjadi penghalang bagi manusia untuk bertindak jujur. Banyak orang yang mengaku “melihat surga” dan bidadari hanya karena takut dianggap tidak beriman atau tidak sejalan dengan norma sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu berani menjadi diri sendiri dan tidak takut untuk mengatakan kebenaran.
Kisah Abu Nawas juga mengajarkan kita tentang pentingnya kejujuran dan integritas. Meskipun Abu Nawas mungkin dianggap licik oleh sebagian orang, dia berhasil menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak jujur dan hanya memikirkan kepentingan pribadi. Kita harus selalu berusaha untuk menjadi orang yang jujur dan memiliki integritas, meskipun terkadang sulit.
Di era digital sekarang, kita pun harus waspada terhadap banjir informasi. Trik sederhana Abu Nawas menunjukkan betapa mudahnya manusia termanipulasi. Karena itu, kita perlu berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah setiap informasi.
Kisah ini juga mengajarkan bahwa kecerdasan dan kreativitas bisa digunakan untuk kebaikan maupun keburukan. Tugas kita adalah memanfaatkannya untuk kemajuan dan kemaslahatan bersama.
Di tengah dunia yang sarat kepalsuan dan manipulasi saat ini, mari kita tetap waspada dan kritis. Jangan mudah percaya pada informasi tanpa sumber jelas, dan jangan takut menyuarakan kebenaran. Dengan kejujuran, integritas, dan kecerdasan yang digunakan secara positif, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Kisah Abu Nawas memang sangat populer di kalangan santri pondok pesantren. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi para santri untuk menjadi generasi yang lebih lebih kritis, berintegritas dan siap menghadapai tantangan zaman.
Selamat Hari Santri Nasional. Semoga kita semua dapat menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan dan kemajuan bagi masyarakat. (*)
***
*) Oleh : Shabarudin, SH., M.H., Penulis dan Pengamat Sosial-Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |