Feodalisme Lahir dari Barat, Tadzim Tumbuh di Pesantren

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Peringatan Hari Santri Nasional tahun 2025 kembali menggugah diskursus lama tentang relasi kiai dan santri. Di tengah riuh perbincangan publik, isu “neo-feodalisme pesantren” kembali mencuat, terutama pascakasus pemberitaan salah satu media televisi nasional yang menyorot relasi kiai-santri dengan nada bias.
Tudingan bahwa pesantren masih memelihara praktik feodal menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih gagal memahami akar epistemologis dan historis tradisi pesantren itu sendiri.
Advertisement
Padahal, jika dikaji lebih dalam, feodalisme dan ta’dzim (penghormatan) tumbuh dari akar budaya dan nilai yang sama sekali berbeda. Feodalisme lahir dari Barat, dari struktur sosial yang menindas dan menutup ruang mobilitas rakyat.
Sedangkan ta’dzim di pesantren lahir dari kesadaran spiritual dan penghargaan terhadap ilmu. Menyamakan keduanya bukan hanya keliru secara konsep, tetapi juga mengabaikan ruh pendidikan Islam yang menjunjung tinggi adab dan keikhlasan.
Secara historis, feodalisme merupakan sistem sosial-politik yang berkembang di Eropa abad pertengahan. Kata feodum atau fief (Bloch, 1961) merujuk pada kepemilikan tanah warisan oleh bangsawan yang memiliki kuasa penuh atas rakyat di bawahnya.
Dalam sistem ini, lahir relasi vertikal yang eksploitatif rakyat bekerja tanpa hak kepemilikan, sementara kekuasaan diwariskan melalui garis keturunan. Anderson (1974) menggambarkan feodalisme sebagai sumber ketimpangan sosial yang menghalangi kemajuan manusia karena menempatkan status di atas kompetensi.
Berbeda dengan itu, pesantren justru dibangun di atas fondasi moral dan spiritual. Hubungan kiai-santri tidak lahir dari relasi kuasa, tetapi dari relasi ilmu dan adab. Dalam khazanah Islam klasik, penghormatan terhadap guru disebut adab al-‘ilm, sebagaimana diuraikan oleh Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Santri diajarkan untuk tidak sekadar memahami ilmu secara intelektual, tetapi juga secara moral dan spiritual: menjaga sopan santun, mendengarkan dengan penuh hormat, dan menjaga hati agar bersih dari kesombongan.
Etika seperti mencium tangan kiai, tidak menyela ketika beliau berbicara, atau berjalan di belakang guru bukanlah simbol ketakutan sebagaimana dalam sistem feodal, tetapi manifestasi kesadaran batin bahwa ilmu tidak bisa dipisahkan dari adab. Barakah ilmu diyakini lahir dari sikap hormat terhadap penyampainya.
Pesantren bahkan tidak mengenal hierarki kelas sosial sebagaimana dalam feodalisme Barat. Struktur sosialnya bersifat paternalistik, bukan otoriter. Kiai berperan sebagai murabbi pembimbing spiritual yang membentuk karakter melalui teladan, bukan kekuasaan.
Seperti diungkapkan Dhofier (2011), kepemimpinan kiai berakar pada keteladanan moral, bukan dominasi material. Banyak kiai hidup sederhana, membuka akses pendidikan untuk siapa pun, dan berjuang tanpa pamrih demi kemaslahatan umat.
Dengan demikian, penghormatan santri kepada kiai sejatinya bukan bentuk ketundukan sosial, melainkan ekspresi cinta terhadap ilmu dan pengakuan atas otoritas moral.
Pesantren tidak menumbuhkan feodalisme, tetapi membangun kesetaraan dalam bingkai spiritualitas. Di pesantren, siapa pun anak petani, nelayan, atau pedagang punya kesempatan yang sama untuk menjadi ulama, asalkan berilmu dan berakhlak.
Ironisnya, pandangan sebagian kalangan modern terhadap pesantren sering kali terjebak dalam kacamata materialistik. Mereka menilai relasi kiai-santri dengan logika kuasa Barat yang menempatkan otoritas sebagai bentuk dominasi.
Padahal, pesantren telah berabad-abad menjadi lembaga yang justru membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tanpa pernah menindas atau menutup ruang kritik.
Di tengah modernisasi pendidikan, nilai ta’dzim justru menjadi penyeimbang penting. Pendidikan modern sering menekankan kecerdasan kognitif, tetapi mengabaikan dimensi moral dan spiritual.
Pesantren hadir mengingatkan bahwa kecerdasan tanpa adab hanya melahirkan generasi yang cerdas tetapi kehilangan arah. Di sinilah ta’dzim menjadi benteng etis yang menjaga keberlanjutan peradaban ilmu.
Feodalisme lahir dari sistem sosial yang memuja status dan kekuasaan; ta’dzim tumbuh dari nilai adab dan kerendahan hati. Feodalisme menindas; ta’dzim mendidik. Feodalisme memisahkan manusia berdasarkan kelas; ta’dzim menyatukan manusia dalam kesetaraan ilmu.
Melabeli tradisi penghormatan di pesantren sebagai bentuk feodalisme bukan saja keliru, tetapi juga menyesatkan cara berpikir. Pesantren adalah ruang di mana kemanusiaan dimuliakan melalui ilmu, bukan dipisahkan oleh kekuasaan.
Dalam konteks pendidikan modern, nilai adab pesantren seharusnya menjadi model pendidikan karakter bangsa bahwa pengetahuan sejati selalu beriringan dengan penghormatan kepada guru, kebijaksanaan, dan cinta terhadap sesama.
***
*) Oleh : Sutriyono, S.Ag., M.M., Mahasiswa S3 Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo dan Ketua STIS Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |