
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Taggal 22 Oktober bukan sekadar ritual penuh sarung dan sorban. Ia lahir dari sejarah panjang jihad moral dan spiritual. Saat santri menolak tunduk pada penjajahan, bukan hanya dengan senjata, tapi dengan nilai.
Hari santri adalah pengingat bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak lahir dari kekuatan fisik semata, melainkan dari kekuatan akhlak.
Advertisement
Tapi hari ini, peringatan peringatan itu sering terasa hampa makna. Sementara jutaan santri berbaris membawa panji hijau, bangsa ini justru berjalan pincang tanpa arah moral. Orang berilmu sibuk membenarkan, bukan membaikkan. Agama jadi bahan pamer, bukan pembentuk karakter. Kita hidup di zaman di mana ilmu berlimpah, tapi adab menipis.
Dan lebih ironis lagi, pesantren yang menjadi benteng adab bangsa, kini ikut diterpa badai krisis keteladanan. Bukan hanya karena sebagian warganya lalai menjaga nilai, tetapi juga karena citra pesantren kini diguncang oleh pemberitaan yang menyakitkan.
Baru-baru ini, sebuah tayangan di televisi nasional menggambarkan pesantren sebagai ruang feodal, dengan kiai yang dzalim terhadap santri. Narasi seperti ini menyulut kontroversi luas. Sebagian menilai itu kritik yang perlu didengar, sebagian lain menilai media telah menginjak martabat lembaga yang berabad-abad menjadi penjaga moral bangsa.
Namun di balik kontroversi itu, ada kenyataan yang tidak bisa kita bantah. Ada sebagian kecil kiai yang memang menyimpang dari laku keulamaan. Ada yang menjadikan karisma spiritual sebagai alat kuasa. Ada yang menutup-nutupi kezaliman atas nama “ta’dzim”. Ada pula yang menjadikan pesantren sebagai arena pengabdian tanpa penghormatan.
Lebih tragis lagi, ketika kekerasan atau pelecehan terjadi di ruang yang seharusnya menjadi taman ilmu, suara santri justru dibungkam dengan dogma “durhaka pada guru.”
Kita perlu jujur bahwa ini bukan soal membenci kiai, melainkan mencintai pesantren dengan cara yang benar. Sebab jika dibiarkan, penyimpangan moral segelintir orang akan menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga yang selama berabad-abad menjadi mercusuar akhlak bangsa.
Kasus ini menjadi titik refleksi penting. Ia membuka dua kenyataan yang sama-sama getir. Karena pada kenyataannya, sebagian kiai memang lupa diri, dan sebagian masyarakat lupa menghormati. Dua-duanya lahir dari akar yang sama, yakni hilangnya adab.
Maka dari itu, Hari Santri seharusnya tidak sekadar perayaan simbolik, tapi momentum untuk menimbang kembali: di mana posisi santri di tengah krisis moral, polarisasi sosial, dan erosi kepercayaan publik hari ini?
Ketika Adab Ditinggalkan, Ilmu Kehilangan Cahaya
Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam Al-Muwaththa’ menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Salah satu riwayat menyebutkan: “Pelajarilah adab sebelum ilmu.” (Al-Muwaththa’, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1985).
Ungkapan itu adalah fondasi pesantren: bahwa ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan. Tetapi di era digital hari ini, adab menjadi barang langka.
Media sosial menjadikan banyak orang merasa berhak bicara apapun tanpa pertimbangan moral. Termasuk sebagian santri dan kiai muda yang tampil di ruang publik bukan lagi untuk menebar hikmah, tetapi membangun popularitas.
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (1911) menulis: “Sesungguhnya kebinasaan ilmu disebabkan hilangnya adab antara murid dan guru.”
Beliau memperingatkan bahwa ketika murid tidak lagi menaruh hormat, dan guru kehilangan keteladanan, maka ilmu akan menjadi sumber fitnah, bukan rahmat. Di sinilah krisis keteladanan menemukan bentuk paling nyata.
Santri yang seharusnya menjadi waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) justru kadang terjebak dalam perebutan pengaruh, menjadi buzzer agama, atau sibuk mengutip ayat tanpa menghidupkan maknanya.
Sementara itu, sebagian kiai yang dulu menjadi figur zuhud dan independen, kini terjerat politik praktis, memecah umat demi kepentingan kuasa. Padahal, sejarah menunjukkan pesantren lahir sebagai ruang perlawanan spiritual terhadap kerakusan kekuasaan.
Di masa kolonial, para kiai tidak berjuang demi kursi, tapi demi kehormatan bangsa. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim, dan ribuan santri tidak pernah menukar keilmuan dengan kekuasaan. Mereka mengajarkan bahwa kekuatan moral lebih tinggi daripada otoritas politik.
Namun, kini sebagian keteladanan itu memudar, tergantikan oleh ambisi duniawi dan loyalitas yang berpindah dari Allah kepada algoritma.
Pesantren di Persimpangan
Kritik terhadap pesantren bukanlah bentuk kebencian, melainkan cermin kasih sayang agar lembaga ini tidak kehilangan arah. Namun, cara kritik itu disampaikan sering kali menentukan dampaknya.
Liputan salah satu televisi nasional yang menyorot kekerasan di pesantren memantik perdebatan publik. Ada yang menilai itu bentuk keberanian media membongkar realitas, tapi ada pula yang menilai cara penyajiannya bias dan menggeneralisasi.
Dan yang kita perlu ambil adalah jalan tengah: mengakui luka tanpa menafikan jasa. Tidak semua pesantren salah, tapi juga tidak semua bersih dari penyimpangan.
Data Komnas Perempuan 2023 mencatat, dari 2.500 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, sekitar 15 persen terjadi di lembaga berbasis keagamaan, termasuk sebagian pesantren.
Angka ini bukan untuk menuding, tapi untuk mengingatkan bahwa ruang spiritual pun tidak kebal dari potensi penyimpangan jika tidak ada mekanisme transparansi dan akuntabilitas.
KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Pustaka Firdaus, 1999) mengingatkan,
“Menutup keburukan tokoh agama demi menjaga nama baik umat hanyalah menunda kehancuran moral.” Kiai sejati bukan yang tak pernah salah, tetapi yang berani memperbaiki diri ketika salah.
Pesantren harus menjadi pelopor etika, bukan pengecualian dari hukum moral. Membela kiai yang zalim atas nama ta’dzim bukan bentuk cinta, melainkan bentuk penghancuran dari dalam. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Pustaka Firdaus, 1999).
“Menutup keburukan tokoh agama demi menjaga nama baik umat hanyalah menunda kehancuran moral.” Kiai sejati bukan yang tak pernah salah, tetapi yang berani memperbaiki diri ketika salah.
Pesantren harus menjadi pelopor etika, bukan pengecualian dari hukum moral. Membela kiai yang zalim atas nama ta’dzim bukan bentuk cinta, melainkan bentuk penghancuran dari dalam.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah; sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," (QS. Al-Mā’idah [5]: 8).
Maka, momentum Hari Santri adalah saat terbaik untuk membersihkan luka dari dalam. Dengan reformasi etik, perlindungan santri, dan keberanian mengakui salah tanpa merasa hina. Pesantren harus berani menegakkan nilai-nilai yang dulu membuatnya mulia. Yaitu nilai kesederhanaan, kejujuran, dan keberpihakan pada yang lemah.
Meneguhkan Moderasi di Tengah Polarisasi
Di tengah dunia yang terbelah oleh politik identitas dan kebencian berbasis agama. Pesantren sebenarnya punya modal besar yakni moderasi dan kearifan lokal.
Santri dibesarkan dengan tradisi tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Nilai-nilai ini bukan sekadar jargon, tapi telah teruji sepanjang sejarah. Pesantren menjadi laboratorium sosial yang mampu menyatukan Islam, nasionalisme, dan kemanusiaan.
Dalam survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta (PPIM UIN Jakarta, 2022) menyatakan bahwa, 82% santri menyatakan bahwa toleransi adalah nilai inti dalam pendidikan pesantren. Angka ini menunjukkan bahwa harapan masih ada. Bahwa generasi santri masa kini siap berdiri di garis depan moderasi, jika diberikan ruang dan keteladanan.
Namun, ujian hari ini lebih berat. Polarisasi politik dan arus ideologi transnasional mengancam akar keislaman Indonesia yang damai. Santri harus tampil bukan sekadar penjaga kitab, tapi penjaga nurani bangsa. Mereka perlu menjawab fitnah zaman dengan ilmu, bukan amarah. Dengan laku, bukan slogan.
Santri adalah cermin masa depan Islam Indonesia. Jika mereka tumbuh dalam adab, bangsa ini akan beradab. Tapi jika mereka dibesarkan dalam budaya feodal tanpa kritik, maka masa depan moral bangsa akan gelap. Karena itu, Hari Santri bukan sekadar nostalgia perjuangan masa lalu, melainkan proyek kebudayaan: membangun manusia berilmu yang tidak kehilangan hati.
Menjadi santri hari ini bukan sekadar belajar kitab, tapi juga menegakkan nilai di tengah zaman yang menista moral. Santri ditantang bukan hanya untuk hafal dalil, tapi mampu menghadirkan Islam yang menyejukkan; bukan hanya menghafal makna, tapi menyalakan nurani.
Jika dulu santri berperang melawan penjajah bersenjata, maka hari ini santri berjuang melawan penjajahan baru yakni penjajahan akhlak, feodalisme spiritual, dan polarisasi sosial. Dari pesantren harus lahir generasi yang tak hanya pintar bicara tentang kebenaran, tapi berani menegakkannya, bahkan ketika itu berarti mengoreksi yang diagungkan. (*)
***
*) Oleh : Nafi’atul Ummah, Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |