Kopi TIMES

Krisis Moral di Era Digital

Minggu, 26 Oktober 2025 - 03:25 | 996
Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.
Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.

TIMESINDONESIA, BALI – Era digital telah mengubah cara manusia hidup, berpikir, dan berinteraksi. Teknologi kini bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan ruang kehidupan kedua yang menyerap perhatian masyarakat setiap waktu dari anak kecil yang bergeming di depan layar ponsel hingga orang dewasa yang terus terhubung dengan notifikasi. 

Tetapi seperti pedang bermata dua, di balik kemudahan dan keajaiban yang ditawarkannya, tersimpan ancaman besar yang sering luput dari perhatian: krisis moral yang menggerogoti secara perlahan namun pasti.

Advertisement

Perubahan sosial yang dipicu oleh teknologi tidak selalu mengarah pada kemajuan karakter. Kecepatan arus informasi dan anonimitas dunia maya menciptakan kondisi baru yang membuat nilai-nilai luhur semakin mudah terpinggirkan. 

Apa yang selama ini menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat empati, sopan santun, rasa tanggung jawab mulai goyah, terseret gelombang budaya instan dan kompetisi citra yang tak ada habisnya. 

Krisis moral ini tidak datang dengan gebrakan; ia hadir diam-diam di balik sorotan layar, merasuki pikiran dan perilaku terutama generasi muda yang masih mencari pijakan nilai.

Salah satu gejala paling mencolok adalah maraknya cyberbullying. Di ruang digital, seseorang bisa menyembunyikan identitas, memalsukan keberadaan, dan merasa seakan tindakannya tak memiliki konsekuensi. 

Ketika jari lebih cepat bergerak daripada hati, kata-kata menyakitkan mudah terlempar tanpa rasa bersalah. Ujaran kebencian, fitnah, dan penghinaan menjelma sebagai tontonan sehari-hari. 

Lingkungan digital yang seharusnya menjadi wahana berbagi ilmu dan kebaikan justru menjelma menjadi arena untuk menjatuhkan martabat orang lain. Empati seolah tak punya tempat di ruang yang mempertemukan tanpa benar-benar menghadirkan kehadiran manusia.

Tak hanya soal perilaku antisosial, paparan konten toksik yang tidak terfilter juga menjadi tantangan besar. Anak-anak dan remaja kelompok yang paling rentan kini dapat dengan mudah mengakses pornografi, kekerasan, hingga konten ekstrem yang menormalisasi gaya hidup hedonistik dan bebas nilai. 

Media sosial semakin membentuk standar semu tentang kesuksesan: viral adalah kemuliaan baru, popularitas adalah tolok ukur harga diri. 

Banyak yang mengejar perhatian dengan cara apa pun, bahkan mengorbankan martabat diri. Ketika ketenaran sesaat lebih dihargai daripada prestasi yang dibangun dengan kerja keras, maka runtuhlah nilai luhur seperti kesederhanaan dan integritas.

Fenomena ini melahirkan generasi yang lebih sibuk membangun citra ketimbang karakter. Mereka tampil aktif di dunia maya namun kerap rapuh di dunia nyata; percaya diri di balik filter kamera namun kehilangan kepekaan sosial dalam interaksi langsung. 

Pengaruh ini sangat nyata: konten negatif membentuk konsep diri, membelokkan ambisi, dan mengajarkan bahwa pengakuan publik lebih penting daripada penghormatan terhadap nilai moral.

Tak berhenti di situ, derasnya penyebaran berita bohong memperparah situasi. Di era digital, siapa pun merasa berhak menjadi penyampai informasi. Sayangnya, banyak yang melakukannya tanpa pengetahuan dan tanpa etika. 

Hoaks dan ujaran kebencian begitu mudah merambat, memecah belah masyarakat, bahkan menggerus kepercayaan sosial yang merupakan perekat utama kehidupan berbangsa. 

Kebenaran tergeser oleh sensasi; kejujuran kalah oleh kepentingan politik atau popularitas. Rendahnya literasi digital membuat publik mudah dikelabui, membuat banyak orang tak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku penyebaran informasi sesat.

Semua ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi belum diimbangi dengan kematangan moral. Banyak orang semakin canggih dalam mengoperasikan perangkat, tetapi semakin lemah dalam mengendalikan diri. 

Kita punya akses tanpa batas terhadap informasi, namun miskin dalam kemampuan memilah mana yang benar dan baik. Kita semakin terhubung secara digital, namun semakin terputus secara emosional.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Solusinya bukan menolak teknologi, tetapi mengendalikan arah pemanfaatannya. Pendidikan moral dan karakter harus kembali menjadi pondasi utama dalam keluarga dan sekolah. 

Orang tua tidak cukup hanya memberikan perangkat, tetapi juga perlu hadir sebagai pembimbing dan teladan dalam bersikap di jagat digital. Pendampingan bukan berarti larangan tanpa alasan, melainkan dialog yang membangun kesadaran dan tanggung jawab.

Sekolah harus lebih adaptif, menjadikan literasi digital dan pembentukan karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari kurikulum. Siswa perlu dibekali kemampuan berpikir kritis, sehingga mereka mampu mengenali manipulasi informasi dan tidak mudah terseret arus. 

Sementara itu, pemerintah dan penyedia platform teknologi harus lebih tegas menindak konten merusak serta menciptakan kebijakan yang melindungi ruang digital tetap sehat dan manusiawi.

Kesadaran kolektif adalah kunci. Kita harus menyadari bahwa setiap klik membawa konsekuensi moral. Teknologi bukan musuh; ia hanya alat. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana manusia menggunakannya sebagai sarana kebaikan atau sebagai pintu kehancuran karakter.

Era digital tidak boleh menjadi kuburan bagi moralitas. Kita bisa menikmati kemajuan teknologi tanpa kehilangan kemanusiaan. Dengan pegangan nilai yang kokoh serta komitmen untuk saling menjaga, maka ruang digital dapat menjadi ladang subur untuk menanam kebaikan, bukan menjadi lahan bagi tumbuhnya krisis moral yang semakin tak terkendali.

***

*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP Negeri 1 Banjar Seririt, Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES