Kopi TIMES

Masyarakat Desa Tumbuh dari Literasi Budaya

Minggu, 26 Oktober 2025 - 19:28 | 900
Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMESINDONESIA, MALANG – Banyak orang masih menganggap desa sebagai halaman belakang dari peradaban. Tempat yang jauh dari pusat ekonomi, jauh dari teknologi, dan jauh dari semua hal yang disebut “kemajuan.” Padahal justru di desa, masyarakat tumbuh dengan literasi kehidupan yang tak tertulis di buku sekolah: literasi budaya, literasi sosial, literasi alam, hingga literasi spiritual. 

Semua itu dipelajari dari keseharian yang berjalan alami. Ironisnya, sering kali kekayaan ini tak dianggap sebagai “ilmu” hanya karena tidak berbentuk sertifikat atau disampaikan dalam ruang kelas.

Advertisement

Mari kita jujur: pendidikan formal sering membangun logika bahwa pengetahuan itu datang dari kota, dari kampus, dari guru bersertifikat, atau dari internet. Desa hanya jadi latar tempat kelahiran atau tempat mudik ketika libur panjang. 

Ketika dunia menghadapi tantangan besar krisis lingkungan, kerapuhan sosial, hilangnya etika pergaulan nilai dan pengetahuan yang diwariskan masyarakat desa justru terasa semakin relevan untuk masa depan.

Lihat bagaimana masyarakat desa memahami alam. Mereka tahu kapan harus menanam, kapan harus mengurangi penggunaan air, dan bagaimana menjaga keseimbangan ekosistem sederhana di wilayah mereka. 

Pengetahuan itu bukan dari jurnal ilmiah, melainkan dari pengalaman turun-temurun dan kedekatan dengan tanah yang menghidupi. Itulah literasi ekologis yang sulit ditemukan di kelas sains yang distandarkan.

Lalu soal solidaritas sosial. Ketika ada hajatan, semua turun tangan: memasak, menata kursi, hingga membersihkan. Ketika ada keluarga berduka, semua ikut merasakan kehilangan. Gotong royong bukan jargon untuk lomba Agustusan; ia hidup, merasuk dalam tindakan. 

Dalam bahasa akademik, itu adalah literasi sosial tingkat tinggi: kemampuan berjejaring, bekerja sama, serta membangun struktur dukungan kolektif. Di kota, kita harus mengadakan workshop leadership untuk mengajarkan kolaborasi. Di desa, itu adalah napas kehidupan sehari-hari.

Budaya tutur dan kisah rakyat juga menjadi ruang pendidikan karakter. Anak desa tumbuh dengan petuah orang tua yang sederhana tapi dalam: jangan membuang sisa makanan, jangan merusak tanaman tetangga, hormati tamu, dan jaga nama baik keluarga. 

Nilai-nilai itu seperti pagar moral yang menguat, bukan membatasi. Bahkan ketika teknologi datang menerjang, etika budaya desa masih menjadi jangkar, mengingatkan bahwa kemajuan tanpa karakter hanya menghasilkan kebingungan.

Namun, desa bukan utopia. Di banyak wilayah, kita melihat fenomena berbeda: anak-anak lebih akrab dengan gawai dibanding permainan tradisional; gotong royong makin jarang karena setiap keluarga sibuk mengurus kehidupannya sendiri; tradisi yang dulu dijunjung kini dianggap kuno. 

Literasi budaya yang kuat itu pelan-pelan tergerus oleh gelombang digitalisasi dan gaya hidup instan. Kita harus menghadapi kenyataan bahwa modernisasi membawa perubahan tanpa selalu memberi ruang transisi yang sehat.

Masalahnya, pemerintah maupun institusi pendidikan belum memposisikan desa sebagai pusat pembelajaran sesungguhnya. Program pembangunan sering memaksa desa mengejar standar kota: sekolah harus seperti kota, budaya harus “di-upgrade” dengan acara seremonial. Padahal, desa punya keunggulan yang tidak dimiliki kota: ritme kehidupan yang manusiawi, hubungan sosial yang hangat, dan budaya yang sudah teruji lintas generasi.

Kita perlu memandang desa bukan objek pembangunan, melainkan subjek pengetahuan. Bukan sekadar penerima instruksi dari luar, tetapi sumber inspirasi bagi sistem pendidikan dan kebijakan budaya. Bayangkan jika sekolah di kota belajar tentang manajemen air dari petani desa. 

Bayangkan mahasiswa arsitektur belajar merancang bangunan berkelanjutan dari rumah-rumah tradisional yang menyesuaikan alam. Bayangkan pendidikan karakter mengambil inspirasi dari struktur sosial desa yang mengutamakan kebersamaan.

Untuk bisa menjaga dan mengembangkan literasi kehidupan di desa, ada beberapa langkah penting yang harus diperjuangkan. Pertama, pendidikan formal di desa harus mengintegrasikan budaya lokal dalam kurikulum: bukan hanya kesenian sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi nilai-nilai, etika, hingga kearifan lingkungan sebagai bagian dari pembelajaran inti. 

Kedua, pemerintah desa perlu memperkuat ruang-ruang belajar informal: sanggar tradisi, kelompok tani sebagai laboratorium ekologi, hingga forum warga sebagai ruang demokrasi akar rumput. 

Ketiga, teknologi harus digunakan sebagai penguat budaya, bukan pemutusnya misalnya digitalisasi arsip budaya, platform pemasaran produk lokal, atau konten edukasi yang berbasis pengalaman desa.

Generasi muda desa juga perlu disadarkan bahwa warisan budaya bukan beban masa lalu. Itu modal masa depan. Di tangan mereka, tradisi bisa bertransformasi menjadi inovasi: kerajinan lokal menjadi industri kreatif, kuliner tradisional menjadi daya tarik wisata, sistem pertanian ramah lingkungan menjadi referensi global. Dunia hari ini sedang mencari keseimbangan baru dan desa memiliki resep yang kota tidak punya.

Literasi sejati adalah kemampuan memahami kehidupan dan menjalaninya dengan bermartabat. Desa mengajarkan itu sejak dulu. Tugas kita bukan mengajari desa cara menjadi kota, melainkan belajar bagaimana kota bisa lebih seperti desa: lebih peduli, lebih membumi, lebih manusia.

Karena masa depan tidak hanya ada pada gedung-gedung jangkung dan kecerdasan buatan. Masa depan juga tumbuh di sawah yang menghijau, di balai desa yang ramai perbincangan, dan di hati masyarakat yang menjaga budaya seperti menjaga kehidupan itu sendiri.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES