Kopi TIMES

Menjaga Hak Pilih Lewat Kolaborasi Publik Pasca Pemilu

Senin, 27 Oktober 2025 - 17:03 | 12.51k
Muchammad Syuhada’, Pengamat Pemilu dan Demokrasi, Manifesto Ideas Institute.
Muchammad Syuhada’, Pengamat Pemilu dan Demokrasi, Manifesto Ideas Institute.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap kali pesta demokrasi selesai baik Pemilu maupun Pilkada banyak orang mengira semua urusan kepemiluan turut berakhir. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Salah satu tahapan terpenting yang terus berlanjut tanpa putus adalah pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. 

Inilah fase sunyi namun menentukan masa depan hak pilih warga negara. Substansinya jelas: memastikan setiap warga yang memenuhi syarat dapat memilih, serta mencegah mereka yang tidak lagi berhak tetap tercatat dalam daftar pemilih.

Advertisement

Pemutakhiran data pemilih bukan pekerjaan yang bisa ditunda. Data penduduk selalu dinamis. Setiap hari ada warga yang meninggal, pindah alamat, genap berusia 17 tahun, menikah, pensiun dari institusi TNI/Polri, atau selesai menjalani pidana pencabutan hak pilih. Perubahan inilah yang menjadikan proses pemutakhiran tidak boleh berhenti. 

Regulasi pun tegas mengatur hal itu. PKPU Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan bahwa Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan merupakan pembaruan daftar pemilih yang didasarkan pada DPT terakhir dan telah disinkronkan dengan data kependudukan nasional.

Mengapa hal ini begitu penting? Dalam demokrasi, pemilih adalah urat nadi. Keberadaan mereka dalam daftar pemilih bukan hanya soal administrasi, melainkan penentu sah tidaknya hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. 

Kualitas daftar pemilih juga berhubungan langsung dengan tingkat kepercayaan publik terhadap Pemilu dan Pilkada. Jika daftar pemilih berantakan penuh data ganda, pemilih fiktif, atau warga meninggal masih tercatat maka ruang kecurangan terbuka lebar. Sebaliknya, daftar pemilih yang akurat mengurangi risiko manipulasi suara dan menguatkan legitimasi hasil pemilu.

Di sinilah urgensi kerja pemutakhiran data pemilih berkelanjutan: memperbaiki, menambah, dan sekaligus membersihkan data. Ada tiga titik penting yang harus dicermati publik. 

Pertama, perbaikan elemen data. Jika ada perubahan nama, alamat, status perkawinan, atau elemen kependudukan lainnya, maka data tersebut harus segera diperbarui dalam sistem pemilih. 

Kedua, pemilih baru. Yakni mereka yang memenuhi syarat sebagai pemilih berdasarkan usia atau status perkawinan, termasuk pensiunan TNI/Polri atau mantan narapidana yang telah selesai menjalani pidana tambahan pencabutan hak politik. 

Ketiga, pemilih tidak memenuhi syarat. Ini mencakup warga yang telah meninggal, pindah domisili, masih di bawah umur dan belum menikah, WNA, pemilih ganda, hingga mereka yang dicabut hak politiknya oleh putusan pengadilan.

Namun persoalannya, siapa yang memastikan semua itu benar-benar berjalan? Tidak mungkin hanya membebankan tugas itu kepada KPU dan Bawaslu. Apalagi pada masa non tahapan, struktur pengawasan tak lagi ditopang oleh jajaran ad hoc di kecamatan, desa/kelurahan, hingga TPS. 

Kapasitas kedua lembaga penyelenggara pemilu ini sangat terbatas untuk memantau seluruh penduduk di wilayah Indonesia yang begitu luas. Ketika dukungan perangkat menipis, maka partisipasi publik harus menguat.

Di titik ini, peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya menjadi fondasi utama. Demokrasi yang sehat lahir dari rakyat yang peduli terhadap hak politiknya sendiri. 

Pemilih perlu aktif memastikan dirinya sudah terdaftar melalui layanan cekdptonline.kpu.go.id. Jika ada yang janggal, misalnya tetangganya yang sudah wafat sejak lama masih muncul dalam daftar pemilih mereka memiliki hak untuk menyampaikan keberatan atau laporan. 

Warga juga bisa langsung mengajukan pemutakhiran elemen data atau melaporkan perubahan identitas kepada Dispendukcapil. Bahkan saluran aduan di media sosial KPU dan Bawaslu dapat menjadi ruang partisipasi mudah dan murah untuk mengawal akurasi data pemilih.

Tentu saja, partisipasi itu tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah desa/kelurahan sebagai pemilik data paling dekat dengan warga perlu memperkuat koordinasi dengan penyelenggara pemilu. 

Dispendukcapil wajib memastikan sinkronisasi data kependudukan selalu mutakhir. Institusi seperti TNI dan Polri harus akurat dalam menyampaikan informasi perubahan status keanggotaan anggotanya. 

Pengadilan Negeri berkewajiban menyampaikan putusan pencabutan hak politik secara sistematis dan tepat waktu. Semua pemangku kepentingan ini harus berhenti bekerja dalam sekat birokrasi masing-masing, dan bersama menjaga satu hal yang sangat fundamental: hak rakyat untuk memilih.

Sebab kalau kita diam, risiko yang muncul bukan hanya pelemahan kualitas pemilu, tapi juga hilangnya hak warga negara untuk menentukan masa depan politiknya. Seorang pemuda yang genap berusia 17 tahun namun tak masuk dalam daftar pemilih berarti kehilangan kesempatan pertamanya ikut menentukan arah bangsanya. 

Seorang korban data kependudukan yang salah tulis nama bisa terblokir aksesnya untuk memilih. Data keliru yang tak dikoreksi dapat berujung pada pemilih fiktif yang dipolitisasi oleh tangan-tangan kotor. Semua ini masalah yang tidak sederhana, dan solusinya membutuhkan kerja bersama.

Menjaga hak pilih bukan hanya tugas negara, tetapi tanggung jawab moral setiap warga demokratis. Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan pasca Pemilu dan Pilkada merupakan ruang kolaborasi yang harus diisi publik. 

Semakin banyak orang yang peduli dan terlibat, semakin kecil potensi hak rakyat dicurangi. Menjaga daftar pemilih yang akurat sama dengan menjaga martabat demokrasi kita.

Demokrasi hanya bisa hidup bila rakyatnya mau memperjuangkan haknya sendiri. Maka mari kawal data pemilih, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, hingga masyarakat di sekitar kita. Sebab hak memilih bukan hadiah, melainkan hak konstitusional yang wajib kita lindungi bersama.

***

*) Oleh : Muchammad Syuhada’, Pengamat Pemilu dan Demokrasi, Manifesto Ideas Institute.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES