Kopi TIMES

Memperjuangkan Hak Asasi melalui Praperadilan

Senin, 27 Oktober 2025 - 17:57 | 1.19k
Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

TIMESINDONESIA, PAMEKASAN – Preparadilan adalah upaya hukum yang diatur di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) sebagai wujud memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tersangka yang dimohonkan kepada pengadilan negeri yang dilakukan oleh tersangka sendiri, keluarganya, atau kuasanya terkait dengan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan juga meliputi permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.  

Perumusan norma dalam KUHAP yang mengatur praperadilan dapat kita temukan di dalam Pasal 1 angka 10 huruf a, b, dan c KUHAP, Pasal 77-83 KUHAP, dan Pasal 124 KUHAP. Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas objek praperadilan melalui Putusan MK Nomor:21/PUU-XII/2014 yang meliputi penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 

Advertisement

Putusan MK tersebut telah membuka cakrawala baru dalam dunia penegakan hukum pidana yang lebih luas dan konstitusional dengan menguatkan kembali bahwa hak asasi tersangka tidak boleh dihilangkan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. 

Praperadilan sebagai Hak Konstitusional

Amir Ilyas dan Apriyanto Nusa (2017) menegaskan bahwa hukum pidana (materiil dan formil) adalah hukum istimewa karena bertujuan melindungi manusia terhadap adanya pelanggaran hak-hak asasinya. 

Sedangkan hukum pidana justru dibuat untuk merampas hak-hak tersebut dalam kondisi tertentu, dan kondisi tertentu itulah seharusnya sangat dibatasi dan adanya garis yang tegas tentang batas-batasnya, karena hukum dibuat untuk melindungi HAM terutama hak hidup. Sedangkan hukum pidana menciptakan pidana mati yang akan menghilangkan hak yang paling asasi tersebut. 

Hukum dibuat agar melindungi manusia untuk bergerak ke mana saja yang dikehendaki, sedangkan hukum pidana mengatur pemenjaraan dan hukum acara pidana mengatur penahanan. Hukum juga melindungi ketentraman rumah tangga orang, padahal hukum acara pidana mengatur penggeledahan rumah/kediaman. 

Melalui praperadilan, upaya penyimpangan yang terjadi selama proses penyidikan dan penuntutan bisa dikoreksi. Praperadilan merupakan tuntutan bagi pejabat yang terlibat dalam proses penyidikan dan penuntutan, terutama bagi penyidik dan penuntut umum agar berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugasnya demi tegaknya rule of law. 

Upaya menguji objektifitas proses penanganan perkara pidana di tingkat penyidikan maupun penuntutan oleh tersangka, keluarga, maupun oleh kuasanya melalui praperadilan terkadang menghadapi berbagai macam tantangan. 

Tersangka, keluarga atau kuasanya yang memohonkan praperadilan harus menghadapi penyidik atau penuntut umum di dalam persidangan dengan argumentasi dan pembuktian. 

Tidak menutup kemungkinan, akan muncul pula ego personal antara aparat penegak hukum dengan advokat/pengacara yang menjadi kuasa hukum tersangka yang berpotensi menciptakan rasa tidak nyaman atau bahkan gesekan di luar persidangan, sehingga praperadilan yang harusnya menguji apakah proses yang telah dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum sudah sesuai dengan prosedur hukum atau sebaliknya. 

Di sisi lain, terkadang pemohon praperadilan harus menghadapi strategi aparat penegak hukum dengan pelimpahan berkas perkara yang objeknya dimohonkan praperadilan agar gugur, sehingga praperadilan justru menjadi ‘pintu perseteruan’. 

Praperadilan yang sejatinya menguji apakah tidak ada sama sekali pelanggaran HAM adalah hak hukum yang harus ditempuh sebelum adanya pelimpahan berkas perkara atau sebelum adanya sidang pokok perkara di pengadilan. 

Kita harus menyadari bahwa munculnya konsep praperadilan tidak akan bisa dilepaskan dari historis yang sangat panjang terhadap urgensi pengawasan proses penegakan hukum, terutama yang menyangkut tindakan perampasan HAM tersangka.

Sofyan Lubis merujuk konsep ‘miranda rule’ (2010) menyatakan bahwa HAM adalah hak kodrat moral sebagai hak-hak dasar manusia yang melekat secara langgeng sejak lahir, bukan pemberian masyarakat ataupun negara, bukan pula pemberian hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia, dan tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh negara meskipun dengan alasan penegakan hukum. 

Di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara tegas disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). 

Rasio legisnya adalah kepastian hukum, keadilan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara, termasuk tersangka harus benar-benar dijalankan secara benar, konstitusional, dan berkeadilan. 

Konsideran menimbang huruf b Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan: “bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”. 

Pasal 17 UU HAM menyebutkan bahwa “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. 

Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) UU HAM juga menyebutkan: “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. 

Dengan demikian, praperadilan di samping untuk mengkoreksi tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum berdasarkan hukum formil, juga memastikan apakah proses penanganan perkara tersebut tidak ada pelanggaran HAM yang melanggar hak konstitusional yang dimiliki oleh tersangka maupun keluarganya.

Praperadilan yang memenangkan tersangka dari jeratan hukum adalah fakta empiris yang tidak bisa kita pungkiri bahwa memang telah terjadi proses pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik ataupun penuntut umum. 

Namun, upaya praperadilan juga dapat dimenangkan termohon (penyidik/penuntut umum) karena berdasarkan pemeriksaan praperadilan oleh hakim tunggal pengadilan negeri justru tidak dapat dibuktikan adanya pelanggaran hukum. 

Namun demikian, dinamika menang-kalah dalam proses praperadilan antara pemohon dengan termohon adalah hal yang wajar. Intinya, baik pemohon maupun termohon sama-sama memiliki komitmen yang kuat bahwa praperadilan adalah jalan untuk mengkoreksi tindakan yang melampaui batas atau keliru berdasarkan hukum, dan memastikan bahwa tidak ada pelanggaran HAM yang dapat merugikan tersangka maupun keluarganya. 

***

*) Oleh : Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES