Kopi TIMES

Menjaga Integritas Budaya

Jumat, 31 Oktober 2025 - 23:02 | 596
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia bukan hanya negeri yang kaya sumber daya alam, tetapi juga gudang nilai budaya yang berakar dalam tradisi. Dari gotong royong, musyawarah, hingga tepa selira nilai-nilai itu telah lama menjadi fondasi moral bangsa. 

Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang serba cepat, nilai luhur tersebut perlahan tergerus oleh budaya instan, pragmatis, dan konsumtif. Di sinilah persoalan utama kita hari ini: bagaimana menjaga integritas nilai budaya lokal agar tetap hidup dan diakui di panggung internasional.

Advertisement

Kita sering bangga menyebut diri sebagai bangsa berbudaya, tapi dalam praktiknya, banyak yang justru meninggalkan nilai luhur itu demi popularitas semu. Ketika kejujuran kalah oleh kepentingan, ketika solidaritas digantikan oleh individualisme, maka sesungguhnya kita sedang kehilangan identitas kultural yang menjadi kekuatan bangsa. 

Integritas budaya bukan sekadar melestarikan tari, batik, atau kuliner tapi bagaimana nilai moral di baliknya menjadi sikap hidup sehari-hari.

Budaya lokal sejatinya adalah sumber etika publik. Lihatlah filosofi Jawa tentang “urip iku urup” (hidup harus memberi manfaat), atau konsep Bugis tentang siri’ na pacce (harga diri dan empati sosial). 

Nilai-nilai itu tak hanya indah secara simbolik, tapi berfungsi sebagai mekanisme sosial yang menjaga keseimbangan moral masyarakat. Sayangnya, nilai-nilai ini kini lebih sering dijadikan hiasan upacara daripada panduan etika hidup di ruang publik.

Di era global, bangsa yang kehilangan integritas budayanya akan mudah terguncang oleh arus luar. Kita bisa belajar dari Jepang yang berhasil menginternasionalisasi nilai bushido (kode kehormatan samurai) ke dalam budaya kerja modern. 

Korea Selatan pun mengekspor semangat han dan jeong melalui industri hiburan dan teknologi. Sementara Indonesia, dengan ribuan kearifan lokalnya, justru masih berkutat dalam kebingungan identitas: ingin menjadi modern tapi kehilangan akar.

Integritas budaya harus dimulai dari pendidikan dan kebijakan publik. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan pengetahuan, tapi juga menanamkan kesadaran budaya. Generasi muda perlu diajak memahami bahwa “modern” bukan berarti “meninggalkan tradisi.” 

Sebaliknya, nilai lokal bisa menjadi dasar inovasi global. Batik bisa tampil di Milan Fashion Week, gamelan bergema di Eropa, dan wayang menjadi bahan riset di Harvard tapi semua itu akan kehilangan makna jika bangsa pemiliknya tidak lagi memegang nilai integritas di balik karya tersebut.

Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi membangun diplomasi budaya yang berkarakter. Diplomasi budaya bukan sekadar pertukaran kesenian, melainkan misi nilai. 

Kita tidak hanya memperkenalkan tarian atau musik tradisional, tapi juga filosofi hidup yang melandasinya: kejujuran, kerja keras, solidaritas, dan cinta damai. Dunia hari ini membutuhkan nilai-nilai seperti itu bukan sekadar produk, tapi makna.

Masalahnya, banyak nilai lokal kita yang justru terdegradasi oleh praktik sosial yang bertentangan dengannya. Kita bicara gotong royong, tapi praktiknya koruptif; kita bicara adab, tapi debat publik penuh caci maki; kita bicara kejujuran, tapi sistem sosial sering menghargai tipu muslihat. Ketimpangan antara wacana dan perilaku inilah yang membuat integritas budaya kita kehilangan daya tarik global.

Untuk menjembatani lokal dan internasional, bangsa Indonesia perlu membangun cultural integrity movement gerakan kesadaran budaya yang menempatkan nilai lokal sebagai basis etika global. 

Media, akademisi, seniman, dan tokoh agama harus menjadi penggerak moralitas publik. Dunia tidak akan menghargai budaya kita hanya karena eksotik, tapi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu menjawab krisis moral global.

Integritas budaya berarti keberanian menjadi diri sendiri di tengah tekanan global. Ia bukan nostalgia, melainkan strategi bertahan. Ketika bangsa lain membangun kekuatan lewat teknologi, kita bisa membangun pengaruh lewat nilai: kejujuran, gotong royong, harmoni, dan spiritualitas. Inilah aset tak ternilai yang seharusnya menjadi soft power Indonesia di dunia internasional.

Globalisasi tidak perlu ditakuti jika kita memiliki pondasi budaya yang kuat. Dunia akan menghormati bangsa yang teguh pada nilai dan terbuka pada dialog. 

Dari lokal ke global, dari akar ke langit integritas budaya Indonesia harus menjadi mercusuar peradaban baru yang memancarkan cahaya kejujuran dan kemanusiaan universal. (*)

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES