TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo menghadirkan program Sekolah Rakyat yang menjadi salah satu program pendidikan berasrama gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin. Program ini merupakan implementasi Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Melalui program ini, anak-anak dari basis Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) akan disekolahkan dari tingkat SD hingga SMA, dengan harapan memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Advertisement
Sekilas, gagasan ini tampak mulia, negara turun tangan langsung memberi kesempatan pendidikan bagi anak-anak yang terpinggirkan.
Di balik narasi moral itu, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari, apakah Sekolah Rakyat benar-benar membebaskan rakyat dari kemiskinan atau justru menjadi bentuk baru dari kontrol sosial negara terhadap kelas miskin?
Michel Foucault pernah menulis bahwa kekuasaan modern bekerja bukan hanya melalui represi, melainkan juga melalui “pemeliharaan” yaitu praktik pengawasan yang dibungkus dalam moralitas kepedulian.
Sekolah berasrama gratis bagi kaum miskin dapat dibaca sebagai bagian dari governmentality yaitu mekanisme negara untuk mengatur kehidupan warga miskin dengan dalih melindungi mereka.
Dengan memisahkan anak-anak dari lingkungan sosialnya dan menempatkan mereka di ruang asrama yang dikontrol penuh negara, pendidikan bukan lagi sekadar alat pemberdayaan, tetapi juga mekanisme disiplin dan pembentukan subjek yang “patuh”.
Pola ini tidak baru. Sejak masa kolonial hingga Orde Baru, pendidikan bagi rakyat kecil selalu diatur dari atas dan dirancang untuk mencetak “manusia produktif”, bukan manusia merdeka.
Kini, dalam balutan kebijakan pengentasan kemiskinan ekstrem, negara tampak mengulang logika lama bahwa kemiskinan diselesaikan lewat pendidikan formal yang dikendalikan negara, bukan dengan perubahan struktural atas ketimpangan ekonomi dan politik.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengingatkan bahwa pendidikan yang sejati bukanlah “transfer pengetahuan” dari yang tahu kepada yang tidak tahu, tetapi proses dialogis yang menumbuhkan kesadaran kritis.
Jika Sekolah Rakyat hanya menempatkan anak miskin sebagai penerima belas kasihan negara, tanpa membangun kesadaran akan akar sosial kemiskinan, maka yang lahir bukan pembebasan, melainkan penjinakan.
Pendidikan kehilangan makna politiknya sebagai ruang refleksi, berubah menjadi alat legitimasi negara yang tampak dermawan namun tetap mempertahankan status quo.
Lebih jauh, kebijakan ini juga bisa dibaca melalui kacamata Antonio Gramsci tentang hegemoni. Dalam kerangka hegemonik, kelas dominan tidak mempertahankan kekuasaan hanya dengan paksaan, tetapi melalui konsensus yakni dengan menanamkan nilai bahwa tatanan yang ada adalah wajar dan tidak perlu dipertanyakan.
Sekolah Rakyat dapat menjadi instrumen hegemoni baru, negara tampil sebagai “penyelamat” rakyat miskin, sementara rakyat diajarkan untuk berterima kasih, bukan mengkritik akar ketimpangan yang membuat mereka miskin sejak awal.
Padahal, akar persoalan kemiskinan di Indonesia bukan terletak pada kurangnya akses pendidikan semata, melainkan pada distribusi sumber daya yang timpang dan lemahnya perlindungan sosial struktural.
Program seperti Sekolah Rakyat berisiko menggeser fokus dari persoalan ekonomi-politik menuju ranah moral, seolah-olah kemiskinan bisa diselesaikan hanya dengan pendidikan individu. Narasi semacam ini berbahaya, karena memindahkan tanggung jawab struktural menjadi tanggung jawab pribadi.
Kritik ini bukan berarti menolak kehadiran Sekolah Rakyat secara mutlak. Setiap kebijakan yang memberi akses pendidikan kepada kelompok termiskin tetap patut diapresiasi.
Namun, apresiasi tanpa evaluasi akan berujung pada pengulangan sejarah kebijakan yang represif dalam wajah sosial. Negara seharusnya tidak sekadar “mendidik” warga miskin, tetapi juga “belajar” dari mereka dengan memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang melahirkan kemiskinan itu sendiri.
Pendidikan yang memerdekakan tidak lahir dari belas kasihan, melainkan dari keadilan. Jika Sekolah Rakyat ingin benar-benar memutus rantai kemiskinan, maka ia harus bergerak melampaui model asrama dan charity.
Ia harus menjadi ruang politik pengetahuan, tempat anak-anak miskin tidak hanya diajari cara keluar dari kemiskinan, tetapi juga mengerti mengapa kemiskinan itu diciptakan.
***
*) Oleh : Muhammad Rafi F, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Sholihin Nur |