TIMESINDONESIA, MALANG – Di sebuah sudut terminal, seorang pemuda berjaket almamater duduk termenung. Di tangannya, map biru lusuh berisi fotokopi ijazah dan transkrip nilai yang dulu disambut sorak-sorai keluarga saat wisuda.
Kini, kertas-kertas itu tak ubahnya daun kering yang tak lagi punya aroma masa depan. Ia menatap bus yang melaju menuju kota besar, berharap di antara hiruk pikuk dan gedung-gedung pencakar langit, ada ruang kosong untuk menambatkan nasibnya. Ia sarjana tapi juga pengangguran.
Advertisement
Fenomena pengangguran terdidik di negeri ini bukan sekadar statistik. Ia adalah drama sosial yang terus berulang dalam panggung pembangunan yang gemerlap di luar, tapi keropos di dalam.
Ironinya, di tengah jargon “bonus demografi”, negeri ini justru menyimpan “malapetaka demografi”: melimpahnya manusia berpendidikan tanpa ruang untuk bekerja.
Kita hidup di era di mana gelar akademik kian banyak, namun lapangan pekerjaan kian sempit. Mesin-mesin industri menggantikan tangan manusia, sementara digitalisasi membuat efisiensi lebih disukai ketimbang empati. Sarjana hari ini bukan lagi jaminan posisi; ia hanyalah nama lain dari kompetisi.
Di ruang-ruang interview, ijazah hanya menjadi formalitas; yang dicari bukan lagi pengetahuan, tapi kemampuan beradaptasi, keterampilan komunikasi, dan daya tahan terhadap tekanan. Dunia kerja bertransformasi menjadi arena seleksi alam paling kejam yang pernah dikenal manusia modern.
Namun yang paling getir dari semua ini bukanlah soal ekonomi semata, melainkan luka sosial yang menjalar diam-diam. Bagaimana seorang anak petani yang dikirim kuliah dengan uang hasil menjual kambing kini pulang tanpa pekerjaan.
Bagaimana kebanggaan orang tua berubah menjadi kegelisahan panjang tiap kali ada tamu bertanya: “Anaknya sekarang kerja di mana?” Di titik itulah, pengangguran terdidik menjadi tragedi keluarga, bukan sekadar angka dalam laporan pemerintah.
Perguruan tinggi, yang semestinya menjadi kawah candradimuka peradaban, kadang justru terjebak menjadi pabrik gelar. Kampus dibanjiri brosur akreditasi dan promosi kelas internasional, tapi abai terhadap relevansi ilmu dengan kebutuhan zaman.
Mahasiswa diajarkan teori, tapi tidak disiapkan menghadapi realitas pasar kerja yang menuntut fleksibilitas. Hasilnya: sarjana yang pintar menjawab ujian, tapi gagap membaca peluang.
Kita pun patut bertanya, apa gunanya pendidikan jika hanya mencetak pencari kerja, bukan pencipta kerja? Di manakah letak nilai pendidikan jika ilmu tidak mengantarkan manusia pada kemandirian, melainkan ketergantungan? Bukankah sejak Ki Hajar Dewantara, pendidikan dipahami sebagai upaya memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan dan ketidakberdayaan?
Maka, fenomena pengangguran terdidik sejatinya adalah refleksi kegagalan sistemik: antara dunia pendidikan yang berjalan sendiri dan dunia kerja yang melaju tanpa menoleh ke belakang.
Keduanya tak lagi berdialog. Kurikulum mengajar masa lalu, sedangkan dunia kerja menuntut masa depan. Jurang inilah yang menelan para sarjana muda, membuat mereka melayang di udara: terlalu tinggi untuk pekerjaan kasar, tapi terlalu lemah untuk pekerjaan profesional.
Namun tak adil jika seluruh kesalahan ditimpakan pada sistem. Ada pula persoalan mentalitas yang pelan tapi pasti membentuk wajah pengangguran terdidik: ego akademik. Banyak lulusan perguruan tinggi yang merasa gengsi untuk memulai dari bawah.
Mereka menolak menjadi petani modern, enggan menjadi wirausahawan, malu menjadi buruh kreatif. Padahal, sejarah bangsa ini justru ditulis oleh mereka yang berani memulai dari titik nol. Di sinilah pentingnya reorientasi makna sukses di kalangan muda terdidik: bahwa keberhasilan tidak selalu bertanda jas, dasi, dan kantor berpendingin.
Kita juga perlu menggugat paradigma pembangunan yang terlalu menuhankan investasi asing tapi menelantarkan potensi manusia sendiri. Pemerintah sibuk menarik pabrik-pabrik besar dengan janji lapangan kerja, padahal revolusi industri 4.0 justru menyingkirkan manusia dari lini produksi.
Sementara itu, potensi ekonomi lokal dari pertanian organik, industri kreatif, hingga ekowisata desa belum diolah serius sebagai alternatif lapangan kerja. Negeri ini kaya sumber daya, tapi miskin keberanian untuk percaya pada kemampuan warganya sendiri.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, kita akan melihat lahirnya generasi yang frustrasi di tengah gelar. Mereka yang terdidik tapi kehilangan arah; yang kritis tapi apatis; yang berilmu tapi tak lagi percaya pada nilai ilmu itu sendiri. Inilah potret generasi yang kehilangan makna dari kata “belajar” karena ternyata, sekolah bukan lagi jembatan menuju kesejahteraan, melainkan lorong panjang menuju kebingungan.
Maka, sudah saatnya pendidikan kita tidak lagi sekadar mencetak lulusan, tetapi menumbuhkan manusia. Manusia yang berpikir, berani, dan mampu menciptakan peluang dari keterbatasan.
Kampus harus menjadi laboratorium kehidupan yang memupuk kreativitas, mengasah kepekaan sosial, dan menumbuhkan jiwa wirausaha yang berakar pada kearifan lokal. Pemerintah harus hadir bukan hanya dengan program pelatihan, tapi dengan keberpihakan sistemik: memberi ruang bagi ide-ide muda untuk hidup dan berkembang.
Sebab, bangsa besar bukan dibangun oleh banyaknya sarjana, melainkan oleh keberanian mereka mencipta makna dari ilmunya. Gelar hanyalah simbol yang abadi adalah pengabdian.
Selama negeri ini masih menyisakan anak muda yang mau bekerja dengan hati, masih ada harapan bahwa ijazah bukan akhir perjalanan, melainkan awal dari perjuangan baru perjuangan menjadi manusia yang benar-benar merdeka.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |