Kopi TIMES

Guru Mengajar Luka dan Cinta

Sabtu, 01 November 2025 - 22:22 | 484
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Di ruang kelas yang catnya mulai mengelupas, seorang guru tengah menulis di papan tulis dengan kapur yang hampir habis. Di luar jendela, hujan turun pelan. Anak-anak duduk rapi, menatap dengan mata penuh ingin tahu. 

Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum tenang itu, sang guru menyimpan kegelisahan yang dalam. Ia seorang honorer pendidik yang mencintai muridnya, tapi sering dilupakan oleh negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan.

Advertisement

Nasib guru honorer di negeri ini adalah kisah panjang tentang pengabdian yang tidak dihargai semestinya. Mereka hadir di pelosok-pelosok negeri, dari lereng Gunung Merapi hingga pesisir Raas yang jauh di laut Jawa, dari sekolah dasar yang atapnya bocor hingga madrasah yang berdinding anyaman bambu. Mereka mengajar dengan semangat, bahkan ketika gaji bulanan mereka tak cukup untuk membeli beras dan buku tulis sekaligus.

Di banyak tempat, upah mereka bahkan tak sebanding dengan biaya bensin menuju sekolah. Ada yang dibayar Rp300 ribu per bulan, ada yang hanya menerima amplop berisi “seikhlasnya”.

Ironinya, mereka tetap datang setiap pagi, dengan pakaian rapi, dengan tangan yang menggenggam cita-cita bangsa. Barangkali hanya di Indonesia profesi mulia bisa berjalan beriringan dengan kesabaran tanpa batas seperti itu.

Kita hidup di zaman di mana guru honorer adalah wajah paradoks pembangunan: di atas kertas, mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa; di lapangan, mereka menjadi korban tanpa tanda penghargaan. 

Pemerintah berbicara tentang digitalisasi pendidikan, kurikulum merdeka, dan transformasi sistem, tetapi di ruang-ruang kelas pelosok, masih ada guru yang mengajar tanpa gaji tetap, tanpa tunjangan, tanpa jaminan masa depan.

Jika pendidikan adalah jantung bangsa, maka guru honorer adalah denyutnya yang paling setia. Mereka tetap berdetak bahkan ketika sistem nyaris berhenti memberi mereka oksigen. 

Negara sering lupa, bahwa masa depan anak-anak tidak hanya ditentukan oleh kebijakan di kementerian, tetapi juga oleh tangan-tangan tulus yang menulis huruf pertama di papan tulis sekolah desa.

Masalah guru honorer bukan hanya tentang gaji, melainkan tentang martabat. Tentang bagaimana sebuah bangsa memperlakukan mereka yang menghidupi akal budinya. 

Tentang bagaimana sebuah negara menilai pengetahuan yang ditanamkan dengan air mata. Karena sejatinya, yang paling menakutkan bukanlah kurangnya dana pendidikan, melainkan matinya penghargaan terhadap guru.

Sudah berulang kali janji pengangkatan dan reformasi sistem kepegawaian diucapkan. Setiap pergantian menteri, setiap tahun ajaran baru, selalu ada wacana: “Guru honorer akan diperhatikan.” 

Kenyataan berjalan seperti gelombang yang datang dan pergi. Di satu sisi, seleksi ASN PPPK memang membuka ruang harapan baru. Tapi di sisi lain, banyak guru yang telah mengabdi puluhan tahun justru tersingkir oleh syarat administratif yang dingin dan tanpa nurani.

Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang guru selain merasa tidak diakui oleh sistem yang ia layani dengan sepenuh jiwa? Mereka yang mendidik anak bangsa kini dipaksa bersaing seperti pekerja industri. Pengabdian diukur dengan skor tes, bukan dengan peluh di ruang kelas.

Padahal, di balik segala keterbatasan, guru honorerlah yang menjaga api pengetahuan tetap menyala di daerah-daerah yang nyaris tak tersentuh. Mereka bukan hanya mengajar, tapi juga menjadi orang tua, perawat, dan motivator bagi murid-muridnya. Mereka menulis masa depan dengan kapur, sementara hidupnya sendiri sering terhapus oleh kebijakan yang abai.

Sudah saatnya negara berhenti bersembunyi di balik istilah “keterbatasan anggaran.” Anggaran hanyalah cermin prioritas. Jika negara mampu membangun jalan tol sepanjang ribuan kilometer, membiayai proyek mercusuar, dan menyelenggarakan pesta politik yang mahal, mengapa tidak mampu menyejahterakan guru yang menanam nilai di jiwa generasi muda?

Ketika pendidikan dijadikan investasi, seharusnya guru adalah pemegang saham utama, bukan buruh kontrak tanpa kepastian.

Kita perlu model baru penghargaan terhadap guru terutama honorer yang melampaui sekadar pengangkatan status. Sebuah sistem yang memanusiakan mereka, memberi ruang karier, dan menjamin kesejahteraan minimal yang layak. 

Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam distribusi dan perlindungan profesi guru, bukan sekadar menunggu instruksi pusat. Kampus pendidikan dan organisasi profesi pun perlu terlibat memperkuat kompetensi mereka, agar status honorer tak lagi identik dengan “kelas dua”.

Namun, di balik segala kepahitan itu, ada sesuatu yang tak bisa dihapus: cinta mereka terhadap ilmu dan anak-anak. Barangkali itu sebabnya mereka bertahan. Karena bagi guru sejati, mengajar bukan pekerjaan, melainkan panggilan. Di tengah ketidakpastian, mereka tetap menulis kata demi kata di papan tulis, seolah yakin bahwa suatu hari nanti, tulisan kecil itu akan berubah menjadi masa depan bangsa.

Mungkin kita harus belajar dari guru honorer tentang arti kesetiaan. Kesetiaan untuk tetap berdiri, bahkan ketika dunia terasa tak berpihak. Karena dari merekalah bangsa ini belajar makna ketulusan bahwa cinta sejati tidak menuntut imbalan, tapi terus bekerja untuk cahaya yang lebih besar.

Inilah saatnya negara membalas cinta itu. Bukan dengan pujian atau plakat penghargaan, tapi dengan kebijakan yang berpihak. Sebab, selama guru honorer masih hidup dalam ketidakpastian, sejatinya pendidikan kita belum benar-benar merdeka. (*)

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES