TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saat ini, di dunia yang serba cepat dan rasional, terkadang kita masih menyisakan ruang untuk keajaiban-keajaiban yang diharapkan terjadi. Entah dengan kekuatan rezeki anak saleh atau dengan kekuatan bulan.
Masih suka berharap seperti: andai punya pintu ke mana saja ya. Genie, Make a Wish, drama terbaru garapan Kim Eun-sook yang mempertemukan Kim Woo-bin dan Bae Suzy, hadir tepat di ruang itu, di antara keajaiban dan kenyataan.
Advertisement
Alih-alih menghadirkan jin pengabul tiga permintaan seperti lazimnya dalam kisah Aladin dan Lampu Ajaib, drama ini malah mengubah arah cerita. Sang jin atau di drama ini menamai dirinya sebagai iblis bukan lagi makhluk serba kuasa, melainkan sosok yang sedang mempertanyakan kekuasaan.
Tidak hanya iblis, bangsa lelembut lain yang muncul sebagai malaikat juga mendapat penokohan tidak seperti malaikat pada umumnya. Dunia dibalikkan, peran-peran klasik dirombak. Dan di sinilah Genie, Make a Wish menjadi menarik.
Drama ini memiliki peran ganda, sebagai tontonan fantasi romantik juga sebagai bentuk tafsir ulang dua kisah klasik yang sangat berbeda; kisah Aladin dan lampu ajaib dan kisah Iblis yang menolak bersujud kepada manusia dalam narasi agama Islam.
Adaptasi, Pengulangan tanpa Replika
Linda Hutcheon, dalam A Theory of Adaptation (2006), menulis bahwa adaptasi adalah pengulangan tanpa peniruan. Setiap karya yang diadaptasi tidak pernah sekadar menyalin teks lama, melainkan menafsirkan ulang agar sesuai dengan konteks zaman dan nilai-nilai baru yang ingin dihadirkan.
Dalam konteks itu, Genie, Make a Wish bekerja sebagai bentuk adaptasi ganda. Ia menghidupkan kembali dua kisah klasik; Jin dan Lampu Ajaib dari Timur Tengah dan kisah Iblis dari teks keagamaan lalu menempatkannya di tengah lanskap modern Korea.
Sebelum menjadi tokoh tampan di layar Netflix, sosok jin sudah lama hidup dalam kisah seribu satu malam, Arabian Nights. Dalam kisah ini, jin adalah makhluk ajaib, setia memenuhi keinginan siapapun yang menguasai lampunya. Manusia menjadi pusat, ia memerintah sementara jin menjadi sosok yang dikendalikan.
Namun jauh sebelum Aladin, dunia Timur Tengah sudah mengenal kisah lain yang lebih kelam, iblis menolak bersujud kepada Adam. Kisah ini tercatat berulang kali dalam Al-Qur’an, antara lain di Surah Al-Baqarah (2:34) dan Al-A‘raf (7:11–13); ketika Tuhan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada manusia pertama.
Semua patuh, kecuali Iblis. Ia berkata, “Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Barangkali dari sinilah lahir arketipe makhluk pemberontak: diciptakan untuk tunduk, tapi menolak karena merasa lebih tinggi.
Salah satu kekuatan Genie, Make a Wish terletak pada penokohan dua makhluk transenden yaitu iblis (Genie) dan malaikat (Ejllael). Keduanya memiliki tugas ilahi yang seharusnya tidak bisa dinegosiasikan. Iblis menghasut manusia, malaikat melaksanakan perintah-Nya. Tapi di tangan Kim Eun-sook, keduanya mengalami krisis peran.
Iblis dan malaikat sama-sama turun dari langit untuk mempelajari sesuatu yang paling fana, empati. Adaptasi ini tidak hanya bekerja pada level cerita, tapi juga pada level nilai.
Iblis perlahan menyadari bahwa mengabulkan setiap permintaan manusia justru membuatnya hampa. Ia kemudian menyadari bahwa yang diminta manusia bukan sekadar keajaiban, melainkan pengertian. Dimulai dari keinginan tokoh seorang anak perempuan yang menjadi budak dan mendapat perlakuan tidak manusiawi, ia meminta keselamatan.
Kemudian keinginan seorang yang dihina dan diperlakukan tidak adil karena kemiskinannya meminta harta kematian orang-orang yang menghina dan memperlakukannya dengan tidak adil serta meminta emas dan kekayaan.
Iblis tidak lagi menghasut manusia menuju kebinasaan, ia justru membantu mereka menemukan harapan. Dalam diri iblis, evil dan empathy berjalan beriringan seakan ia sedang mencari makna menjadi makhluk, bukan sekadar simbol dosa.
Sosok kedua yaitu malaikat yang tampil dingin, rasional yang terkadang sinis, kontras dengan citra malaikat yang lembut dan penyayang. Malaikat di drama ini memiliki kekayaan yang melimpah, sebuah ‘keinginan’ yang menjadi topik utama dari drama ini.
Ia memiliki banyak gedung dan harta melebihi tokoh-tokoh lain dalam drama ini. Sosok malaikat yang selalu melaksanakan perintah-Nya digambarkan sebagai sosok yang impulsif. Ia kerap melakukan tindakan kekerasan kepada bawahannya, sosok yang lebih lemah dan dianggap sebagai ‘budak’.
Stereotipe baik dan halus tidak tampak dalam penokohannya, ia cenderung menonjolkan sosok yang keras dan kasar. Dalam beberapa adegan, ia memposisikan dirinya sebagai tokoh yang mengancam tokoh lain karena merasa lebih berkuasa, seolah peran yang seharusnya dilakukan oleh iblis dilakoninya.
Dalam banyak kisah suci, iblis dan malaikat adalah dua spektrum yang jelas. Yang satu melawan, yang satu taat, iblis diusir dari surga karena menolah bersuujud pada manusia, malaikat pencabut nyawa bekerja sesuai titah ilahi. Dalam Genie, Make a Wish, batas-batas itu kabur.
Dalam Islam, hanya manusia, tepatnya Nabi Adam yang secara eksplisit dikaitkan dengan hari penciptaannya. Sebuah hadis sahih riwayat Muslim menyebutkan, “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat.
Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu pula ia dimasukkan ke surga, dan pada hari itu ia dikeluarkan darinya.” Hari Jumat, dengan demikian menjadi simbol kelahiran sekaligus keterlemparan manusia, awal mula kesadaran dan pencarian makna.
Menariknya, simbolisme ini seolah dihidupkan kembali dalam Genie, Make a Wish. Iblis kerap menyampaikan urutan penciptaan mereka, malaikat di hari Rabu, iblis di hari Kamis, dan manusia di hari Jumat.
Urutan ini seolah menggambarkan manusia sebagai makhluk yang berada di antara malaikat dan iblis, lahir terakhir, namun justru memikul beban paling kompleks, yakni kesadaran.
Jika malaikat tunduk tanpa ragu dan iblis menolak karena merasa lebih tinggi, maka manusia dihadirkan sebagai makhluk yang terus belajar menyeimbangkan keduanya: ketaatan dan pemberontakan, logika dan rasa.
Intertekstualitas, Mozaik dari Kisah-Kisah Klasik
Lensa Julia Kriteva mengingatkan kita bahwa setiap teks adalah mozaik dari kutipan. Mozaik yang dibicarakan adalah kisah Jin dan Lampu Ajaib serta kisah Iblis yang enggan bersujud pada Adam. Dan teks yang dimaksud adalah drama Genie, Make a Wish.
Drama ini merupakan contoh menarik tentang bagaimana ia menyerap, memelesetkan, dan menegosiasikan teks-teks yang mendahuluinya. Di stau sisi ia mengutip kisah-kisah klasik Aladin dan Iblis, di sisi lain, ia juga berdialog dengan dunia K-drama itu sendiri.
Adegan parodi terhadap dua drama terdahulu karya Kim Eun-sook, The Glory dan The Heirs, menjadi contoh paling jelas. Di momen itu, drama ini seolah berkaca pada dirinya sendiri, menertawakan gaya, melodrama, dan narasi khas yang dulu membuatnya terkenal.
Ini yang disebut auto-intertekstualitas atau self-reflexivity: teks yang sadar akan dirinya sendiri sebagai bagian dari sejarah panjang televisi Korea. Kim Eun-sook seakan berkata: “Aku tahu kamu pernah menonton The Heirs, dan aku tahu kamu mengingat The Glory.”
Maka, momen parodi itu bukan sekadar lelucon, melainkan cara sang penulis menyapa penontonnya melalui kesadaran kolektif akan teks-teks yang sudah hidup di memori budaya. The Heirs adalah kisah cinta yang penuh kemewahan dan luka sosial, lalu The Glory adalah drama dendam yang getir dan suram.
Kedua kisah itu hadir dalam Genie, Make a Wish. Dalam teori intertekstualitas, hal semacam ini disebut self-adaptation, yaitu ketika seorang kreator mengadaptasi gaya dan tema karyanya sendiri, lalu menempatkannya dalam konteks baru.
Drama ini adalah bentuk adaptasi yang hidup. Ia menulis ulang kisah klasik utnuk menjawab kegelisahan zaman baru. Ia menertawakan dirinya sendiri sambil mengajak kita bercermin, bahwa kebaikan dan kejahatan tidak selalu berakar pada peran, tapi pada pilihan untuk peduli.
Pada akhirnya, Genie, Make a Wish tidak berbicara tentang iblis atau malaikat, tapi tentang kita. Tentang manusia yang selalu ingin mengendalikan hidupnya, tapi diam-diam rindu untuk ditolong.
***
*) Oleh : Jiphie Gilia Indriyani, Dosen, Penyuka Kopi, Musik, dan Film.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |