TIMESINDONESIA, MALUKU – Pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945. Olehnya itu, tujuan pendidikan nasional harus berfokus tentang bagaimana cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa: Tujuan pendidikan adalah memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak. Hal ini dimaknai sebagai usaha untuk membimbing peserta didik sesuai dengan kemampuan alamiahnya dengan tujuan agar seluruh anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan tertinggi dalam hidupnya.
Advertisement
Pendidikan adalah sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan guna memiliki kepribadian yang baik serta berwawasan luas. Tanpa adanya pendidikan, maka kehidupan manusia akan mengalami kesulitan dalam peningkatan dan kemajuan.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh: Tokoh Sosiolog Auguste Comte bahwa: Kalau kehidupan intelektual belum tertata, maka kehidupan sosial juga tidak akan tertata.
Pendidikan adalah salah satu pilar paling urgen demi kemajuan suatu bangsa dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, sebagimana diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa: Mencerdaskan kehidupan bangsa dan setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana tertera dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945.
Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar mutlak yang harus diperoleh oleh semua orang tanpa terkecuali. Tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang atau elit tertentu.
Pemerataan pendidikan masih banyak dirasakan masyarakat sebagai beban berat. Banyak dikalangan masyarakat tidak mendapatkan sepenuhnya pendidikan karena biaya yang begitu mahal. Pendidikan seolah menjadi barang mewah yang teramat mahal sehingga tidak dijangkau dengan kemampuan yang dimilkinya.
Sehingga wajar setiap tahun ajaran baru, kita sering mendapatkan informasi para orang tua wali murid, mengeluh tentang mahalnya biaya pendidikan, bahkan ironinya mereka para orang tua wali murid menggadikan dan menjual barang berharga yang dimilikinya hanya sekedar untuk medaftakan anaknya yang notabene bisa bersaing dengan yang lain, demi masa depan yang lebih baik.
Kapitalisasi Pendidikan. Pendidikan dijadikan alat komoditi yang dapat di perjualbelikan dan berorientasi pada keuntungan finansial.
Hal ini sering kali membuat lembaga pendidikan memprioritaskan aspek ekonomi demi keuntungan dan mengabaikan kualitas pendidikan yang utuh dan hanya berfokus pada output yang menguntungkan.
Kapitalisasi pendidikan dapat menyebabkan hilangnya peran negara, peningkatan biaya pendidikan, serta akses yang terbatas bagi kelompok masyarakat tertentu. Kapitalisasi pendidikan, dimana unsur-unsur ekonomi dan logika kapitalisme mempengaruhi sebagaian besar aspek pendidikan.
Menurut Henry Giroux bahwa: kapitalisasi pendidikan mencakup proses komodifikasi pendidikan yang dimana pendidikan dianggap sebagai barang dagangan yang mengarah pada pengaruh besar perusahaan, bisnis dan logika pasar dalam penentuan tujuan dan nilai pendidikan. Hal ini juga senada dengan pendapat David Harvey bahwa kapitalisasi pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kapital.
Melihat eksistensi sekolah yang mendominasi kehidupan manusia, maka para pakar pendidikan pembebasan seperti halnya Everett Reimer, Paulo Freire dan Ivan Illich Bahwa: Sekolah yang semestinya berwajah humanis, ternyata telah tampil dengan wajah yang cenderung kapitalis, elitis, materialis dan melahirkan produk manusia yang bersikap serba instan. Sekolah hanya dapat dinikmati oleh kelompok kelas tertentu dalam masyarakat.
Ivan Illich adalah seorang filsuf Austria mengatakan bahwa: kesan sekolah sebagai terbuka untuk umum sesunggunya bersifat semu atau palsu. kata Illich bahwa: Sekolah hanya terbuka bagi mereka yang terus menerus memperbarui surat kepercayaannya melalui retribusi (bayaran)
Pendidikan dianggap tidak menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan tenaga kreatif dan berwatak yang tangguh. Sekolah dianggap sebagai “candu sosial” kata Karl Marx, karna sekolah sering dijadikan objek bisnis. Sekolah berbayar mahal, elit, diskriminatif, sekolah dianggap panggung kontes dan banyak kritik dan gugatan dilontarkan terhadap lembaga pendidikan.
Kita seharusnya tidak usah percaya terhadap janji dan iming iming pemerintah Daerah dan pusat untuk pendidikan gratis, mulai dari biaya pendidikan sampai atribut sekolah siswa, ini hanya akal-akalan busuk kapitalis lewat para elit politik borjuis pada saat kampanye.
Janji pendidikan gratis menjadi slogan politik yang paling populer namun juga paling sering tidak terealisasi secara penuh. Komitmen konstitusional dalam anggaran pendidikan (20%) belum sepenuhnya terwujud dalam praktik, karena masyarakat masih menghadapi berbagai biaya pendidikan yang harus ditanggung secara mandiri.
Janji Politik 100 hari kerja pemimpin daerah dan Pusat masih bersifat parsial dan belum menyelesaikan masalah fundamental seperti kebutuhan pada sistem pendidikan.
Ironinya semua orang percaya dengan adanya program makan bergizi gratis (MBG) pemerintah pusat dan bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara indonesia.
Sementara ketidakmerataan fasilitas pendidikan masih menjadi kendala utama, publik makin gelisah melihat mutu pendidikan ketika wacana efisiensi anggaran berkembang dan memperhatikan.
Kemerosotan Moral Perspektif Filsafat
Moral menjadi salah satu pilar dalam pembentukan krakter individu dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks pendidikan, moral tidak hanya diajarkan sebagai konsep abstrak, tetapi menjadi nilai yang harus di wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan moral merupakan proses pembelajaran yang berfokus pada penerapan prinsip integritas dengan pendekatan yang berlandaskan pada nilai-nilai etika dan akhlak.
Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawayh menegaskan bahwa: Tugas pendidikan adalah membentuk karakter anak agar mampu berkontribusi baik untuk masyarakat dan lingkungan disekitarnya, sehingga tujuan akhir dari pendidikan moral adalah membuat seseorang yang tidak hanya cerdik secara akademis tetapi juga memiliki nilai bermoral.
Pendidikan moral merupakan aspek penting dalam pengembangan karakter individu, dan filsafat menyediakan kerangka teoritis yang kuat untuk mendasari praktik pendidikan ini.
Dengan mengacu pada pemikiran tokoh-tokoh filsafat seperti Immanuel Kant yang menekankan pentingnya moralitas sebagai dasar dari tindakan manusia.
Filsafat moral tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga pada penerapan praktis dalam kehidupan. Dalam hal pendidikan, konteks ini berarti yaitu pengajaran nilai-nilai moral harus dilakukan dengan cara yang mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk berpikir kritis dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika.
Pendidikan yang paling utama adalah pendidikan yang bisa mengajarkan karakter dan moral siswa, sehingga penting bagi pendidik untuk mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam metode pengajaran mereka.
Kerusakan moral di negeri ini tercermin dari maraknya kasus seperti seperti pergaulan bebas, aksi kerusuhan, tawuran, serta berbagai tindakan kriminal lainnya semakin sering ditemukan di kalangan generasi muda.
Bahkan lebih para nya lagi, Murid dengan sikap keberanian nya dengan beradu fisik terhadap guru ketika ditegur di kelas/lingkungan sekolah, seperti pada saat siswa kedepan merokok, atau dipukuli oleh guru.
Ironinya lagi si siswa melaporkan hal ini ke pihak berwajib untuk menindaklanjuti atas perlakuan guru terhadap nya, dengan alasan hal ini dilindungi oleh undang-undang perlindungan anak. Sehingga dengan kejadian seperti ini, guru lebih berhati-hati untuk menegur siswa.
Permasalahan moral ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, meskipun nilai-nilai moral dan spiritual tetap menjadi komitmen utama negara sebagai bangsa yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan.
Kemerosotan moral adalah tanggung jawab bersama antara guru dan lembaga pendidikan, serta keluarga. Ketika guru menegur siswa secara tegas (bukan kekerasan), pelaporan ke pihak berwajib bisa terjadi karena adanya kesalahpahaman, laporan palsu, atau ketika tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru dianggap berlebihan dan melewati batas.
Disiplin bukanlah kekerasan dan teguran bukanlah penghinaan sebab guru bukanlah musuh yang harus diawasi, melainkan mitra yang harus dilindungi. Sekian tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat.
***
*) Oleh : Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd., Akademisi dan Pegiat Filsafat-Aktivis Maluku Utara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman | 
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |