TIMESINDONESIA, MALANG – Delapan puluh tahun lalu, pekik “Merdeka!” menggema di seluruh penjuru negeri. Kini, gema itu berganti menjadi riuh rendah inovasi dan dentuman algoritma. Namun di tengah gegap gempita era disrupsi, jiwa heroik 10 November tetap menjadi oase keteladanan yang relevan.
Pertempuran Surabaya bukan sekadar kisah fisik antara peluru dan senjata, melainkan simbol perjuangan martabat, kedaulatan, dan kebersamaan yang terus hidup dalam ingatan bangsa.
Advertisement
Hari ini, di tengah derasnya arus teknologi digital, kita menghadapi bentuk baru dari penjajahan: individualisme dan disinformasi. Media sosial sering menjadi ruang gema (echo chamber) di mana setiap orang hanya mendengar pendapatnya sendiri.
Perbedaan pandangan mudah berubah menjadi perpecahan, dan solidaritas sosial terkikis oleh ego virtual. Dalam situasi seperti ini, semangat arek-arek Suroboyo mengajarkan arti kolektivitas tanpa pamrih bahwa kemerdekaan tidak lahir dari individu yang unggul, tetapi dari kebersamaan yang teguh.
Nilai-nilai itulah yang seharusnya direfleksikan di tengah polarisasi sosial yang mudah tersulut oleh informasi tidak utuh. Nasionalisme dan solidaritas sosial menjadi landasan yang harus diperkuat untuk menjaga ketahanan bangsa di tengah badai disrupsi digital yang bisa mengikis jati diri bangsa.
Jika dahulu musuh bangsa jelas penjajah bersenjata kini musuh itu hadir dalam bentuk yang lebih halus: disinformasi, ketidakpastian, dan krisis nalar publik.
Di era digital, ancaman tidak datang dari serdadu, melainkan dari algoritma yang mengatur cara kita berpikir dan berperilaku. Inilah bentuk penjajahan baru yang menuntut keberanian berbeda: berpikir kritis dan bertindak bijak.
Keberanian seperti itulah yang dahulu ditunjukkan Bung Tomo melalui orasi yang membakar semangat. Namun keberanian berpikir kritis hari ini bukan berarti menolak teknologi, melainkan kemampuan mengelola perubahan tanpa kehilangan nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.
Kita perlu berani bertanya: apakah kemajuan teknologi identik dengan kemajuan moral? Apakah efisiensi harus menyingkirkan empati? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bentuk “pertempuran” baru dalam menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan.
Dari Medan Tempur ke Ruang Digital
Peristiwa heroik 10 November memberikan pelajaran mendalam tentang arti resiliensi kemampuan untuk tetap teguh dan beradaptasi dalam tekanan. Para pejuang Surabaya mungkin kalah dalam hal peralatan, namun mereka unggul dalam jiwa dan daya juang. Mereka melihat keterbatasan bukan sebagai penghalang, melainkan tantangan untuk dilampaui.
Inilah yang dalam bahasa modern disebut growth mindset pola pikir yang menjadikan rintangan sebagai sarana untuk tumbuh. Semangat itu kini relevan di berbagai bidang: pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam dunia pendidikan, misalnya, resiliensi berarti keberanian guru dan siswa untuk terus berinovasi di tengah keterbatasan, belajar dari kegagalan, dan tidak berhenti memperbaiki diri. Di dunia bisnis, resiliensi berarti kemampuan bangkit dari krisis dengan kreativitas baru.
Sebagaimana arek-arek Suroboyo memanfaatkan senjata seadanya untuk melawan tank baja, kita pun harus mampu menggunakan ilmu, inovasi, dan nilai kemanusiaan sebagai “senjata” menghadapi disrupsi global.
Keteladanan sebagai Navigasi Moral
Mengaktualisasikan semangat 10 November berarti menghadirkan keteladanan sebagai oase moral di tengah kekeringan nilai. Keteladanan bukan sekadar mengenang jasa pahlawan, melainkan meniru keberanian mereka mengambil peran aktif dalam sejarah. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dari perubahan besar zaman ini.
Seperti halnya para pejuang yang menolak tunduk pada nasib, generasi muda hari ini harus tampil menjadi aktor proaktif di era disrupsi: menciptakan teknologi yang berkeadilan, memperjuangkan kemanusiaan di ruang digital, dan memastikan kemajuan tidak meninggalkan mereka yang lemah.
Perjuangan masa kini bukan lagi di medan tempur, melainkan di ruang kelas, ruang bisnis, ruang riset, dan ruang siber di mana nilai kemanusiaan sering kali diuji oleh logika efisiensi dan kepentingan ekonomi.
Semangat 10 November seharusnya tidak menjadi monumen yang membeku dalam sejarah, melainkan energi dinamis yang menggerakkan perubahan. “Surabaya” hari ini bukan lagi soal kota, melainkan simbol perlawanan terhadap stagnasi dan apatisme.
Jika setiap guru, pelajar, pemuda, dan pemimpin mampu menjadikan nilai keteladanan sebagai panduan, maka semangat heroik itu akan terus hidup dalam bentuk baru: inovasi yang berakar pada moralitas, teknologi yang berpihak pada kemanusiaan, dan kemajuan yang dibangun atas dasar solidaritas.
Oase keteladanan para pahlawan adalah pengingat bahwa bangsa ini berdiri bukan hanya karena senjata, tetapi karena keberanian berpikir, ketulusan berjuang, dan kekuatan kebersamaan. Di tengah gelombang disrupsi, nilai-nilai itu harus menjadi kompas agar kita tidak kehilangan arah.
Dengan begitu, semangat 10 November bukan sekadar nostalgia, melainkan manifesto generasi baru Indonesia generasi yang mampu mengubah tantangan disrupsi menjadi peluang kemajuan, serta menjadikan moral dan ide sebagai kekuatan utama membangun peradaban yang berdaulat dan manusiawi.
***
*) Oleh : Ratnawati, Kepala SMAN 1 Sumbermanjing.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Rizal Dani |